How, should I meet my gaze with Yours,
My lover
How, should I not fear You this way, My lover
How, should I not feel bashful, My lover
Look, Don't touch me today, My lover
***Dhoom Taana -- Om Shanti Om***
Apa ada yang salah dengan mataku yang salah? batin Delisha. Tanpa disadari, kepalanya dimiringkan menatap pria itu. Wajahnya, wajah manusia biasa, mata sayu dengan kelopak dalam dan hidung mancung, rahang dengan sedikit bakal janggut tipis, wajah khas pria India, tak ada yang aneh, di mata manusia biasa.
Tubuhnya tinggi, mengenakan jaket kulit, celana jeans abu-abu dan sepatu boot kulit hitam. Rambut hitamnya agak basah oleh embun hujan di sisir dengan jari. Mata cokelat hangat menatap ramah pada orang disekitarnya. Wajahnya cukup menarik dan yang membuat Delisha makin takjub adalah aura di sekeliling pria itu. Berpendar keemasan, seperti sinar matahari pagi yang mengenai embun di kebun bunga. Delisha belum pernah melihat manusia seperti itu. Apakah pria itu seorang malaikat?
Pria berpendar keemasan itu menyapa pegawai toko dan mengitarkan pandangannya ke dalam minimarket. Matanya jatuh pada wanita muda berambut cokelat panjang dan mata cokelat wanita itu menatapnya lekat. "Hmm ... kya mere chehare mein kuchh gadabad hai?" Apa ada yang salah pada wajahku, Nona? tanya pria itu sambil melangkah mendekatinya. Wanita yang sangat cantik dan sepertinya bukan penduduk lokal. "Apa ada yang salah dengan wajahku, Nona?" ulang pria itu dengan wajah dicondongkan ke wajah Delisha.
Delisha masih terpukau. "Kurasa mataku yang salah ...," gumam Delisha tanpa disadarinya. Dia bahkan tidak mengedipkan mata.
Pria itu menunduk untuk melihat ke kakinya yang menginjak genangan kopi di lantai. "Oh, tampaknya kau menumpahkan kopimu." Ia membungkuk untuk memungut cangkir kertas bekas kopi di lantai.
Delisha terkesiap. Apa yang baru saja terjadi? Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Delisha meleindungi matanya dengan memasang kacamata. Dia bergegas turun dari kursi dan malah menubruk pria tadi.
"Awh!" Pria tersebut meringis dan tangannya mendekap tubuh Delisha karena hendak terjerembab. "Aap kahaan sochate hain ki aap ja rahe hain, mis?" Kemana kau pikir kau akan pergi, Nona?
"Mujhe maaf karna!" Aku mohon maaf! ujar Delisha sambil mendorong tangan pria itu agar melepaskannya. Dia melewati pria itu, tetapi tak lama berbalik lagi. "Sorry!" gumamnya. "Ponselku!" Delisha meraih ponselnya dari dalam box charger, tidak mengindahkan pria yang ditabraknya tadi. Di ambang pintu minimarket Delisha terhenti. "Hujan!" Dia menatap sendu melihat di luar masih hujan deras dan ribut suara petir. Dia berbalik lagi ke dalam minimarket dan mendapat tatapan heran dari para pegawai toko dan pria berjaket kulit tadi.
Delisha berbalik ke arah lain dan membuka ponselnya untuk menghubungi orang yang katanya akan menjemputnya di stasiun. Setelah beberapa nada tunggu, teleponnya tidak diangkat juga.
Pegawai toko yang berwajah merah dengan kumis panjang mengomel-ngomel sambil membersihkan bekas kopi di lantai. Delisha mendengarnya, tetapi memilih diam, pura-pura tidak mengerti. Pria berpendar keemasan bak malaikat tadi berbicara pada pelayan toko dan memberikan uang tip pada pemuda itu. Delisha melihatnya dari balik kacamata, tetapi dia pura-pura tidak tahu dan tidak peduli.
Delisha ahli bersikap acuh karena dia terbiasa menghadapi hal yang tidak menyenangkan. Lebih baik orang mengira dia sombong daripada memberitahu kelemahannya. Dia membeli secangkir kopi lagi dan kembali duduk di pantri, menyesap kopinya dengan santai seolah tidak terganggu oleh pria tampan yang duduk bersandar ke meja pantri sambil memandanginya.
"Siapa kamu, Nona? Sepertinya kau bukan orang sini," tanya pria berpendar keemasan itu. Dengan santainya ia menatap puas-puas wanita angkuh itu. Ia membeli secangkir kopi juga untuk dirinya sendiri.
Peraturan pertama bepergian adalah jangan bicara sembarangan dengan orang asing. Delisha memegang teguh aturan itu. Dia bergeming.
"Dari mana asalmu?" tanya pria itu lagi. Pria India memang hobi ngobrol dan berkenalan untuk memperluas pertemanan. Semakin banyak teman mereka akan semakin kaya, itu prinsipnya.
"Siapa namamu?" tanyanya lagi. Satu pertanyaan belum dijawab ia sudah mengajukan pertanyaan lain. Ia yakin jika di luar sana tidak hujan, wanita ini pasti sudah kabur. Melihat barang bawaannya, wanita ini bertahan di minimarket pasti karena menunggu seseorang.
"Ke mana tujuanmu?" tanya pria itu lagi. Wajahnya tampan dan sorot matanya hangat bersahabat. Ia mahir menggunakan daya tariknya sebagai pria baik-baik.
Delisha berusaha menahan diri Pria ini sepertinya sengaja mengganggu. Penasaran? Atau jangan-jangan berniat jahat, menghipnotis lalu merampoknya? Atau lebih parah, memperkosa lalu membunuhnya? Delisha menghirup kopinya dan pria itu melakukan hal yang sama seakan mereka sengaja duduk bersama untuk menikmati secangkir kopi dan mengobrol layaknya teman lama.
"Kau bisa mengajukan pertanyaan yang sama padaku," kata pria itu. "Hujan sepertinya akan lama, kita bisa berbicara. Jauh lebih baik berinteraksi dengan sesama daripada menyibukkan diri dengan ponsel," ujarnya lagi karena melihat wanita di sampingnya mengeluarkan ponsel.
"Aku bisa melaporkanmu ...."
"Aku Imdad!" pria itu memotong perkataan Delisha sambil mengulurkan tangan bersiap berjabat tangan. "Namaku Imdad Hussain!" ujarnya memperkenalkan diri. Delisha membuang muka, tak sudi menjabat tangannya.
"Aku tinggal di India seumur hidupku. Aku kenal orang-orangnya dan seluk beluk kota ini, jika ada yang ingin kau tanyakan, kau bisa bertanya padaku."
Delisha mendelik dari sudut kacamatanya. Apa semua penipu bertampang malaikat seperti ini? Dia mendengus sangsi.
"Baiklah, jika kau tidak mau bicara denganku, aku hanya mencoba bersikap ramah terhadap pendatang, tapi aku juga tidak mau dianggap lancang dan mengganggu." Laki-laki itu menurunkan tangannya yang tak kunjung dijabat. Ia melompat turun dari bangku lalu berjalan menuju kasir.
Pria itu bicara dalam bahasa lokal dengan pegawai toko lalu lagu India dengan irama gembira dimainkan terdengar ke penjuru ruangan melalui pengeras suara. Anehnya, para pria itu tertawa-tawa, menyanyi bersama dan menari-nari mengikuti irama lagu. Dasar orang India! Tidak di film-film saja, dalam kehidupan sehari-hari menyanyi dan menari sudah jadi darah daging mereka.
Imdad Hussain, ulang Delisha dalam benaknya. Pria pertama yang dilihatnya dengan tampilan yang memesona. Ini mungkin hanya kebetulan. Mungkin pria ini bukan satu-satunya. Jika ada satu pria yang seperti ini, pasti akan ada yang lainnya. Ada gunanya dia melakukan perjalanan kali ini. Dia bisa melihat hal-hal baru, bahkan mungkin hal-hal lain yang tak pernah diduganya sama sekali.
Delisha membenamkan dirinya dalam ponsel. Membaca berbagai artikel dan berita terbaru sekitar India.
Di India sedang hangat-hangatnya membahas kehidupan CEO muda bernama Devdas Star Tailes, pimpinan Star Corp. Perusahaan yang disuruh Xander Xin untuk diselidiki. Wajahnya di foto sangat tampan, seperti fotomodel, masih muda, 30 tahun, lajang. Delisha jadi penasaran. Jika pria ini setampan di foto, bagaimana matanya akan melihat orang ini?
Selain dirinya, Devdas Star Tailes juga tidak ada dalam penerawangan Kimberly. Hal itu membuat Devdas Star Tailes menjadi sosok yang sangat mencurigakan bagi Xin Corp. Siapakah pria ini sebenarnya?
Panggilan masuk membuyarkan konsentrasi Delisha. Nomor dari perwakilan Xin Corp menghubunginya.
"Halo?" sahut Delisha.
"Ah, maaf, Nona Marianne! Kami terjebak macet, tadi ada kecelakaan di perlintasan kereta api dan sekarang kami terjebak macet lagi karena ada banjir dan banyak kendaraan mogok," sahut pria yang bernama Vijay di telepon. Karena sejatinya Delisha adalah manusia masa depan, dia diberi identitas palsu, yaitu sebagai Marianne Webster.
"Oh?" Delisha menutup ponselnya dan menelungkupkan wajah ke meja pantri. Kesal, karena dia harus menunggu lebih lama lagi sebelum orang-orang itu tiba.
Alunan lagu India yang ramai dan gembira menambah kekesalannya, ditambah tiga pria konyol yang menari-nari dan menyanyi-nyanyi mengikuti lagu yang berkumandang. Tiga pria. Dua tampak aneh, yang mana itu biasa baginya, sedangkan satu orang tampak memesona, tampan dan berpendar keemasan, justru aneh baginya.
Siapa pria ini? Apa sebenarnya pria ini? Berbagai hal campur aduk dalam pikirannya dan lamunan membuatnya mengantuk.
Delisha jatuh tertidur dan tersentak kaget ketika mendengar suara ponselnya. Dia terbangun dan wajahnya merah padam karena pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Imdad Hussain duduk di sampingnya dan menatap lekat. "Kau tidur sembarangan, Cantik, kau bisa memancing para lelaki untuk berbuat jahat padamu," ujarnya. Delisha merengut dan memilih menjawab ponselnya.
"Nona, kami sudah di depan stasiun! Anda di mana?" ujar pria di telepon.
"Uh, oh, ya, aku akan segera keluar!" sahut Delisha lalu menurunkan ponselnya. Dia melirik tajam pada Imdad Hussain dan mencibir lalu memasang kacamata hitamnya lagi. Dia membereskan barang-barangnya lalu melengos melewati pria itu dan keluar dari minimarket.
Hujan sudah reda, Delisha berdiri di depan minimarket. Sebuah mobil SUV hitam dan seorang pria bersetelan hitam yang tampak seperti anjing ras doberman menyambutnya. Anjing itu, maaf, pria itu membukakan pintu penumpang untuknya.
Ada dua pria dari Xin India yang menjemputnya. Mereka bernama Vijay dan Sunil. Kebanyakan pegawai Xin Corp serupa anjing penjaga dalam penglihatan Delisha, karena mereka penurut, setia dan selalu waspada.
Delisha masuk ke dalam mobil lalu melaju meninggalkan tempat itu. Sementara dari dalam minimarket, sepasang mata cokelat Imdad Hussain memperhatikan. "Xin Corp?" gumamnya dengan kening bertaut. "Siapa wanita itu sebenarnya?"
Imdad Hussain, 27 th, Live Life to the fullest, fantastic lover.
***
Bersambung ....