Junno menatap bangunan tinggi yang dulu menjadi tempat tinggalnya bersama Lingga, dan dia bisa melihat jendela-jendela dari unit apartemen kelas menengah itu, yang diantaranya merupakan miliknya. Yang kabarnya kini telah pihak pengelola sewakan kepada seseorang.
Setelah peristiwa penembakan itu terjadi, yang menyebabkannya harus dipenjara dan membuatnya menceraikan perempuan yang tiga tahun menjadi istrinya, Junno menyerahkan segala urusan kepada Adam yang mengatur segalanya sehingga pria itu tak kehilangan terlalu banyak hal. Kecuali istrinya yang berkhianat selama dirinya berjuang bertaruh nyawa untuk negara. Dan kini, dirinya datang sekedar untuk mengambil mobil kesayangannya yang terparkir di basement apartemen untuk digunakannya beraktifitas mulai hari ini.
***
Suara dering ponsel begitu memekakan telinga, membuat Camelia terbangun dari tidurnya yang begitu lelap sejak berakhirnya pergumulan semalam bersama Bima. Dia tertegun sebentar untuk menarik kesadarannya, kemudian meraih ponsel di atas nakas. Sudah pukul sembilan pagi dan ibunya kembali menelpon. Ini pasti ada urusannya dengan uang dan Camelia bingung harus menjawab apa.
"Ya, Bu?" Namun dia tak punya pilihan lain.
"Kamu baru bangun?" Dan suara ibunya terdengar melengking dari seberang sana.
"Ya, Aku …."
"Jam berapa ini? memangnya kamu tidak bekerja? Tidak ada shooting?" tanya perempuan itu lagi.
"Nanti siang, Bu."
"Tapi jangan malas seperti ini. Kamu harus bersiap dari pagi agar performa mu bagus. Bagaimana akan laku jika kamu begini?" Dia langsung mengomel.
Camelia hanya bisa menghela napas dalam-dalam agar tak ada keinginan untuk melawan ucapan ibunya.
"Dan lagi kamu belum mengirimkan uang yang Ibu minta, padahal jam sepuluh nanti Tiara dan Alif akan pergi. Kamu lupa?" Perempuan itu kembali berbicara.
"Tidak, Bu. Tapi aku memang belum menerima honor dari manager. Mungkin siang ini."
"Aduh, kalau siang adik-adikmu keburu pergi, Mel. Tidak bisa kamu usahakan dulu apa?"
"Memangnya uang yang bulan kemarin aku kirim sudah habis, Bu? Baru tanggal 25, kan?"
"Kamu pikir kebutuhan kita itu sedikit? Tidak tahu juga ya kalau harga semua bahan makanan itu naik? Barang-barang mahal dan segala hal tidak bisa didapatkan dengan gampang. Kamu sih enak tinggal di apartemen dengan kerjaan bagus. Apa-apa tinggal minta, nah ibu dan adik-adikmu? Kalau bukan kepadamu, lantas pada siapa kami meminta?" Seperti biasa, Diana mengucapkan kata-kata keramatnya untuk meluluhkan Camelia. Karena jika tidak begitu, putri sulungnya tersebut akan sulit dipengaruhi.
"Camelia? Tolonglah. Hanya kamu harapan kami." katanya lagi dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.
"Umm … tunggu sebentar ya, Bu? Aku telfon manager dulu biar dia kirim uangnya sekarang," jawab Camelia yang kemudian memutuskan sambungan.
Dia membuka beberapa pesan yang masuk. Dua diantaranya ternyata dari manager dan Bima yang mengirimkan foto bukti transfer uang ke rekening pribadinya.
"15 aja ya? Itu udah dipotong gaji asisten sama segala macem di agensi. Masih gede lho itu." Yang diikuti pesan seperti biasanya.
Camelia tertegun. Padahal dia tahu nilai kontraknya lebih dari itu, tapi dirinya tak bisa apa-apa selain menerimanya saja karena memang begitu aturan mainnya. Kemudian dia beralih pada pesan Bima, dan bibirnya sedikit membentuk senyuman ketika jumlah uang yang dikirim oleh pria itu serasa menyelamatkannya. 25 juta dan itu cukup untuk membungkam sang ibu selama sebulan ke depan.
"Aku ada rapat pagi-pagi sekali, juga kunjungan kerja sampai sore. Padahal tadinya ingin menghabiskan waktu denganmu. Tidak apa ya kau jalan sendirian?" Pria itu pun mengirimkan pesan.
"Pergilah bersenang-senang dan rawat dirimu. Mungkin nanti malam aku pulang ke sana lagi." Pesan berikutnya Camelia baca.
Baiklah ….
"Terima kasih, saya akan menunggu. Anda mau kejutan?" Dia membalas diikuti emot senyum.
Tak ada balasan, karena biasanya memang begitu. Saat ini Bima mungkin saja sedang berada di gedung DPR atau kementrian tempatnya bernaung untuk menghadiri rapat yang katanya untuk kepentingan rakyat. Entah rakyat yang mana?
Camelia segera membuka aplikasi m banking miliknya untuk mengirimkan uang kepada ibunya, namun ia terdiam sebentar untuk berpikir. Tidak mungkin harus terus seperti ini. Dirinya harus mulai berbuat sesuatu untuk menyelamatkan hidup dan karir yang susah payah dibangun sejak remaja. Dan keadaan keluarganya yang dipertaruhkan.
Tapi memberikan semua yang mereka minta nyatanya berat juga, apalagi keadaannya kini tak seperti dulu. Lalu Camelia kembali pada aplikasi perbankan di ponsel dan segera mengirimkan uang sebanyak 15 juta, jauh dari apa yang ibunya minta.
"Sebagian dulu ya Bu? Aku hanya bisa memberi segitu. Mulai sekarang tolong berhemat karena aku sedang sepi job. Dan soal kuliahnya Tiara, minta dicicil saja untuk p********n. Biasanya bisa. Dan tolong lebih sering lah masak dan makan di rumah, jangan ke kafe saja. Kita dalam kesulitan sekarang." Camelia mengirimkan pesan. Lalu dia meletakkan ponselnya di nakas, dan pergi menghambur ke kamar mandi begitu ibunya menelpon setelah pesan yang dikirimnya barusan terbaca.
***
"Mbak Camelia, bagaimana komentarnya tentang rumor hubungan Anda dengan Pak Bima?" Reporter sudah menunggu di luar studio begitu Camelia tiba dengan mobilnya.
Memang gosip mengenai kedekatannya dengan pejabat BUMN itu mulai merebak sejak satu minggu belakangan ini, ditambah dirinya yang tak kunjung menunjukkan hubungan dengan siapa pun.
"No komen." Camelia melewati kerumunan para pencari berita.
"Tapi apakah benar Anda dekat dengan Pak Bima?" Reporter lainnya bertanya juga.
"Kenal iya, tapi tidak dekat. Hanya sebatas urusan kerja saja." Dia kembali menjawab.
"Urusan kerja apa? Apa untuk kepentingan pemilu mengingat sebentar lagi negara kita akan mengadakan pemilihan presiden?"
"Tidak ada hubunganya sama-sekali."
"Lantas apa yang membuat Anda dekat dengan Pak Bima?"
"Saya tidak dekat dengan Pak Bima, berapa kali harus meyakinkan kalian? Kami hanya kenal biasa saja dan tidak ada hubungan sama-sekali!" Camelia mulai emosi. Dia sudah muak dengan pertanyaan yang sama dan lelah menghadapi media, sementara kamera menyoroti wajahnya dan semua orang tampak menunggu.
"Jadi berhenti menanyakan masalah yang sama karena kalian tidak ada urusannya dengan itu!" katanya lagi yang kemudian segera masuk ke dalam studio untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"Nggak usah didengerin, Say. Media emang gitu." Seorang pria gemulai yang kini menata penampilannya berucap.
"Aku pusing, kenapa semua orang membahas gosip murahan seperti itu?" Camelia menggerutu.
"Yah, namanya juga artis. Nggak ada gosip nggak afdol. Apalagi artis sekelas kamu. Bisa tenggelam karena nggak akan eksis."
Camelia mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Nggak apa-apa, harusnya bisa memanfaatkan gosip itu. Masa kamu nggak ngerti sih?"
"Aku tidak terbiasa begitu, Moni. Padahal cuma ketemu sekali di CT7, tapi kenapa gosipnya malah berlanjut?" keluh Camelia dengan akting yang sempurna, seperti biasa.
"Ya seperti yang aku bilang, kan? Itulah resikonya jadi artis. Kalau nggak gosip, ya kepergok bener."
"Ah, kamu ini!" Camelia menepuk tangan pria yang dia panggil Moni itu.
"Serius, benar juga nggak apa-apa. Pak Bima kan ganteng, kaya pula. Kamu nggak akan rugi."
"Huss! Jangan ngomong sembarangan! Nanti ada yang dengar." Manager yang baru tiba pun berujar.
"Sudah, cepat ke depan. Pemotretannya akan segera dimulai." ucap perempuan dengan kacamata itu yang menarik Camelia ke arah set.