If You feel shy, then come into my embrace
Let Your Breath remain tangled with mine
Speak softly softly
Softly from the lips
~Bol Na Halke Halke -- Jhoom Barabar Jhoom ~
***
Seriously?! Dari sekian banyak tempat di negara ini dan dia bertemu dengan pria itu lagi di sini? Delisha mungkin merutuk dalam hati, tetapi tidak sadar bahwa dia tidak dapat mengenyahkan pria itu dari pandangannya. Dia mematung dengan mata cokelat besar menatap Imdad Hussain tanpa berkedip, bahkan tanpa bernapas.
Imdad dulunya anak asuh di panti asuhan itu. Ia kerap datang berkunjung membawakan berbagai barang dan makanan untuk anak-anak panti. Ia menghabiskan setengah hari bermain dengan mereka. Ketika hendak pulang, hujan turun lebat. Ia membatalkan niatnya dan memilih ke perpustakaan.
Tampaknya alam semesta sedang berbaik hati padanya. Ia bertemu lagi dengan wanita asing yang kemarin mengindahkannya dan kali ini wanita, itu menatapnya dengan cara yang sama. Penuh kekaguman.
Imdad menelengkan kepala dan berjalan santai mendekati wanita itu. Mata cokelatnya berbinar-binar. Mata adalah jendela hati dan dari cara wanita itu menatapnya, lelaki mana pun pasti akan berpikir wanita ini tertarik pada mereka, secara seksual.
"Sepertinya hujan mempertemukan kita lagi, Nona!" kata Imdad, semeter di hadapan Delisha, dan wanita itu masih bergeming terpukau. Imdad mengusap dagunya sendiri. "Apa wajahku sangat tampan hingga kau tidak dapat melepaskan matamu dariku, Nona?" Baru kali ini ia merasa besar kepala. Wanita itu mengundang hasrat lelakinya.
"Memang, kau sangat tampan ...," gumam Delisha. Wajah Imdad sekarang hanya beberapa senti di depan wajahnya. Delisha bisa melihat jelas ke dalam matanya. Sorot mata penuh kegembiraan dan kasih sayang.
"Kau tahu, Nona? Jika kau terus memandangiku seperti ini, aku mungkin tidak bisa menahan diriku untuk menciummu …." Imdad bergumam sambil merundukkan matanya menatap bibir ranum Delisha.
"Silakan ...!" sahut Delisha pelan. Sejak dia belum pernah dicium seorang pun, ada pria tampan ingin menciumnya, kenapa tidak? Jauh lebih baik daripada dicium kuda atau seekor katak.
Di sana, dua bibir itu bersentuhan dan salah satunya memagut lebih dulu, menyesap lembut dan penuh perhatian.
Sofa besar, rak- rak yang dipenuhi buku- buku berdebu, menjadi saksi bisu dua orang yang memadu kasih seolah lama terpisah dan bertemu hanya untuk melepaskan hasrat kerinduan masing- masing.
Satu ciuman rupanya belum cukup bagi keduanya. Mata tertutup. Mulut keduanya terbuka hanya untuk menarik napas lalu kembali saling memagut, mendamba penuh hasrat.
Delisha ingin lebih. Bibir pria yang mulanya dingin menjadi hangat dan melembut dalam mulutnya. Buku di pangkuannya terjatuh dan tangannya melingkari leher pria itu dan merengkuh dalam pelukannya.
Imdad terlanjur basah. Bibir wanita itu lembut, basah dan dingin, terasa seperti anggur segar dan ia menyesap sarinya. Tubuh semampai Imdad membungkuk mengikuti pelukan lengan wanita itu dan ia mengungkung tubuh halusnya di sofa. Tangannya menelusuri pundak hingga ke pinggul wanita itu, perlahan-lahan.
Ini memalukan, pikir Delisha yang heran sendiri masih ingat malu. Ah, sudahlah! Setelah ini dia akan pergi dan mereka tidak akan bertemu lagi. Biarlah ini jadi pemanis dalam perjalanan kali ini.
Apa semua wanita pendatang seperti ini? Pikir Imdad. Mereka tak keberatan berciuman dengan orang asing? Ini kesempatan yang tak boleh disia- siakan! Mungkin mereka memang ditakdirkan bersama. Siapa tahu?
Salah satu lutut Imdad menyusup di antara kaki jenjang Delisha yang mengenakan rok pendek. Udara dingin karena hujan tak terasa lagi karena tubuh keduanya mengedarkan hawa panas. Suara kain bergesekan dan decakan lidah berbarengan napas berat mendesah.
Ini terlalu indah untuk sebuah kenyataan. Ciuman panas, dalam dan lama, membuat sesuatu dalam tubuhnya dibangkitkan dan mengundang rasa penasaran. "Kamu ini apa?" bisik Delisha.
Pertanyaan apa itu? Imdad tidak dapat menjawab. Bibirnya kembali menangkup bibir wanita yang mengundangnya. Ini aneh, nekat dan spontan. Namun begitu memabukkan dan ia tak ingin berhenti.
Delisha bisa mendengar suara napas dan detak jantungnya sendiri di antara derai hujan, bersamaan dengan napas memburu pria yang sekarang di atasnya, merebahkannya ke dasar sofa, membuat posisi mereka lebih nyaman. Pria beraroma hangat yang berasa nikmat. Bibirnya rasa campuran beberapa rempah harum.
"Hmm?" suara gumam tertutup Imdad seolah bertanya apa ia boleh berpindah dari bibir ke lekukan leher wanita itu.
Rahangnya yang kasar menyapu kulit leher Delisha dan napas hangat mengirimkan getaran halus ke seluruh permukaan kulitnya. "Oh ...." Rasa kasar dari kulit rahang pria itu membuat tubuh Delisha menggelenyar, kelopak matanya meredup dan dia mengeluarkan desahan lembut "Ah...."
Imdad mengangkat wajahnya sedikit hanya untuk melihat lekukan kecil di pipi wanita itu yang terbentuk ketika dia tersenyum. Manis sekali. Matanya setengah terpejam agar bisa merasakan lebih khidmat rasa dan aroma wanita itu. Bibirnya menelusuri leher wanita itu dan merasakan denyut aliran darahnya, cepat dan hangat. Tangannya bergerak menelusuri kulit pahanya dan terus naik ke sela roknya. Entah disadarinya atau tidak, ia hanya mengikuti naluri primitif. Ia butuh menyentuh wanita itu lebih banyak.
Tonjolan keras terasa tertekan di antara perut mereka. Sebagian nalarnya berusaha melawan nafsu. "Nona ...," ucap Imdad pelan, "kau tidak akan menuntutku karena pelecehan, ‘kan?"
Delisha terkesiap dan mata terbuka lebar mendengarnya.
***
Bersambung ....