Dari Tibet, Delisha berencana melanjutkan perjalanan ke India seorang diri sedangkan Kimberly harus pergi ke Tiongkok. Kimberly mengantarnya ke stasiun kereta api Kota NL.
"Kamu yakin bisa sendirian, Delisha?" tanya wanita berambut cokelat keemasan itu prihatin sambil menggenggam tangan Delisha. Dia tahu Delisha tidak pernah ke mana-mana sendirian. Delisha harus ditemani orang yang akrab dengannya karena dengan bersama orang dekatnya, dia lebih tenang dan tidak terlalu terganggu oleh berbagai penampakan.
Delisha mengangguk cepat. Dia balas menggenggam tangan Kimberly. "Aku yakin, Kim. Lagi pula aku tidak bisa terus-terusan bergantung pada orang lain. Kurasa ini saatnya aku belajar mandiri. Ayah dan Sandy akan menikah, aku tidak ingin menjadi pengganggu dalam hubungan mereka." Ayahnya, Richard, adalah agen senior di Xin Corp, sementara Sandy atau Xandreena Aurora Xin, adalah tunangan ayahnya, putri dari CEO Xin Corp dan Kimberly, sekaligus teman masa kecilnya. "Saatnya aku menata hidupku sendiri dan mungkin menemukan pasangan hidup, jika aku cukup beruntung ...."
Kimberly menatapnya dengan bola mata keemasannya yang berbinar-binar lalu memeluknya erat. "Oh, Babe, aku senang kau berpikir demikian. Aku berharap semoga kau segera menemukannya, aku yakin pasti ada lelaki untukmu, Delisha!" ujar Kimberly mantap.
"Terimakasih, Kim!" sahut Delisha sambil menyandang tas selempangnya lalu merapatkan mantel bepergiannya.
“Eh, tunggu sebentar!" seru Kimberly ketika Delisha hendak berbalik pergi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku. Emblem The Lady. Emblem dengan ukiran unik berwarna keemasan. Ada bentuk mata di tengah-tengah emblem tersebut. "Bawalah ini!" ujar Kimberly. Dia meletakkan emblem tersebut ke tangan Delisha.
"Kimberly, ini …." Delisha ragu menerimanya. Dia tahu benda itu sangat penting bagi Kimberly.
"Kau saja yang menyimpannya. Aku jarang menggunakannya. Mungkin benda ini akan lebih berguna bagimu. Anggap saja sebagai jimat keberuntungan, okay?" Kimberly bersikeras.
Delisha menyimpan benda tersebut ke dalam sakunya. "Terimakasih!" ujarnya lagi lalu berbalik dan melambai pada Kimberly sebelum menghilang dalam kereta cepat yang membawanya ke India.
*
Kota ND, India
*
Sekitar 48 jam perjalanan dan beberapa kali pindah kereta, Delisha tiba di Stasiun Kereta Api Kota ND dan suasana di kota besar di India itu, luar biasa ramainya. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi, beragam suku dan kasta, pola hidup yang bervariasi, kesenjangan ekonomi dan pendidikan, membuat kota-kota besar seperti Kota ND rawan tindak kriminal. Kimberly mewanti-wantinya agar senantiasa berhati-hati dan jangan sendirian jika pergi jalan-jalan di India. Karyawan perwakilan Xin Corp di India akan menjemputnya.
Manusia berjejalan di arus masuk dan keluar kereta. Wanita-wanita dengan pakaian tradisional India yang berwarna cerah, tak segan berdesakan dengan para pria yang bertubuh besar dan kuat, bahkan banyak di antara mereka turut berdesakan bersama anak-anak dan barang-barang bawaan besar. Delisha tidak mau mati tergencet kerumunan, dia ikut berdesakan, berusaha keluar dari kereta dan menemukan pintu keluar stasiun.
Di halaman stasiun, dia duduk di tangga teras seperti kebanyakan orang lainnya, menunggu jemputan. Delisha memasang kacamata hitam, menjaga pandangannya terhadap kondisi sekitar. Ada beragam orang dilihatnya. Yang bergerak membujuk anaknya yang menangis itu manusia biasa, walaupun dilihatnya sang ibu tampak seperti sapi betina dan anaknya seperti kucing nakal. Pria yang berbicara ditelpon itu juga manusia biasa, walaupun kepalanya ditutupi awan mendung. Ada beberapa wanita yang tampak seperti ayam betina, mereka berbicara dalam bahasa Hindi, logat yang kental, tanpa henti dan saling sahut seperti mengomel.
Ada juga wanita yang berwajah abu-abu, kurus dan tampak menyedihkan, baju sarinya abu-abu, lusuh dan kotor, duduk berjongkok di ujung tangga, orang-orang melewatinya seperti kabut. Itu sudah pasti hantu. Tubuh Delisha bergidik dan dia merasa kedinginan. Rasa dingin kerap dirasakannya jika ada makhluk astral di sekitar. Dia sudah sering mengalaminya. Rasa dingin dan bulu kuduk berdiri itu selalu terjadi, tak dapat dicegah.
Dia melemparkan pandangan ke arah lain karena wanita abu-abu itu melihat ke arahnya. Di tengah jalan raya, di antara kendaraan-kendaraan yang seliwiran dia melihat sesosok pemuda berdiri dengan tubuh bersimbah darah, kepalanya hilang separo, mungkin pecah karena kecelakaan. Pemuda itu memandangi tubuhnya sendiri, seolah bertanya-tanya apa yang terjadi pada dirinya. Kebanyakan arwah gentayangan terperangkap dalam perasaan atau ingatan terakhir sebelum mereka mati.
Delisha mendesah gelisah. Menunggu menyesakkan dadanya, terlebih lagi wanita abu-abu di ujung tangga tadi merangkak menaiki tangga dan melihat ke arahnya. Dia khawatir wanita itu mendekatinya. Hantu ini, ya, tidak tahu siang bolong dan banyak orang, tetap saja berkeliaran!
Wanita abu-abu itu memang mendatanginya. Merangkak dengan tangan dan tubuh yang kotor oleh tanah hitam dan berbau comberan. Astaga, Delisha ingin sekali muntah dan berlari menjauh! Manusia disekitarnya tidak ada yang menyadari keberadaan wanita abu-abu itu merangkak dekat kakinya dan menengadahkan tangan. "Bhojan...!" makanan, seru wanita itu dengan suara serak dan mulut berjelaga hitam. Kaki Delisha gemetaran. Dia menoleh ke sana kemari, mencari-cari kalau ada sosok yang dikenalnya. Delisha bergegas berdiri membawa tas beserta koper dan jaket, lalu berlari meninggalkan tempat itu.
Dia masuk ke dalam sebuah kedai kecil dekat stasiun, dan yang dilihatnya dalam kedai itu lebih mengerikan lagi. Seekor tikus raksasa menyajikan makanan menjijikan pada sekelompok anjing kelaparan. Darah segar menetes dari mulut mereka. Panik, Delisha berbalik, bahkan membentur pintu karena buru-buru berlari ke luar kedai.
"Us mahila ke saath kya galat hai?" Ada apa dengan wanita tadi? tanya para pria dalam kedai. Mereka adalah sekelompok pekerja bangunan yang sedang beristirahat. Mulut mereka tampak berdarah karena mengunyah khat.
Delisha ingin sekali menangis tapi malu. Malu pada diri sendiri, karena dia ketakutan. Dia tidak takut terhadap apa yang dilihatnya tetapi takut terhadap kesendirian. Dia seorang diri di negara asing dan di kota besar yang dipenuhi orang-orang asing. Dia berdiri di pinggir jalan dan mengeluarkan ponselnya dengan gugup. Dia hendak menghubungi perwakilan Xin Corp yang akan menjemputnya, tetapi baterai ponselnya habis. "Sialan!!" maki Delisha. "Apa yang harus kulakukan?" Dia bergumam pelan. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya dia bisa melihat orang-orang, terutama para pria memperhatikan gerak-geriknya. Jika dia terlihat bingung orang-orang jahat bisa memanfaatkannya. Dia berusaha menenangkan diri. Dia mengangkat kepala dan melangkah mantap seolah tahu kemana tujuannya.
Dia masuk ke sebuah minimarket modern. Untungnya tidak banyak orang di dalam. Ada dua orang pegawai yang merupakan penduduk lokal dan dua orang wanita yang tengah memilih-milih barang. Mereka tidak tampak mengerikan, walaupun satu pegawai berkumis panjang dan berwajah merah tua, sedangkan temannya berwajah seputih kapas dengan mata hitam dan bibir semerah darah.
"Namaste! Selamat datang! Selamat berbelanja!" sapa kedua pegawai toko sambil mengatupkan kedua tangan mereka di depan da.da.
Delisha balas mengatupkan kedua tangan dan mengangguk simpul pada mereka.
"Bolehkah aku men-charger ponselku?" tanya Delisha. Dia melirik pada id card pegawai dari balik kacamata. Dari foto, wajah kedua pria itu cukup ganteng sebenarnya.
"Tentu, Nona, silakan!" sahut pegawai yang berkumis panjang (dalam penglihatan Delisha) sambil memberikan kunci box charger. Delisha menitipkan ponselnya dalam box charger. Kemudian dia berkeliling minimarket memilih makanan dan minuman. Dia membayar belanjaannya dan bersiap hendak keluar ketika tiba-tiba hujan turun dengan deras.
"Ah, hujan!" gumam Delisha pelan. Dia selalu merasa murung jika melihat hujan.
Dia memilih menunggu dalam minimarket sambil menyeduh kopi panas. Kacamata diletakkan di pucuk kepala. Delisha duduk di bangku pantri dan bersiap menghirup kopinya ketika seorang pria masuk ke dalam minimarket dan melihat pria itu, Delisha terpana sampai tidak menyadari kopi di tangannya terjatuh, tumpah dan menggenang di lantai.
Makhluk apa pria itu?
***
Bersambung ....