SWM - PART 3

1880 Words
“Pulang sekolah nanti Lo langsung balik Al?” Alva menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, karena dia sedang mengunyah makanan. Saat ini sedang jam istirahat berlangsung. Keduanya memilih untuk menghabiskan waktu istirahat mereka untuk makan dikantin. Karena kali ini Bunda Alva tidak menyiapkan bekal untuk keduanya. “Kenapa?” Tanya Alva setelah habis mengunyah, ia tahu tidak biasanya Davira bertanya seperti itu kalau tidak karena ada suatu hal yang penting. “Gue mau ke dokter gigi, udah kontrol bulanankan. Lagian mau ganti karetnya juga.” Davira memang memakai behel di giginya dan ia punya jadwal buat kontrol. “Yaudah entar gue temenin, tapi tunggu gue habis rapat aja. Nggak lama kok gimana? Lo hubungin aja dulu kesana daftarin nama Lo.” “Yaudah kalau gitu, gue hubungin dulu.” Davira langsung mengambil handphonenya guna mendaftarkan namanya. Alva memang selalu ada untuk Davira, tak pernah ia membiarkan Davira untuk pergi seorang diri. Apa lagi kedua orangtua Davira yang sibuk, harus membuat gadis itu mandiri. Untung saja ada Alva yang selalu ada untuknya. Sepulang sekolah sambil menunggu Alva, Davira memilih melangkahkan kakinya untuk menuju perpustakaan. Ia bingung harus menunggu dimana, kalau dikelas hanya dengan handphone menurutnya itu sangat gabut. Makanya Davira memilih untuk menunggu di perpustakaan saja. Ia juga sudah memberitahu Alva hal itu. Bukannya membaca buku pelajaran atau mengerjakan tugas, Davira malah membaca n****+ yang dia bawa dari rumahnya. Kalau hanya membaca n****+ dia bisa dikelas saja bukan? Tapi Davira memilih perpustakaan karena dia membutuhkan ketenangan. Karena perpustakaan tidak ada keributan sama sekali, itu yang Davira butuhkan. “Kamu baca Harry Potter juga?” Davira langsung menoleh ke arah asal suara yang berada di hadapannya. Davira mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria yang tidak ia kenal. “Iya, kenapa?” “Udah baca yang ke berapa kali?” Dahi Davira mengerut bingung akan pertanyaan itu. “Boleh tebak?” Tanya pria tersebut. “Udah tiga kalikan?” “Tahu darimana?” Tanya Davira dengan cepat. Karena pria itu benar, ia sudah baca buku yang dipegangnya ini tiga kali. Pria tersebut tertawa. “Tahu saja, aku sudah baca lima kali dari semua series.” “Benarkah? Lo punya series yang ke lima sama yang terakhir nggak? Gue bisa pinjam? Gue mau baca ulang, sebenenrya gue punya semuanya lengkap tapi waktu itu di pinjem tapi nggak balik-balik. Katanya hilang ngeselin bangetkan makanya gue mau dong kalau lo punya.” “Okey entar gue kasih sama lo.” “Kasih?” Beo Davira, “Kebetulan gue punya tiga, jadi kalau lo mau bukunya bisa buat lo aja nanti. Besok gue bawain novelnya.” “Wahhh makasih banyak lohhhh, okey gue besok kesini lagi pulang sekolah. Gue tunggu ya.” Jawab Davira dengan antusias. “Siap.” Pria tersebut tersenyum simpul. “Oh iya kita belum kenalan. Gue Davira, nama lo siapa?” Pria tersebut tertawa. Sambil membalas uluran tangan Davira. “Aku tahu kok nama kamu siapa, Davira Taleetha Adhyastakan?” Davira menganggukkan kepalanya dengan cepat. “Tahu dari mana lo?” “Tahu dong, siapa coba yang nggak kenal sama kamu.” Pernyataan pria itu terasa ambigu menurutnya. Dia tidak seterkenal itu, bahkan dia hanya orang yang tak pernah di anggap. Dia terlihat ada karena ada Alva di sampingnya hanya itu. “Nama gue Afgan.” Tawa Davira seketika pecah. “Lo nggak punya lesung pipi sama kayak penyanyi Afgan?” “Aku bahkan lebih dari sekedar lesung pipi.” Jawab pria yang bernama Afgan tersebut. Kata-katanya sangat ambigu sekali dan bahkan senyumnya saat ini penuh arti namun Davira tidak tahu soal itu. “Oh ya? Apa?” Tanya Davira. “Nanti kamu juga bakalan tahu dan bisa rasain.” Jawab Afgan penuh dengan misteri. Hanya dia yang tahu makna dari perkataannya yang mempunyai makna ganda tersebut. “Okay, kalau gitu. Jadi gimana-gimana lo suka sama bagian apa? Lo suka part yang mana sih?” Tanya Davira kepo, dimulai dari pertanyaan Davira membuat hubungan keduanya dekat. Obrolan keduanya mengalir, Davira merasa senang karena ada yang bisa nyambung dengannya untuk cerita tentang Harry Potter. Karena Alva tidak suka dengan cerita tersebut, makanya kalau Davira cerita, Alva hanya diam saja membuat Davira jadi kesal sendiri. Padahal dia butuh ditanggapi. Bagaimana bisa Alva menanggapi sedangkan ia tidak tahu apa-apa. Bahkan tanpa Davira sadari waktu terus berjalan. Ia bahkan lupa janjinya dengan Alva. Dia saja tidak dengar bahwa handphonenya sudah bergetar dari tadi. Alva terus menghubunginya tapi Davira lupa. Sampai akhirnya Alva yang menemui Davira ke perpustakaan. Padahal tadi mereka janjian di parkiran, sudah lumayan lama Alva menunggu Davira di parkiran. “Vira,” Panggil Alva dengan dingin, untung saja keadaan perpustakaan sepi. Kalau ramai dia sudah di marahi orang yang ada disana. “Eh Alva.” Davira jadi kaget sendiri. “Kok cepat?” Pertanyaan Davira membuat dahi Alva mengerut. Dari mana bisa cepat pikirnya, ini sudah sangat lama dari jadwal yang sudah di tentukan. “Lihat jam udah jam berapa. Cepat dari mana?” Kata Alva dengan kesal. Pantes saja Davira tidak melihat handphonenya ternyata ada orang lain yang bersamanya dan Alva bisa lihat n****+ Harry Potter di atas meja. “Wahhh kok nggak terasa ya.” Davira langsung mengambil handphonenya di tas dan melihat begitu banyak chat dan panggilan dari Alva. “Sorry gue nggak denger kalau lo ternyata nelvon gue.” Davira nyengir supaya Alva tidak marah padanya. “Buruan udah telat nih, nanti macet udah jam pulang kerja ini.” Alva lebih dahulu pergi meninggalkan Davira. “Bentar Al! Gue pergi duluan ya, sampai ketemu lagi.” Kata Davira dengan cepat sambil membawa barang bawaannya dengan sedikit keteter. Ia takut ditinggalkan Alva, tanpa menunggu jawaban dari Afgan Davira sudah menghilang begitu saja dari pandangan pria itu. “Alva! Bentar! Tungguin gue kenapa!” Teriak Davira. “Buruan makanya.” Kata Alva yang masih terus berjalan sampai akhirnya di parkiran, Alva langsung memakai jaket dan helmnya. Sedangkan Davira masih ngos-ngosan karena dia harus berlari agar bisa mengimbangi Alva. “Kaki lo Panjang, beda sama kaki gue. Galak banget sih lo sama gue.” “Lo tahukan kalau gue nggak suka lama-lama.” Davira mencebikkan bibirnya sambil memasukkan bukunya ke dalam tas. “Sebelum lo kontrol nggak mau makan? Nanti lo nggak bisa makan enak lagi karena sakit gigi.” Walaupun Alva marah tetap saja dia peduli dengan Davira. Buktinya saat ini dia tahu kalau Davira setelah kontrol akan susah makan karena giginya akan sakit. “Iyayah, ayo makan deh. Makan ayam bakar enak kali ya?” “Nggak boleh! Itu ayam bermasalah sama perut lo. Makan yang bene raja kenapa sih Vir, jangan cari perkara gitu.” Lagi Davira dapat omelan dari Alva membuat gadis itu jadi keki sendiri. “Jadi harus makan apa Alvarendra Prasaja. Gausah nanya kalau emang nggak di bolehin.” Alva naik begitu saja ke motornya, menyerahkan jaket serta helm milik Davira. “Yaudah pakai aja, biar gue yang nentuin mau makan apa.” Davira memutar matanya malas, menghembuskan nafasnya dengan kasar agar Alva tahu kalau dirinya sedang kesal karena pria itu. Dengan cepat Davira memakai jaket dan helmnya dan langsung naik ke motor. Memeluk Alva dari belakang ketika pria itu menjalankan motornya bergabung dengan kendaraan lainnya menghadapi macetnya kota Jakarta.   ***** “Sakit banget Al, ngilu.” Rengek Davira pada Alva. Mereka baru saja selesai dari dokter gigi, Davira langsung masuk ke kamarnya. Kepalanya jadi pening sangkin sakitnya, rasanya ngilu. Kalau kata orang mending sakit hati dari pada sakit gigi. Kalau sakit gigi makan saja nggak bisa, tapi kalau sakit hati masih bisa makan bukan? “Gue buatin teh hangat ya?” Davira menganggukkan kepalanya. Davira sudah melipat kakinya meringkuk seperti bayi, padahal dia belum mengganti baju sekolahnya. Dia seolah tak punya tenaga untuk melakukan hal lain. Tak lama Alva datang dengan membawa segelas teh hangat yang sudah disiapkannya. Davira membuka matanya dan duduk sebentar untuk meminum teh hangat tersebut. Setelah merasa cukup ia kembali tidur. “Lo nggak mau ganti baju dulu biar enakan? Jangan jorok deh Vir.” Davira menggeliat tak suka menandakan penolakan. “Tapi setidaknya lo ganti baju Vir kalau mau tidur supaya lo nyaman.” Lagi Davira menggelengkan kepalanya menolak untuk melakukan hal itu. Alva hanya menghembuskan nafasnya kasar melihat Davira. Alva segera menarik kepala Davira agar tidur di pahanya. Davira membuka sedikit matanya dan melihat Alva yang berada di atasnya. “Gue mau bantuin pijitin.” Kata Alva seolah tahu apa yang mau Davira tanyakan. Lalu Davira kembali memejamkan matanya menunggu pijatan yang dijanjikan pria itu. Dan benar saja Alva langsung memijat kepala Davira karena tahu giginya sakit membuat kepalanya sedikit nyeri. Ini bukan pertama kali bagi Alva melakukan hal itu pada Davira. Semakin lama Davira semakin nyaman dan akhirnya dia tertidur pulas. Alva tersenyum simpul melihat Davira yang sudah tertidur hanya dengan pijatannya. Padahal tadi dia terus mengeluh sakit, Alva lega kalau Davira sudah bisa tenang. Mendengar rengekan Davira membuat Alva tidak tenang. Dengan perlahan Alva membaringkan kepala Davira ke bantal, memposisikan Davira bisa tidur dengan nyaman dan terakhir menarik selimut guna menyelimuti Davira. Alva mengurangi suhu AC yang hidup di kamar Davira agar sahabatnya itu tidak kedinginan. Karena Davira tidak bisa kedinginan, sedikit dingin saja dia sudah langsung sakit. “Gue pulang Vir, have nice a dream.” Kata Alva dengan pelan sambil mematikan lampu. Alva berjalan keluar kamar Davira sambil membawa tas ranselnya. Memastikan Davira aman dan sudah tidur itu cukup bagi Alva. Sesampainya di rumah Alva langsung disambut oleh Irene Prasaja, Ibundanya Alva. “Dari tadi Bunda udah lihat motor kamu, Davira kenapa kok tumben langsung ke rumah? Biasanya kesini dulu makan malam.” Alva mencium tangan Irene dengan lembut. “Bunda, bukannya anaknya yang ditanya malah Davira.” Irene tersenyum jahil. “Davirakan juga anak Bunda, kamu gimana sih. Lagian Bunda udah lihat kamu baik-baik aja, tapi kalau Davirakan Bunda nggak ada lihat makanya yang ditanya Davira.” “Iya deh Bun iya. Davira giginya lagi sakit, biasa kontrol tadi. Tapi Bunda tenang aja, Alva udah ajak Davira makan kok tadi sebelum ke dokter.” Irene bisa bernafas lega. “Syukurlah, Bunda khawatir kalau Vira belum makan. Kamu nggak mau makan lagi? Bunda udah masak tadi.” “Iya Bun nanti Alva makan, entar Bunda ngambek lagi kalau masakan Bunda nggak di makan. Tapi Alva mandi dulu ya Bun.” “Okey Bunda tunggu ya. Bunda juga belum makan.” “Kenapa Bunda nggak makan duluan tadi, kenapa nungguin?” “Gapapa, kayaknya Bunda udah lama nggak makan malam bareng sama kamu.” Alva memeluk Irene dengan erat. “Gapapa Bunda, Alva minta maaf kalau terlalu sibuk ya.” “Bunda yang minta maaf karena terlalu sibuk di toko.” “Enggak Bun, Alva bisa ngerti kalau Bunda kerja karena Alva. Jadi Alva janji nanti kalau Alva udah kerja, Bunda nggak usah capek lagi buat kerja karena cukup Alva aja yang kerja.” Yap selama ini Irene jadi tulang punggung guna membutuhi kehidupan mereka. Alva hanya miliki Irene sebagai keluarga tidak ada yang lain. “Udah gih buruan kamu mandi, Bunda udah lapar.” Irene sengaja mengalihkan, ia tidak mau pembicaraan keduanya akan jauh lebih serius membuat pembicaraan mereka akan melebar kemana-mana terkhusus pembicaraan yang Irene tidak mau bahas. “Okey, bentar ya. Alva akan cepat.” Alva memilih berlari agar cepat masuk ke dalam kamarnya. Dengan segera dia ingin menuntaskan mandinya agar Bundanya tidak menunggu terlalu lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD