Tiga tahun kemudian ….
"Dengan mempertimbangkan penyebab, keadaan dan peristiwa sebelum aksi itu dilakukan, juga apa yang sudah dipertaruhkan untuk negara, maka dengan ini Presiden selaku pimpinan tertinggi Negara Republik Indonesia telah memberikan pengampunan untukmu, Herjuno Abyaksa." Junno berdiri tegap di tengah ruangan yang dihadiri beberapa petinggi militer dan rekan-rekannya. Setelah tiga tahun menghabiskan waktunya di dalam penjara militer untuk menjalani hukuman atas pembunuhan spontan yang dilakukan pada malam kepulangannya dari tugas terakhir.
"Maka sejak hari ini dan seterusnya kau dibebaskan dari segala tuntutan dan hukuman atas tindakan yang kau lakukan." Sang komandan selesai membacakan putusan dari pengadilan militer yang menangani kasus bawahannya tersebut.
***
"Rencanamu setelah ini apa?" Rama mensejajari langkahnya menuju mobil. Sengaja dia menjemput rekannya di Pasukan Hantu begitu mendapat kabar jika dia kan dibebaskan.
"Entahlah, mungkin liburan untuk beberapa bulan?" Junno melemparkan tas berisi pakaiannya ke kursi belakang.
"Tiga tahun liburan tidak cukup?" Rama tertawa.
"Itu bukan liburan, bodoh. Tapi kurungan."
"Itu resiko karena kau tak bisa menahan diri."
Junno mendengus keras.
"Tapi aku memahami tindakanmu, meski tidak bisa dibenarkan. Siapa pun akan melakukan hal sama jika ada di posisimu."
"Sudahlah, jangan membahas soal itu lagi, aku muak!"
Rama tertawa lagi, kemudian percakapan itu terjeda ketika ponsel miliknya berdering, dan panggilan video dari Kaysa, istrinya pun segera dia jawab.
"Papa!!" Seorang balita kira-kira berusia dua tahun melonjak kegirangan.
"Hey … tunggu sebentar," ucap Rama saat melihat wajah putrinya di layar.
"Dia tidak sabar untuk menunjukkan baju barunya kepadamu." Kemudian wajah Kaysa pun mendominasi layar ponsel pria itu.
"Cantik. Lalu bagaimana dengan jepit rambut yang aku pilihkan?"
"Iya, ini juga mau dipasangkan." Lalu wanita cantik itu menyisipkan dua buah jepit rambut dengan pita-pita berwarna merah di rambut putri mereka.
"Semakin cantik," ucap Rama lagi sambil tersenyum. "Mamanya apalagi." Kemudian terdengar tawa dari Kaysa.
"Dasar bodoh!" Namun Junno malah menepuk belakang kepala pria itu dengan keras karena merasa kesal dengan kekonyolannya.
"Hey, apa Junno sudah bebas?" Melihat itu Kaysa pun bertanya.
"Ya, bukankah sudah aku katakan akan menjemputnya? Kasihan tidak ada yang peduli padanya." Rama menjawab dan membuat Junno kembali mendaratkan pukulan kepadanya.
"Hai, Kay. Apa kabarmu?"
"Baik, Junn. Kau sendiri?"
"Aku … kesepian. Hahaha," jawabnya, membuat mereka tertawa.
"Baik, agar kau tak kesepian mungkin harus mampir ke rumah kami," ujar Kaysa dengan senyuman hangatnya, seperti biasa.
"Benarkah?"
"Ya, mampirlah."
"Kau tidak pergi bekerja?"
"Aku libur. Kebetulan hari ini ulang tahunnya Marsya." Wanita itu menjawab.
"Oh …."
"Jadi, mampirlah."
"Umm … baik," ucap Junno, kemudian Rama mengambil alih percakapan.
"Cepat pulang, Papa. Marsya sudah menunggu." Kaysa melambaikan tangan kecil putrinya, kemudian tersenyum.
"Baik, hanya sebentar." Lalu sambungan telepon pun berakhir.
***
Anak-anak seumuran Marsya terdiam menatap pria yang berdiri menjulang di hadapan mereka yang bersikap siaga dan waspada seperti sedang menjaga keamanan.
"Om polisi, ya?" Salah satu dari mereka yang usianya lebih tua bertanya.
"Om temennya Om Rama bukan?"
Junno membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi ucapan lain dari anak-anak itu membuatnya kembali bungkam.
"Nggak mungkin. Masa temennya Om Rama serem gini?" katanya yang kemudian berbalik kembali ke kerumunan.
Rama tertawa mendengar ucapan anak tetangganya itu sementara Junno hanya mendelik.
"Makanya, pasang lagi senyummu agar tidak terlihat menyeramkan." Dia menepuk pundak rekannya di pasukan khusus itu.
"Cih, untuk siapa aku senyum? Dan untuk apa pula aku kelihatan ramah? Orang sudah berbuat baik saja masih ditikam dari belakang?"
"Mulai curhat." Adam yang baru tiba pun mendekat.
"Sudah, kalian sebaiknya diam. Jangan membangunkan macan yang sedang tidur. Atau …."
"Papa!" Marsya menghampiri Rama dan memeluk kakinya, yang kemudian segera diraih oleh pria itu dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
"Acaranya kenapa belum juga dimulai, Kay?" Rama membawa mereka ke dekat anak-anak tetangga sekitar yang sudah hadir.
"Tunggu Aslan."
"Udah." Kemudian anak laki-laki yang dimaksud pun tiba-tiba melompati dua tangga terakhir dan mendarat tepat di samping ibunya.
"Kamu lupa apa yang Papa bilang?" Membuat Rama bereaksi karenanya.
"Ups, lupa. Hehe." Namun Aslan hanya tertawa.
"Aslan? Berapa umurmu sekarang? Kenapa sudah sebesar ini?" Junno menepuk punggungnya.
"Sekarang? 11 tahun, Om," jawab anak yang terakhir ditemuinya saat baru naik ke kelas dua SD itu.
"11 tahun itu berarti kelas lima?"
Aslan menganggukkan kepala.
"Kenapa kamu cepat besar? Perasaan Om terakhir kali kita bertemu kamu masih sekecil ini." Junno merentangkan tangannya di pinggang.
"Kau pikir dia ini peri yang tidak tumbuh besar?" Adam menyahut dari belakang.
"Ya, hanya saja …."
"Baik, ayo kita mulai acaranya? Anak-anak sudah menunggu." Namun Kaysa segera menginterupsi.
Dan acara kecil-kecilan itu segera dimulai dengan meriah. Aslan sebagai pembawa acara di antara anak-anak yang datang ke rumah mereka dan segera membuat keadaan semakin menyenangkan untuk adik perempuannya. Nyanyian riang gembira mengiringi saat balita itu meniup lilinnya dengan ekspresi lucu, dibantu oleh teman-temannya yang hadir.
"Kau yakin tidak mau kembali dengan kami?" Tiga pria duduk di teras belakang menikmati keadaan tenang, sementara anak-anak di dalam rumah masih ribut dengan acara mereka.
"Sepertinya tidak." Junno menggelengkan kepala seraya meneguk minuman dingin dalam kaleng.
"Misi kita banyak tahun ini, Junn." Dan Adam pun menambahi untuk membujuk rekan mereka tersebut agar mau kembali bergabung dengan tim rahasia mereka.
"Apa pernah kita kekurangan misi? Rasanya setiap hari ada saja kasus yang harus dibereskan."
Mereka bertiga tertawa.
"Lalu jika tak di kesatuan, apa yang akan kau lakukan?" Rama kembali berbicara.
"Apa saja, aku kan pria bebas." Junno menjawab dengan santai seraya kembali meneguk minuman kalengnya.
"Kembali ke Surabaya?"
"Tidak. Aku tidak akan pulang kampung. Ayahku masih marah, hahaha." Pria itu merebahkan punggungnya pada sandaran kursi, sedangkan Rama dan Adam saling melirik.
"Sepertinya aku akan cari pekerjaan lain saja. Emosiku belum stabil jika masuk lagi ke Pasukan Hantu. Bisa-bisa para penjahat itu aku bantai habis jika bertemu." Lalu dia kembali meneguk minumannya sambil menikmati suasana sore yang hangat di rumah teman satu kesatuannya tersebut.
***
"Mutiara lolos masuk kampus swasta, dan Alif harus bayar semesteran."
Camelia menjatuhkan ponselnya di atas tempat tidur setelah membaca pesan dari ibunya, lalu dia memijit keningnya agak keras saat rasa pening menyerangnya dengan tiba-tiba.
"Kebutuhan di rumah juga sudah menipis, Mel. Kapan kamu akan pulang?" Dia baca lagi pesan yang baru saja masuk.
Camelia kemudian memeriksa saldo di rekeningnya yang mulai menipis, sang manager belum juga mengirimkan uang honornya saat menjadi model iklan minuman berenergi yang terpaksa dia ambil karena sepinya job. Dialah Camelia Abigail, aktris berusia 28 tahun yang kini merangkap jadi model juga untuk mempertahankan eksistensinya yang mulai meredup di dunia entertainment. Bekerja sejak usia belia tak membuatnya memiliki banyak hal untuk disimpan karena selain untuk diri sendiri, dia juga berjuang untuk menghidupi ibu dan kedua adiknya.
"Iya, Bu. Nanti kalau manager sudah mengirim uang honor, Amel transfer ya?" Akhirnya dia menjawab pesan sang ibu.
"Tapi jangan lama-lama ya? Ingat, Tiara kuliahnya di kampus swasta," balas ibunya lagi.
"Lagian kenapa tidak di kampus negeri saja sih, Bu? Mungkin biayanya lebih ringan."
"Teman-temannya Tiara rata-rata masuk swasta, masa dia sendiri masuk negri?"
"Ya kan tidak apa-apa, yang penting bisa kuliah sesuai jurusan."
"Sudah, pokoknya kamu nanti kirim uang. Ingat, 30 juta itu sudah termasuk keperluan rumah." Kini sang ibu sengaja melakulan panggilan telpon.
Camelia memejamkan mata. 30 juta itu jumlah yang cukup besar kini. Padahal dulu, uang sebesar itu bisa dia dapatkan hanya dalam satu kali wawancara saja, tapi sekarang terkadang menerima dua iklan saja tak sebesar itu. Masa jayanya hampir berakhir setelah banyak artis belia yang lebih cantik dan lebih energik bermunculan.
"Camelia, kamu dengar tidak?" ujar ibunya lagi yang membuyarkan lamunan perempuan itu.
"Dengar, Bu. Sudah dulu ya? Aku mau istirahat dulu. Siapa tahu nanti manager sudah mengirimkan uangnya."
"Ya, baiklah." Lalu percakapan itu pun berakhir.
Camelia meremat rambutnya dengan keras. Rasanya hal ini menjadi semakin berat saja. Pundaknya sepertinya mulai tidak kuat untuk menanggung beban, dan dia mulai kehilangan pegangan.
"Sabar, Camelia. Hanya sebentar lagi. Alif lulus, lalu Mutiara. Bertahanlah sedikit lagi!" gumamnya seraya menarik dan menghembuskan napas beberapa kali untuk menguatkan dirinya sendiri.
Lalu perhatiannya beralih ketika mendengar suara pintu dibuka dan ditutup dengan cepat, dan Camelia segera menghambur keluar kamar untuk memeriksa. Dan dia tertegun di ambang pintu ketika mendapati seorang pria yang dikenalnya melangkah masuk.
"Bapak pulang ke sini?" katanya yang segera memasang senyum paling indah yang dia miliki.
"Memangnya apa yang kau harapkan? Aku lupa dan membiarkanmu senang sendirian?" Lalu pria gagah dengan setelan jas hitam itu berhenti ketika jarak mereka sudah dekat.
Camelia terkekeh.
"Kau baru pulang?"
Wanita itu menganggukkan kepala.
"Bagaimana shooting nya?"
"Lancar. Hari ini langsung selesai."
"Kau memang model yang handal, Camelia." Kemudian pria berusia 38 tahun itu meraup tubuh seksi Camelia seraya mendekatkan wajahnya.
"Ya, sehandal jadi modelnya Bapak," jawab wanita itu yang segera melepaskan jasnya.
"Maka tetaplah seperti itu."
"Memangnya apa lagi yang bisa saya lakukan? Bukankah semua ini milik Anda, Pak Bima Adipura?"
Pria itu menyeringai.
"Istri dan anak Bapak sudah pergi?" Camelia melepaskan lilitan dasi, lalu beralih pada kancing kemejanya setelah dia mengerti apa yang Bima inginkan.
"Ya, mereka baru saja lepas landas." Pria itu menyeretnya ke dalam kamar.
"Liburan ke mana kali ini?" Dan Camelia pasrah saja ketika Bima mendorongnya ke tempat tidur.
"Paris." Pria itu pun membiarkan Camelia melepaskan tautan kancing pada kemejanya, sehingga tampak tubuh bagian atasnya yang menggiurkan untuk ukuran pria dengan usia sematang itu.
Tentu saja, sebagai politikus di partai besar dan pemimpin sebuah perusahaan BUMN Bima sangat menjaga penampilan. Terutama karena istrinya juga seorang publik figur, yakni sosialita kelas atas yang kerap kali menjadi sorotan.
"Wow, Paris. Negara yang paling ingin saya kunjungi." Sementara Camelia mulai menggodanya dengan mengusap perut berotot pria itu perlahan-lahan.
"Kau ingin ke sana?" Dan Bima memang menikmatinya.
"Ya."
"Bisa. Asal kau bersedia jadi istri kedua." Pria itu menunduk, sementara Camelia menatapnya dalam diam.
"Bagaimana? Nanti kita bulan madu ke sana, hum?" Bima mendekatkan wajahnya.
"Bukankah dengan pekerjaan seperti Bapak dilarang memiliki istri lebih dari satu?"
"Ya, jika negara tahu. Tapi jika tidak, mau berapa pun boleh."
Camelia terkekeh.
"Tapi sayangnya kau tidak mau."
"Begini saja, Pak. Sudah cukup." Lalu dia menjawab sambil mengusap d**a bidang Bima dengan kedua tangannya untuk menggoda hasrat sang pria.
"Lalu bagaimana dengan Paris?" Bima melepaskan kemeja dan membiarkannya terjatuh di lantai.
"Bisa lain kali." Sementata Camelia menurunkan resleting celananya, sehingga apa yang ada di baliknya tampak dengan jelas. Alat tempur pria itu sudah menegang dan dia mengerti apa yang harus dilakukan.
"Bapak mau sekarang?" tanya nya sambil menyentuh benda itu, dan Bima menganggukkan kepalanya.
Lalu tanpa banyak bicara lagi wanita itu segera melakukan apa yang biasanya dia lakukan untuk menyenangkan Bima, pria yang sudah satu tahun belakangan memeliharanya sebagai tempat pulang ketika istrinya yang terkenal itu pergi.