BAB 3 | BEAUTY AND THE BEAST

1082 Words
AKHIRNYA lelaki perusuh itu datang juga. Natalie menatap Xavier jengah sementara Chloe masih terus menunduk seolah kehadirannya bukanlah sesuatu yang menarik. “Beauty! Apa yang terjadi padamu?” Xavier memekik heboh lalu menarik kursi dan duduk di samping Chloe. Natalie memutar bola mata melihat tingkah Xavier yang berlebihan. “Chloe baik-baik saja, dia hanya sedang merindukan Victor jadi stop mengganggunya!” Natalie menyalak, memberi peringatan supaya Xavier berhenti mengusik Chloe yang tengah galau. Xavier melayangkan tatapan protes ke arah Natalie. “Jangan mengaturku! Aku hanya melakukan yang terbaik untuk my beauty.” Natalie merinding mendengar ucapan lebay Xavier. “Dasar the beast!” ejeknya. “Hei! Bukankah aku sudah melarangmu memanggilku begitu?” pungkas Xavier, dengan bibir mengerucut mirip anak kecil yang sedang merajuk. “Jangan mengaturku! Aku hanya melakukan apa yang aku suka,” balas Natalie, sengaja memplaygiat kata-kata Xavier sebelumnya untuk menyerang balik lelaki itu. Natalie selalu mencari masalah dengannya. Ugh, gadis menyebalkan! Andai saja dia bukan teman Chloe, sejak dulu Xavier pasti sudah mengusirnya jauh-jauh. Kekesalan Xavier tidak bertahan lama, ia tersenyum tanpa beban lalu berucap santai, “Baiklah jika kamu ingin memanggilku begitu. Lagi pula, bukankah itu berarti aku dan Chloe adalah pasangan serasi seperti dongeng princess Beauty and The Beast.” Natalie memasang wajah bosan, berdebat dengan laki-laki halu seperti Xavier memang sangat tidak berguna. “Asal kau tahu saja, beauty and beast tidak bisa bersatu di dunia nyata,” tandasnya. “Impossible! Mereka berakhir bahagia di cerita dongeng,” Xavier menyahut tidak terima. “Korban dongeng anak-anak…” komentar Natalie dengan malas, lalu memasukkan satu suapan cake ke dalam mulutnya untuk mengembalikan mood-nya yang hilang. Sementara Chloe terus berdiam diri, lebih memilih memikirkan keadaan kekasihnya yang tinggal jauh di negeri matador daripada mendengarkan perdebatan Xavier dan Natalie untuk yang kesekian kalinya kerap terjadi. •••• Palacio Real de Madrid—SPAIN. Limosin dengan logo kerajaan Spanyol di bagian awak mobil memasuki pintu gerbang dan berhenti di halaman depan istana yang luas. Kepala pelayan kerajaan berseragam muncul lalu berlari membukakan pintu mobil. Seorang lelaki dengan style pakaian kasual namun sopan keluar dan berjalan cuek melewati barisan para pelayan yang menunduk hormat kepadanya. Victor tidak tahu alasan jelas mengapa dirinya menerima panggilan resmi dari kakeknya. Tapi yang pasti, kedatangannya ke istana kenegaraan bukanlah suatu yang ia harapkan. “Victor Felipe Rocasolano.” Raja Felipe ke-VI mengeja nama lengkap cucunya sesaat ketika Victor muncul melewati pintu besar yang terhubung dengan ruang pribadinya. Raja Felipe menyuruh asistennya keluar dan meninggalkan mereka berdua di ruangan. Berbicara empat mata bersama orang tertinggi di Spanyol bisa jadi merupakan kesempatan berharga sekali seumur hidup, tapi peraturan itu tak berlaku bagi Victor. Menurutnya, berhadapan dengan Raja Felipe hanyalah buang-buang waktu mengingat dia sama sekali tidak punya niat untuk menjeburkan diri ke dunia politik. “Bagaimana kabarmu Vic?” tanya Raja Felipe. Tangan Victor mengepal, ingin sekali dia membombardir pertanyaan yang dilontarkan Raja Felipe barusan. Pasalnya, sejak Victor dilahirkan pria tua bangka itu bahkan tidak pernah peduli dengan keadaan maupun kesehatannya. Satu-satunya yang dia pikirkan hanyalah urusan kepemerintahan. Lalu hari ini? Setelah sekian lama, pria itu akhirnya bertanya kabarnya. HAHA, lucu sekali. Namun Victor tahu pertanyaan itu digunakan hanya untuk menutupi maksud tujuan yang sebenarnya. “Kabarku baik, Abuelo. Senang mengetahui Anda akhirnya mengajakku bertemu di istana,” Victor membalas sarkasme. Tatapan permusuhan yang lelaki itu pancarkan tidak bisa menipu Raja Felipe yang akhirnya tertawa melihat pertentangan cucunya. “Hahaha. Walaupun kita jarang bertemu satu sama lain, tapi tampaknya kamu sudah sangat mengenal orang seperti apa aku ini.” Rahang Victor mengeras, lalu menyeringai. “Tentu saja, Anda adalah Raja di negara ini. Semua orang mengenal Anda dengan baik.” Selain itu, perbuatan yang telah Anda lakukan membuatnya tampak jelas, Victor meneruskan ucapannya dalam hati. Raja Felipe melangkah mendekati Victor, lalu mengamati penampilannya dari atas sampai bawah. “Ternyata kamu lebih tampan dari pangeran Romeo,” pujinya. “Bisakah kita langsung ke inti pembicaraan? Aku tidak tertarik mengobrol dengan seseorang yang hanya berpura-pura ramah padaku. Lebih baik aku menggunakan waktuku untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah.” Victor berucap sinis. Secara tidak langsung menunjukkan ketidaksukaannya pada sang Raja. Tapi tidak mudah membuat pria tua bangka di depannya berhenti berakting. “Ah ya! Aku lupa kamu adalah seorang mahasiswa bisnis. Sayang sekali kamu menyia-nyiakan gelarmu sebagai pangeran Spanyol untuk menjadi pedagang,” komentar Raja Felipe sembari menatap prihatin cucunya. Victor menyahut geram, “Bukan pedagang! Aku akan menjadi pemimpin di perusahaanku sendiri.” Tatapan Raja Felipe seketika berubah lebih serius. “Impianmu adalah menjadi pemimpin. Lalu jika aku mengangkatmu sebagai pemimpin negara ini, apakah kau bersedia Victor?” Kilat marah muncul di mata tajam Victor. “Untuk apa Anda menawarkannya padaku? Kakakku Romeo adalah orang yang akan menempati posisi itu menggantikan Anda,” jawabnya. Raja Felipe berbalik mendekati sekat jendela yang terbuka, berdiri memunggungi Victor yang masih diam menunggu jawabannya. “Romeo dan Juliet membuat masalah. Sekarang semua pilihan ada padamu. Menjadi Raja Spanyol berikutnya, atau menikahi Amanda untuk menutup aib mereka berdua.” Perkataannya berhasil menyulut kemarahan Victor. Lelaki itu berjalan lebih dekat di belakang Raja Felipe lalu mengeluarkan protesannya. “Apa maksud Anda! Kenapa aku harus terlibat dalam masalah yang ditimbulkan Romeo dan Juliet! Lagi pula, siapa itu Amanda?” Raja Felipe berputar menghadap Victor. “Bukan aku yang melibatkanmu, tapi kakakmu sendiri yang mengajukanmu sebagai jaminan.” “Aku bukan barang!” Victor menggeram kesal. Victor tidak terima, dari ucapan Raja Felipe, ia seakan-akan sebuah barang yang bisa dipindah-tangankan. Daaamnn it! Dari awal pertemuan ini memang sudah aneh, jadi ternyata untuk inilah tujuan yang sebenarnya. “Jangan cepat marah Vic. Santailah sedikit…” Raja Felipe mencoba tersenyum, berbanding terbalik dengan sorot matanya yang menggertak Victor untuk tetap waspada. “Jika kamu tidak suka dengan dua opsi yang kuajukan sebelumnya. Maka aku akan menggantinya. Kakakmu tetap dinobatkan sebagai Raja Spanyol berikutnya, tapi demi mewujudkan posisi itu aku harus menyingkirkan hama yang kelak bisa menimbulkan kerugian pada keluarga kerajaan.” Senyum ramah yang terulas di bibir Raja Felipe perlahan memudar tergantikan seringaian kejam yang menunjukkan sisi aslinya. Victor menggeleng gusar, merasa cemas dengan maksud ‘menyingkirkan hama’ dari ucapan Raja Felipe yang berarti akan ada pertumpahan darah. Tapi siapapun yang akan pria tua bangka itu bunuh, bukankah seharusnya Victor tidak perlu repot-repot memusingkannya? karena dirinya tidak terlibat apapun dengan masalah Juliet dan Romeo. Satu-satunya yang perlu Victor pikirkan saat ini hanyalah masa depannya dan Chloe. Perkara negara biarlah tak menjadi urusannya. Victor tidak peduli, walau itu menyangkut nyawa dari seseorang sekalipun. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD