Night 34: Rajputana Udai Singh

1880 Words
* Tak ada satu pun hal yang mengganggu Devdas Star Tailes, kecuali kegagalannya menghabisi nyawa Imdad Hussain. Sepanjang hari itu wajah tirusnya dingin dengan rahang mengeras dan tak berminat mendengarkan laporan-laporan asistennya mengenai bisnis dan jadwal kegiatannya. Untuk meredam emosi, ia memilih bersenang-senang dengan cara yang biasa dilakukan kalangan sosialnya, berpesta pora hingga hilang kesadaran ditemani semua hal yang memabukkan. Seks, minuman, candu dan tentu saja, musik. Hari baru beranjak siang, Devdas sudah berada dalam aula privat di Lantai 50 Hotel Golden Star. Pilar-pilar besar dan dinding ruangan berlapis tirai satin merah dan emas. Dipan-dipan dengan bantal-bantal empuk, puluhan pria dan wanita tanpa busana asyik bercum.bu, menari dan saling menyentuh. Dalam temaram dan kabut asap beraroma manis yang sesaat membuat pusing, tetapi lama kelamaan menimbulkan rasa gembira. Suara musik bernuansa mediterania dengan hentakan cepat mengiringi gerakan seorang penari perut erotis yang mengenakan c**i dan bawahan satin merah. Suara gemerincing pernak-pernik logam yang dikenakan penari tersebut bak menggelitik titik-titik sensitif dalam tubuh. "Tuan!" sapa beberapa pria dan wanita ketika melihat Devdas memasuki ruangan. Mereka membungkukkan tubuh memberi hormat padanya. Orang-orang itu hanya mengenakan selembar kain tipis untuk menutupi organ seksual mereka, selebihnya tanpa atasan, menampilkan da.da bidang dan buah da.da yang ranum ditutupi dengan untaian kalung etnik. Devdas melewati mereka tanpa memberi sedikit pun perhatian. Ia menuju singgasananya, berupa kursi panjang terbuat dari emas dengan sandaran besar sehingga ia bisa berbaring di kursi itu. Ia duduk dan menerima minuman merah yang disodorkan pelayannya. Beberapa wanita tanpa busana mengerubungi dan tangan mereka menggerayangi tubuhnya, berusaha membuka setelan yang dikenakannya. "Tuan, izinkan kami melayanimu, Tuan ...." Para wanita itu memelas padanya dan tubuh mereka merangkak dengan pinggul meliuk-liuk memohon disentuh. Mata tajam Devdas melirik pada para wanita itu. Mereka semua cantik dan masih muda. Tapi wajah mereka sangat mudah dilupakan, cantik tanpa kesan. Ketika para wanita itu mulai membuka resliting celananya, ia bergeming. Ia membiarkan mereka memuja keperkasaannya yang menjulang dan menelan keseluruhannya dalam mulut mereka secara bergantian. Mulut mereka hangat dan basah, memberikan rasa nikmat, tetapi tidak berkesan. Devdas hampir tidak merasakan apa pun dalam sentuhan para wanita itu. Mata tajamnya menyorot jauh, sangat jauh menembus ruang dan waktu. Ia membayangkan seorang wanita, yang walaupun sudah berlalu selama 258 tahun, tidak ada satu bagian pun dari wanita itu yang dilupakannya. Selama 200 tahun adalah waktu yang ditempuhnya semenjak ia ditendang dari lantai surga hingga tiba ke bumi dan 58 tahun adalah waktu yang telah dijalaninya hidup sebagai Devdas Star Tailes di bumi. Sayang sekali pada kehidupan lalu wanita itu tidak pernah jadi miliknya. Chandni hanya diciptakan untuk menjadi milik Rajputana Udai Singh. Namun di kehidupan kali ini, ia akan mengubahnya. *** India, Tahun 1760. India terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan berperang. Hal itu yang memudahkan bangsa-bangsa seperti Spanyol, Belanda dan Inggris yang semula datang ke India untuk urusan dagang, berhasil menduduki tempat-tempat penting, dimulai dari kawasan pantai selatan India yang kemudian meluas hingga akhirnya Inggris berhasil menguasai seluruh India. Meskipun demikian, Inggris masih mengizinkan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil yang dikepalai oleh pangeran-pangeran. Inggris juga menempatkan seorang Gubernur Jenderal di India sebagai perwakilan kerajaan Inggris dan pemerintahnya. Tersebutlah pada masa itu, ada seorang pangeran bernama Rajputana Udai Singh yang masih muda, tetapi cerdas dan berwibawa, membuatnya disegani rak.yat jela.ta maupun petinggi kerajaan lain, bahkan pemerintah dan bangsawan Inggris. Persaingan kekuasaan antar pangeran menyebabkan rawan terjadi konflik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi seperti memasang jebakan atau mengirim pembunuh bahkan bisa melalui perantara wanita yang menjadi harem pangeran. Seperti pangeran-pangeran lain, Rajputana, atau yang biasa dipanggil Raj, juga memiliki istana harem yang isinya puluhan wanita yang bahkan ia sendiri tak dapat mengingat semua nama mereka. Selain wanita harem, Rajputana juga memiliki beberapa istri sah yang dinikahi untuk keperluan politis antar kerajaan. Namun ia lebih sering ke istana harem karena lebih dekat dengan istananya, daripada istri sah yang berada puluhan kilometer dari kediamannya. Ia akan mengunjungi istri-istrinya jika kebetulan ada perjalanan ke wilayah kediaman para istri. Semenjak Rajputana menjadi raja, ia lebih fokus ke permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat sehingga ia kerap mengabaikan para istri maupun haremnya. Di samping tata aturan bagi para istri dan harem juga cukup rumit, pertemuan dengan mereka juga menjadi sangat jarang. Rajputana tidak terlalu peduli dengan siapa yang melayaninya di ranjang, bahkan mereka tidak pernah berbincang-bincang. Rajputana tengah jenuh menghadapi persoalan-persoalan kerajaan, ditambah para menteri dan penasehat yang semuanya lebih tua darinya kerap menekan dan memaksakan kehendak padanya. Ia tinggal seorang diri di Ruang Pertemuan. Ia mendesah lelah dan menatap keluar melalui jendela besar dengan bentuk busur bagian atasnya. Ia melepas mahkota turban serta jubah kebesarannya yang berhiaskan berbagai permata dan sulaman. Tanpa mahkota dan jubah, ia hanya mengenakan kurta (gamis laki-laki) dari katun seperti rakyat biasa. Kecerahan hari di luar sana tidak secerah perasaannya saat itu. Ia perlu pelampiasan untuk melepaskan tekanan dalam dirinya. Ia melompat keluar jendela dan sembunyi-sembunyi pergi ke taman. Di Taman Istana banyak terdapat pohon-pohon teduh. Ia terkenang masa kecilnya selain berlatih berkuda, berpedang dan memanah, ia juga memanjat pohon untuk bersenang-senang. Ada sebuah pohon beringin tua dengan batang yang sangat besar dan daun rimbun. Rajputana berjalan di bawah pohon itu sambil menghirup udara segar dan merasakan angin sepoi-sepoi. "Kamu yakin dengan apa yang kau lihat?" Suara seorang perempuan memecah ketenangan. Suaranya ringan dan tanpa tata krama seperti yang biasa didengarnya. Rajputana menoleh ke kiri ke kanan mencari sumber suara tersebut. "Jangan bohong padaku, Pria Tua!" rutuk suara itu lagi. Rajputana mendongak dan ia menemukan pemilik suara tersebut. Seorang perempuan duduk di dahan pohon dan mendongak menatap sesuatu di atasnya. Rambut panjang dikepang, tanpa perhiasan dan gangra c**i kuning yang dikenakannya menunjukkan bahwa dia seorang pelayan kelas bawah di istananya. Pelayan kelas bawah mengerjakan pekerjaan kasar seperti mencuci, mengambil air, mengurus ternak, memasak dan membersihkan halaman ataupun ruangan setelah dipergunakan. Rajputana jarang sekali melihat mereka. "Apa yang kau lakukan di atas sana, gadis kecil?" tegur Raj. Perempuan itu tersentak kaget dan menoleh kepadanya. Ia mengira perempuan itu anak kecil karena perempuan dewasa tidak akan memanjat pohon. Ternyata perempuan itu terlihat cukup dewasa. Ia tidak mengenalinya, tetapi melihat wajahnya dan cara wanita itu menatapnya, Raj terkesima. Dia memiliki kulit yang lebih terang dari kebanyakan perempuan setempat. Matanya, walaupun membulat karena terkejut, tampak berbinar polos dan berwarna kecokelatan. Wanita itu menatapnya seolah ia lelaki pertama yang pernah dilihatnya. Meneliti dan keheranan. Wanita itu terkesiap, pegangannya pada dahan pohon menjadi goyah dan dia terpekik ketika tubuhnya terjatuh. "Kyaaaa ...!" Raj dengan sigap menyambutnya dan tidak diduganya ia kesulitan menyeimbangkan tubuh. Ia roboh ke tanah dengan tubuh wanita itu di atasnya. "Kau ... rupanya, cukup berat," keluh Raj. Sudah diberitahu tubuhnya berat, wanita itu tidak beranjak dari atas tubuhnya, malahan dengan siku bertumpu di dadanya, menatapnya lekat tanpa berkedip. "Kenapa? Ada apa?" tanya Raj waswas, memikirkan mungkin wanita ini mengenalinya dan ketakutan padanya, karena dalam peraturan pelayan rendahan tidak boleh menatap wajah pangeran atau raja, apalagi bersentuhan. Mata cokelat bening itu berkedip-kedip. "Kamu ini apa?" tanya wanita itu. Raj bangkit dulu dari posisinya dan mereka berdua duduk di tanah. "Kau tidak tahu siapa aku?" tanya Raj. "Tidak, makanya aku ingin tahu kamu ini apa," jawabnya. Apa dan siapa, itu dua hal yang berbeda. "Aku ini manusia, sama seperti yang lainnya," ujar Raj. Wanita itu menggeleng. "Tidak, kau berbeda," katanya, "kau bercahaya seperti matahari." Perumpamaan yang bagus, pikir Raj. "Siapa namamu, gadis kecil?" tanyanya. Karena tubuh wanita itu mungil dan matanya berbinar seperti anak-anak, ia memanggilnya gadis kecil. "Chandni, Tuan, namaku Chandni, dan aku bukan gadis kecil lagi, aku ini sudah besar dan seharusnya aku sudah menikah, tetapi aku belum, karena tidak mudah bagiku menerima kehadiran laki-laki," ujarnya terdengar seperti pengakuan dirinya putus asa ingin menikah. Pada zaman itu, wanita dinikahkan atau dijadikan harem pada usia yang masih belia. Usia Chandni yang baru 20 tahun sudah dianggap terlambat menikah. "Baiklah, Chandni, apa yang kau lakukan di atas tadi? Sepertinya kau bicara dengan seseorang," selidik Raj. "Hanya burung, aku bicara dengan burung," jawab Chandni sambil memalingkan wajahnya karena tidak ingin ketahuan berbohong. Dia tidak bisa mengatakan dia berbicara dengan seorang kakek tua sedangkan tidak ada yang bisa melihatnya karena kakek tua itu jin penunggu pohon beringin tersebut. "Burung?" "Ya, burung, pohon, bunga, angin, awan, sama seperti manusia, mereka bagian dari alam ini," ujarnya sambil berdiri dan tangannya direntangkan ke sana kemari, menunjuk alam sekitarnya. "Kita harus bicara dengan alam sesekali. Alam sudah banyak memberi kita manfaat." "Oh?" Alis Raj terangkat. Baru kali ini ia mendengar wanita bicara tentang alam. Biasanya mereka membahas perhiasan, sutra satin dan dandanan. Ia bangkit dari tanah dan menepuk-nepuk bajunya untuk menyingkirkan debu tanah. Chandni menutupi mulutnya lalu mencondongkan kepalanya ke telinga Raj, membisikinya sesuatu. "Burung berkata, di atas tebing di luar istana ada gerombolan perampok sedang bersembunyi. Mereka menunggu rombongan kerajaan lewat untuk merampoknya sekaligus membunuh Rajputana Udai Singh." Raj semakin penasaran dengan pelayan wanita itu. Ia dan beberapa pejabat istana berencana berangkat ke luar kota nanti malam. Ia memang waswas akan diserbu orang dalam perjalanan mereka. Hanya saja laporan dari prajurit pengintainya tidak pernah seakurat ini. Uniknya lagi, ia mendengar hal ini dari seorang pelayan yang tidak leluasa keluar masuk istana dan mendapatkan informasi dari seekor ... burung? Dan wanita ini bahkan tidak waspada dengan sekitarnya. "Kamu yakin dengan perkataan burung itu?" Chandni menggoyang kepalanya. "Aku tidak tahu, aku tidak bisa pergi keluar untuk memeriksanya sendiri," katanya setengah kesal. Dia lalu meneliti pria di depannya. "Tetapi kau sepertinya bisa pergi keluar. Kau ini siapa? Apa kau seorang prajurit?" "Apa kau percaya jika kukatakan bahwa aku penguasa tempat ini?" sahut Raj. Wanita itu tertawa. Kedua pipi berisinya membentuk lekukan dalam yang sangat manis. "Kurasa semua laki-laki ingin seperti Rajputana Udai Singh," sindirnya, "kaya raya, tetapi bodoh seperti keledai." Raj sama sekali tak menduga akan mendengar hinaan seperti itu. "Kenapa kamu menganggapnya seperti keledai? Jika Tuan Raj mendengar, ia akan menghukummu. Ia bisa menjatuhkan hukuman mati pada siapa saja. Apa kau tidak takut?" "Hmm?" Chandni mengangkat bahu tanda tak peduli. "Aku tidak takut pada keledai yang hanya bisa menghabiskan waktu dan tenaganya pada perempuan. Hanya laki-laki bodoh yang melakukan itu. Ia bahkan tidak tahu istana haremnya itu sarang ular." Dia bersandar pada batang pohon. Sebagai penguasa tempat itu, Raj sangat tersinggung mendengarnya, akan tetapi entah kenapa ia masih berusaha menahan diri. Ia sendiri baru pertama kali melihat wanita itu. Jika pun pernah, ia yakin ia pasti mengingatnya. Ia mendekati wanita lancang itu. "Kau bicara seolah kau mengenalnya. Apa kau pernah bertemu dengan Rajputana Udai Singh?" Chandni memiringkan kepalanya dan kening berkerut karena berpikir. "Hmm, belum pernah, sih," gumamnya santai. Rajputana Udai Singh memanjangkan tangannya untuk bertumpu ke batang pohon. Ia mengungkung wanita itu. "Kalau begitu, akan kubuat kau mengenal Rajputana Udai Singh," ujarnya dingin. "Hmm?" Wanita itu terheran-heran menatapnya. "Aku menjadikanmu pelayan pribadi Rajputana." Wanita itu tertawa lagi. "Tidak perlu. Kenapa aku harus menjadi pelayan seekor keledai?" katanya mengejek. "Sebagai hukuman," sahut Raj dengan nada dinaikkan dan menatap tajam pada wanita itu, membuat suasana di antara mereka menegang. Chandni sekarang menatap balik padanya dengan gugup. "Memangnya kau siapa? Seenaknya menghukum aku." "Aku Rajputana Udai Singh, seekor keledai." Detik itu juga Chandni berharap dia punya sayap agar bisa terbang jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD