Junno memicingkan mata. Sepucuk senjata api dalam genggaman dan dia arahkan ke titik sasaran. Kemudian terdengar beberapa kali letusan hingga setelahnya, pria itu melepaskan kotak peluru dan menggantinya dengan yang baru.
Pria itu bergerak ke kiri dan bersembunyi dibalik tembok, kemudian berguling ke depan dan berlindung di balik batu. Lalu di detik berikutnya dia kembali menembakkan pistolnya ke sasaran yang terletak sejauh dua ratus meter darinya hingga benda yang berdiri di sisi lapangan itu akhirnya tumbang.
"Yeah!" Dia melonjak kegirangan begitupun ketiga rekan yang sengaja mengajaknya latihan menembak pada hari itu.
"Benar kan, kemampuanmu tidak berkurang sama sekali meski tak digunakan selama tiga tahun." Adam menepuk pundaknya yang tengah memeriksa sasarannya yang telah tumbang.
"Heem. Mataku masih tajam rupanya. Hahaha!" Juna tertawa lepas.
"Bagus. Jadi kau siap?" tanya Adam.
"Siap untuk apa?"
"Melatih anak buahku."
"Apa bayarannya setimpal?"
"Untuk setara dirimu, aku rasa ya."
"Hmmm ... patut dipertimbangkan."
"Jadi kau setuju?"
"Baiklah, aku rasa aku sudah bosan jadi pengangguran."
Adam tersenyum. "Baiklah, kau bisa pindah ke mess mulai malam ini." katanya, dan mereka pindah ke area lain di tempat itu.
"Benarkah? Ada mesnya juga?"
"Ada."
"Bagus sekali, jadi aku tak harus bolak-balik ke rumah susun. Di sana mengerikan."
"Mengerikan bagaimana maksudmu?" Garin yang membawa beberapa peralatan bersama Rama pun menyahut.
"Kau tidak akan percaya jika aku ceritakan." Junno menjawab.
"Coba saja."
"Ah, pokoknya di mana ada perempuan yang menggoda, rasanya menyeramkan. Hahaha." Lalu dia tertawa.
"Apa?"
"Kenapa mengerikan? Memangnya kau sudah tidak suka perempuan ya? Hahaha. Kau yang mengerikan." Garin tertawa.
"Tidak, bodoh!" Lalu Junno menendang kakinya meski tidak mengenai rekannya itu karena dia menghindar.
"Aku pikir ...."
"Diamlah. Aku mau pulang dulu mengambil barang-barangku. Nanti malam aku kembali." Junno mengakhiri percakapan tersebut, lalu dia bersiap untuk pergi.
"Baik, sampai nanti Junn." Adam dan kedua rekannya pun menanggapi.
***
Lina membanting kotak yang Camelia temukan di depan pintu apartemennya, setelah membuka dan melihat isinya yang adalah bangkai tikus yang sudah membusuk.
Dibawahnya juga terdapat foto perempuan itu yang tengah berpose di sebuah majalah dewasa dengan mengenakan lingerie seksi. Dengan sayatan di sepanjang garis-garis gambar tubuhnya.
"Siapa yang melakukannya, Lina? Apa dia sedang mengancamku?" Camelia tentu saja histeris karenanya.
Dia duduk memeluk kakinya sendiri di sudut sofa dengan tubuh gemetaran. Kemudian perhatian mereka beralih ketika dua orang satpam tiba.
"Lihat, kan Pak? Apa seharian ini tidak ada yang mencurigakan?" Lina menunjuk kotak yang dia masukkan ke tempat sampah.
"Tidak ada, Bu. Hanya aktifitas biasa saja," jawab salah satu dari mereka.
"Lalu apa ini?" Lina sedikit meradang.
Dua pria dengan seragam hitam itu saling melirik.
"Sekali lagi ada kejadian seperti ini, saya akan mengadukan Anda berdua kepada pemilik gedung." Lina mengancam.
"Tenang dulu, Bu. Ini akan kami selidiki."
"Baik, silahkan. Atau saya bawa ini ke kepolisian agar segera diusut tuntas, dan sistem keamanan yang baik di apartemen ini tercoreng!" lanjut perempuan itu yang segera kembali menenangkan Camelia.
"Kau dengar kan, Mel? Mereka akan menyelidikinya." Lina duduk di samping Camelia yang sudah mulai tenang.
"Tapi tetap saja." Namun perempuan itu masih memeluk kakinya dengan erat.
"Tidak apa, nanti aku akan di sini menanimu jika kau masih takut. Tapi sekarang kita harus ke lokasi syuting."
Camelia mendongak ke arah managernya tersebut. "Bisakah aku tetap di sini? Aku takut."
Lina tampak mendengus pelan. "Tapi hari ini ada jadwal reading. Semua pemeran tokoh dalam series itu harus hadir. Aku janji hanya sebentar."
Perempuan itu terdiam.
"Ayolah bersiap, kau harus profesional." Lina menarik tangannya perlahan.
Dan tak ada yang Camelia lakukan selain menuruti perintah sang manager meski perasaannya hari itu tak baik-baik saja.
***
Tampaknya kegiatan hari itu cukup untuk membuat Camelia lupa akan kejadian di apartemen pada pagi harinya. Dia tampak menikmati interaksi bersama beberapa pemain yang nantinya akan menjadi partner sekaligus temannya selama menjadi sesama pemeran dalam drama yang mereka mainkan.
Beberapa artis lama seperti dirinya, bersama juga artis baru yang diantaranya dia kenal selalu menghiasi layar kaca, entah dalam drama lainnya ataupun acara gosip.
"Kak, maaf. Dari tadi aku mau bicara dengan Kakak tapi malu." Seorang pendatang baru datang mendekat ketika kegiatan pada hampir malamnya berakhir.
"Ya?" Dan Camelia menjeda aktivitasnya yang sedang bersiap untuk pulang.
"Aku Sania, aku fans Kakak." Ujar gadis manis yang nanti akan menjadi lawan mainnya dalam drama yang akan mulai proses syuting dalam beberapa hari lagi.
"Oh, iya." Sedangkan Camelia hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku senang bisa main sinetron bareng Kakak."
Perempuan itu hanya tersenyum.
"Boleh minta saran untuk ke depannya, biar aku bisa jadi artis kayak Kakak?" tanya Sania yang tampak malu-malu namun terlihat antusias sejak pertama kali dia mengetahui jika dirinya akan bermain dalam drama yangbsama dengan sang idola.
"Saran?" Camelia menghentikan kegiatannya sejenak.
"Ya. Aku kan masih baru. Biar cuma jadi pemeran pembantu kan harus bagus juga. Jadi nantinya akan dipertimbangkan untuk jadi peran utama."
"Hahahaha ... saya juga hanya pemeran pembantu sekarang. Tidak jadi peran utama seperti dulu." Camelia tertawa.
"Tapi Kakak keren."
"Keren sebelah mananya? Apa bagusnya jadi pemeran pembantu padahal dulu kamu adalah tokoh utamanya?"
"Bukankah semua hal ada prosesnya sendiri? Dan kenyataan Kakak sampai di titik ini juga mengalami proses yang panjang, kan? Lagian Kakak bukan sembarang pemeran pembantu. Tapi lebih dari itu." Sania berbicara dengan mata berbinar. Dan tampan sekali juga gadis itu sedang semangat-semangatnya meniti karir di dunia akting, persis seperti dirinya dulu.
"Berapa usiamu sekarang?" Camelia kemudian bertanya.
"Aku 16."
"Tidak sekolah?"
"Sekolah."
"Bagaimana kamu membagi waktu antara sekolah dan syuting. Aku lihat di beberapa sinetron kamu pernah ada."
"Ya syuting setelah pulang sekolah kayak gini, tapi kalau syutingnya pagi-pagi ya izin."
"Apakah sering?"
"Sering banget."
Camelia tampak terkekeh.
"Ini kemauanmu?"
"Ya. Jadi artis sinetron kayak kakak adalah cita-cita aku."
Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Kenapa, Kak?"
"Jadi artis itu sebenarnya bukan cita-cita, tapi hanya profesi. Setidaknya untuk saya."
"Lho, kok gitu?"
"Kamu tahu cita-cita saya apa?" Camelia memiringkan tubuhnya sehingga kini mereka berhadapan.
"Apa?"
"Guru."
"Terus kenapa Kakak malah jadi artis?"
"Awalnya karena tuntutan ekonomi. Tapi lama-lama jadi terbiasa, dan akhirnya menikmati meskipun sebagian besar rasanya tidak menyenangkan," jelas perempuan itu.
"Nggak menyenangkan?"
"Ya. Kamu harus hidup dibawah tekanan dan melakukan apa yang tidak mau kamu lakukan. Berakting seolah kamu baik-baik saja padahal tidak, dan membuat semua orang senang padahal kamu sedang terpuruk." Dia mencondongkan tubuhnya kepada Sania, yang membuat gadis di depannya itu sedikit mundur.
"Dan kau meminta saran? Baik, dengarkan Aku!" Camelia menatap wajah gadis belia itu lekat-lekat.
"Jadilah dirimu sendiri, dan jangan biarkan orang lain mengendalikanmu. Atau kamu akan terbelenggu selamanya dengan mereka," katanya dengan nada sedikit mengancam.
"Umm ...."
"Itu saja, tidak ada lagi." Kemudian dia melenggang pergi.