Night 33: Pelajaran

2168 Words
* "Raj!" seru Rani riang hingga hampir melonjak dari kursi makannya melihat kemunculan Imdad. Seperti pagi-pagi sebelumnya, mereka sarapan di ruang makan. Rani duduk berseberangan dengan Delisha, sementara Bibi sibuk di bagian dapur yang jadi satu dengan ruang makan. Imdad datang ke ruang makan, melangkah elegan dalam kemeja dan rompi setelan warna gelap. Ia menggulung lengan bajunya, menampilkan lengannya yang berotot padat serta berbulu maskulin. Delisha menggigit bibir bawahnya melihatnya, seakan bisa merasakan bagaimana tangan itu menyentuh tubuhnya pertama kali. "My oh, my!" Bahkan hantu seperti Maya pun berseru takjub melihat pria itu. Hantu Maya berdiri di belakang Delisha. "Siapa pria ini? Auranya tampak berbeda dari pria biasa" ujarnya. Delisha mendecak ketus menanggapi hantu itu. Imdad duduk di samping Rani dan mengelus puncak kepala anak itu, lalu menoleh ke arah Bibi. "Bibi, kopiku!" serunya, lalu berbincang-bincang dengan Rani mengenai sekolahnya. Jelas sekali bagi Delisha, pria itu menghindarinya. Setelah percakapan di kondominium kemarin malam, Imdad tidak bicara sepatah kata pun padanya. "Tak kuduga pemilik rumah ini ternyata seorang pria yang masih muda, sangat tampan dan bukan orang sembarangan. Apa dia seorang CEO? Wajahnya tampak familiar," gumam Maya dekat telinga Delisha. Suaranya hampir mendesah. "Jadi, apa ada sesuatu di antara kalian? Hmm, kau tak keberatan kan kalau aku main-main dengannya?" "Uhuk!" Delisha tersedak makanan dalam mulutnya. Dia hampir saja hendak mengomeli Maya. Dia buru-buru minum air putih. Imdad dan Rani menoleh padanya sekilas, lalu kembali berbincang-bincang. "Ini kopimu, Raj!" seru Bibi sambil meletakkan secangkir kopi hitam di depan Imdad. Pria itu menghirup kopinya terlebih dahulu kemudian menyantap hidangan roti parata dan saus kare yang disediakan Bibi. Ia makan dengan lahap dan menghindari melihat pada wanita muda di depannya. Merasa diabaikan Delisha mempercepat makannya lalu meninggalkan meja lebih dulu. Dia menenteng tasnya dan berencana pergi sendiri ke kantor Xin India. Imdad melirik ketika wanita itu melangkah memunggunginya. Melihat wanita itu mengenakan rok mini serta atasan minim dilapisi blazer, Imdad merasa jengah. Pakaian itu pernah dikenakan wanita itu beberapa kali dan ia merasa tak tenang. "Marianne-ji!" panggil Imdad. Wanita itu berhenti melangkah dan menoleh padanya. "Kau ikut denganku!" ujarnya sambil bangkit meninggalkan meja makan, lalu menarik siku wanita itu. Delisha merasa pria itu menyeretnya karena melangkah terlalu cepat. Imdad menariknya ke garasi lalu membukakan pintu mobil. "Masuk!" ujarnya dingin, menyuruh Delisha masuk ke kursi penumpang di depan. "Kenapa? Buat apa? Aku bisa pergi sendiri," sahut Delisha gugup tapi berusaha angkuh. Dia tidak menyangka Imdad menyapanya setelah dikiranya pria itu akan beraksi anti-bicara. "Aku tidak akan membiarkan kau keluyuran dengan pakaian seperti itu, apalagi berada di kantor." Delisha merentangkan tangannya dan meneliti pakaian yang dikenakannya sampai ke ujung kakinya yang bersepatu hak 7 senti. "Kenapa? Tak ada yang salah dengan pakaianku," ujarnya polos. Rasanya penampilannya masih cukup sopan. "Pakaian itu terlalu minim," sahut Imdad setengah kesal. Delisha menatap pria itu dengan dahi mengernyit "Apaaa? Tuan Imdad, siapa yang memberimu hak untuk mengatur penampilanku?" "Aku sendiri!" ujar Imdad sambil mencondongkan wajahnya ke wajah Delisha, membuat wajah wanita itu merah padam. Delisha mengernyitkan tubuhnya, khawatir pria itu bakalan menggigitnya "Ke-ke-kenapa aku harus mematuhimu?" "Karena kau asisten pribadiku. Kau lupa?" Delisha tidak bisa berkata-kata. Pria itu mengangkat dagu dengan angkuhnya. "Banyak hal yang harus kau pelajari, Marrianne-ji," ujarnya lagi. "Salah satunya kau harus tahu siapa yang berkuasa di sini." Delisha terperangah. Sumpah, dia akan mengadukan pria ini pada bos besar Xin Pusat. Tetapi, apa Tuan Xin akan menanggapi hal sepele seperti ini? "Sekarang, masuk!" ujar Imdad agak membentak. Ia masih memegangi pintu mobil, sementara Delisha berdebat dalam hatinya haruskah ia menghajar pria ini atau tidak. Melihat wanita itu tidak bergerak juga, Imdad akhirnya berkata "Kau masuk sendiri ataukah aku yang melakukannya?" "Tidak ada yang bisa memaksaku ... kyaaah!!" Tubuh Delisha diangkat dan didudukkan di kursi mobil lalu pintu di sampingnya ditutup dengan keras. Tak berselang lama, pria itu juga masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya. Delisha ingin mengucapkan sesuatu tetapi didahului Imdad. "Jika kau protes lagi aku akan melakukan hal yang lebih buruk lagi padamu!" Buruk dalam arti yang bagaimana Delisha tak bisa memikirkannya lagi. Dia dibuat mati kutu, akhirnya duduk diam dan mulut terkatup rapat, membiarkan pria itu membawanya ke sebuah bangunan bertuliskan butik dengan pintu kaca dan etalase memajang pakaian khas wanita India. Hanya matanya saja yang membelalak, dalam hati dia bersorak, oh, seperti kisah-kisah romantis itu! Gila, mimpi terliarnya jadi kenyataan. Dipermak oleh seorang pria. Tanpa basa-basi Imdad menyeretnya ke dalam butik. Wanita pelayan toko menyambut mereka dengan ramah dan mendampingi Imdad memilih-milih pakaian, sementara Delisha tengah terpesona melihat beragam jenis baju yang disediakan butik itu. Ada bermacam-macam pakaian khas wanita India dan semuanya membuat wanita tampak anggun dan memesona. Imdad mengambil beberapa warna pakaian model gamis dilengkapi selendang dan meletakkannya di tangan Delisha. Wanita itu hanya menatap dengan mata besarnya sehingga ia harus mendorong wanita itu untuk masuk ke dalam kamar ganti. Delisha tentu saja bingung. Dia terdiam dalam kamar ganti berukuran 1 x 1 meter dilengkapi sebuah rak gantung untuk meletakkan barang bawaan. Dia menatap bayangannya di cermin setinggi tubuhnya, lalu menatap pakaian-pakaian di tangannya. Haruskah dia membeli pakaian sebanyak ini? Harganya tidak murah, meskipun dia punya kartu debit dan kredit dengan limit yang besar, tetap saja, berfoya-foya seperti ini terasa tidak benar. Lagi pula uangnya uang perusahaan, bukan milik pribadi. Dia tidak pernah membeli pakaian sendiri. Semuanya sudah diatur asistennya di rumah atau Xandreena, teman masa kecil sekaligus kekasih ayahnya. Delisha terkesiap ketika melihat dari cermin sesosok pria berpendar keemasan muncul di belakangnya. Imdad Hussain mengiringinya masuk ke dalam kamar ganti dan mata pria itu menyorot redup, menatap balik padanya melalui pantulan cermin. Pintu kamar ganti di belakang Imdad tertutup rapat dan terdengar bunyi klik terkunci. "Sesuai dugaanku," Imdad berujar dengan suara berat dan pelan. "Kau bahkan bingung memutuskan mau memakai yang mana." Delisha tetap pada posisinya membelakangi Imdad dan hanya menoleh ke samping, enggan melihat bayangan pria itu di cermin. "Kau memilih terlalu banyak baju, tentu saja aku bingung." Delisha membela diri. Imdad merapatkan tubuhnya pada punggung Delisha. "Kalau begitu ...," ia bergumam dekat telinga Delisha, "...aku bantu." Delisha merasakan embusan napas pria itu menyapu pinggiran telinganya, tanpa sentuhan, tubuhnya sudah bergetar halus dan wajahnya menghangat. Oh, tidak, dia harus bertahan dari pesona pria ini. "Aku bisa sendiri," sahut Delisha parau. "Aku bersikeras!" sahut Imdad cepat. Tangan pria itu sudah di pundaknya dan menurunkan bahu blazernya, ujung jari pria itu menyentuh kulitnya. Ketika blazernya sudah dicampakkan, Delisha melihat dari cermin pria itu mengesampingkan rambutnya dan menunduk untuk membenamkan wajah di tengkuknya. Mengecup kuat kulit di sana. "Imdad..." desah wanita itu menyebut namanya. Haruskah aku menjelaskannya? batin Imdad. Aku sangat ingin menyentuhnya sejak semalam. Sial, dia begitu memesona. Dia begitu polos dan menungguku untuk mewarnainya. "Tuan Imdad ...," desahnya gugup " I-ini ‘kan tempat umum ... bagaimana jika ada orang ...." "Ssst!" desis pria itu "Selama kau tidak membuat suara, tidak akan ada yang tahu." Penjaga toko pergi ke dalam bilik untuk mengemas barang-barang yang dibelinya. Lagi pula hari belum terlalu siang, jarang ada pembeli. "Te-tapi ... hummph …." Imdad membalik tubuh Delisha dan membungkam mulut wanita itu dengan bibirnya, menekan tubuh wanita itu sehingga tersandar ke cermin. Rahangnya mengeras mengunci ciuman mereka. Delisha tak bisa protes lagi. Matanya terpejam dan tanpa disadarinya dia mengerang halus ketika pria itu memasukkan lidahnya dan membelai rongga mulutnya dengan lihai. Tangan Imdad kembali menelusuri pundak Delisha dan menurunkan tali atasan mininya. Tangan pria itu begitu mahir membuka roknya dan sekarang semua pakaian yang tadi dikenakannya berada di telapak kakinya, menyisakan baju dalam merah muda penutup area paling pribadinya. Imdad memutus ciumannya dan melihat tatapan tak rela dari wanita itu. Telunjuk Imdad menunjuk bra-nya. "Yang satu ini, juga pilihanku," ujar pria itu dengan desahan parau. Ia berbisik di telinga Delisha. "Semua yang kau kenakan harus atas persetujuanku." Aneh, Delisha merasa aneh mendengar perkataannya. Apa yang telah dilakukan pria ini pada dirinya? Menguasai? Dikuasai? Dia tersandar di cermin, menatap nanar pada pria itu. "Tidak masuk akal," dia bergumam sendiri sambil menggeleng. "Semua menjadi masuk akal jika aku yang membuat titah," ujar Imdad santai. Delisha tidak bisa protes lagi mendengar perkataannya. Imdad melumat bibirnya kasar lalu tiba-tiba melepas ciumannya, membuat Delisha merasa ditinggalkan di tengah jalan. Pria itu mengambil setelan gamis warna merah muda. Baginya warna merah muda membuat wanita terlihat feminin dan manis. "Kenakan ini!" ujarnya sambil menyisipkan setelan itu ke tangan Delisha lalu keluar dari kamar ganti meninggalkan Delisha yang bersemu kemerahan sekujur tubuhnya. Pelayan toko terperanjat melihat seorang pria keluar dari kamar ganti. Matanya terbelalak dan mulut terbuka lebar, akan tetapi dihunus tatapan tajam dari pria itu, dia tidak berani bersuara, malahan wajahnya memerah karena malu. Imdad duduk di sofa dengan wajah serius tak ingin diganggu, kakinya disilangkan dan ia membuka koran harian India seolah membacanya. Dalam diam, ia melemaskan tubuhnya yang menegang. Akhirnya ia bisa mencium wanita itu. Sebelumnya ia memang tidak ingin bicara dengan Marianne, untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Namun memikirkan wanita itu bakal dengan mudahnya mencium pria asing, ia merasa khawatir. Sebagaimana hewan piaraan, jika sering diabaikan, dia bakalan mencari tuan lain yang lebih memperhatikannya. Imdad merutuk dirinya sendiri. Astaga, sekarang ia khawatir wanita itu akan berpaling darinya. Delisha menarik napas dalam. Dia mengenakan celana panjang dengan kerutan di bagian pergelangan kaki serta atasan gamis warna kuning. Selendang warna senada tersampir di pundaknya. Dia keluar dari kamar ganti, tampak sopan dan malu-malu. Sebisa mungkin dia akan berusaha melawan pria itu. Imdad melirik sekilas lalu berdiri menuju kasir untuk membayar dan menerima beberapa kantong belanjaan. "Ini akan dipotong dari gajimu, Nona Marianne!" ujarnya sambil memaksakan semua kantong belanjaan itu ke tangan Delisha, membuat wanita itu terperangah. "Apaaa? Bukan kah kau yang ..." Imdad mencondongkan wajahnya ke depan hidung wanita itu. "Karena kau tidak memakai apa yang kupilih, jadi, buat apa aku membayarnya?" ujarnya tanpa ekspresi, kemudian berlalu keluar dari butik. Pelayan toko memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Sementara Delisha masih mematung, tak percaya akan apa yang didengarnya. "Aah, berengsek!" makinya sambil menuding dengan tangan penuh belanjaan ke arah Imdad yang berada di luar toko. Dia melangkah keluar dengan kesal. Lagi-lagi, Imdad mempecundanginya. Akan kubalas kamu, aku bersumpah, akan kubalas!! Pekik Delisha dalam hati, sementara dalam kenyataan dia menggigit bibirnya agar tidak berkata-kata. Khawatir sesuatu dari mulutnya akan menambah pelajaran dari laki-laki itu. Ketika dalam mobil Imdad mendekatinya lagi. Tangan pria itu menjangkau belakang kepalanya dan merapikan rambut di tengkuknya, membuat jantung Delisha berdebar-debar. "Untuk sementara jangan angkat rambutmu," pria itu memperingatkan. "Supaya kau tahu, aku membuat tanda di sini." "Ah!" Delisha merengut ketus dan menutupi wajahnya dengan selendangnya. Pria itu malah terkekeh geli. Imdad meraih selendang itu seolah membuka tabir di antara mereka. Ia mengerudungkan kain tipis itu ke kepala Delisha dan menatap ke dalam mata bundarnya. "Jika saatnya tiba," ujarnya pelan "aku akan membuat tanda di dahi dan belahan rambutmu." Lalu ia mengecup kening wanita itu. Tanda di dahi dan di belahan rambut sama dengan artinya wanita tersebut sudah menikah. Tubuh Delisha meleleh dibuatnya. Pria ini selalu bisa membuatnya melambung tinggi sekaligus menjatuhkannya. *** Brukk!! Tubuh Aftab terlempar dan membentur pilar lalu jatuh tertelungkup di lantai. "Uhuk! Uhuk!!" pria itu terbatuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya. Wajahnya memar dan sebelah matanya bengkak karena tinju. "A-a-ampun, Bos!" rengek Aftab. Devdas menggeram sambil mengepalkan kedua tangannya. Napas menderu keluar dari lubang hidungnya. Ia murka atas kegagalan Aftab menghabisi nyawa Imdad Hussain. Beberapa anak buahnya yang berdiri di pinggir ruangan turut tegang, mengkhawatirkan diri mereka sendiri bakalan kena imbas kemarahan bos mereka. Devdas mendatangi Aftab yang masih tertelungkup di lantai lalu menendang perut pria itu berkali-kali tanpa memedulikan betapa banyaknya darah yang berceceran di lantai dan mengotori sepatunya. Tubuh Aftab berkedut-kedut kejang, mata pria itu terbalik dan mulutnya megap-megap. "Cih!" Devdas meludah ke tubuh Aftab. Ia berdiri sesaat memperhatikan tubuh Aftab yang meregang nyawa. Ia merogoh saku dalam setelannya lalu mengeluarkan sebuah botol kristal seukuran genggaman tangannya. Ia membuka penutup botol itu dan sejumput asap hitam melayang keluar dari mulut botol lalu masuk ke lubang hidung Aftab. Sekejap tubuh Aftab berhenti kejang dan terdiam, matanya tertutup lemas lalu mengerjap-ngerjap terbuka dan berbinar segar. Aftab bangun dan duduk di lantai sambil mengusap sisa darah di tepi mulutnya dengan punggung tangan. Ia meringis agak kesakitan sambil memegangi perutnya. Ah, si Bos, sudah dibuat mati, sekarang dihidupkan lagi, keluhnya dalam hati. Devdas menyimpan botol kristal dalam sakunya. Ia berdiri tegak di hadapan Aftab dan memandang mencemooh pada bawahannya itu. "Jika kau tak bisa membunuh Imdad, ambil Marianne Webster darinya, bagaimanapun caranya, aku ingin wanita itu hidup-hidup!" ujarnya dengan gigi gemelutuk. "Ini kesempatan terakhirmu. Jika kau gagal, aku tidak akan membuatmu mati, tapi akan kubuat kau tetap hidup namun dengan rasa sakit yang akan membuatmu memohon padaku agar mencabut nyawamu. Ingat itu!!" Devdas berbalik lalu melangkah lebar meninggalkan Aftab, diiringi Sanjay, asisten pribadinya. Sementara dua orang bawahan Aftab membantu pria itu berdiri. Aftab meludahkan liur bercampur darah ke lantai dan menatap tajam kepergian Devdas. Beugh, ujung-ujungnya soal wanita juga! batin Aftab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD