Seperti biasa Alva dan Davira kembali berangkat ke sekolah secara bersamaan. Keduanya tidak akan pernah lepas satu dengan yang lain. Baik para siswa di sekolah dan para guru jelas tahu bagaimana persahabatan mereka. Tetapi para guru mengatakan kalau mereka kelak akan bersama nantinya, bagaimana melihat kedekatan keduanya.
Alva itu tidak hanya sekedar sahabat, tapi menurut orang yang lihat sudah lebih dari sahabat. Karena Alva sangat menjaga Davira sekali, apabila ada yang mengganggu Davira maka Alva yang akan menjadi orang pertama melindungi Davira. Alva akan menjadi orang yang selalu ada dimana Davira. Makanya dimana ada Alva aka nada Davira begitupun sebaliknya.
“Vira!” Teriak Alva di tengah lapangan. Mereka baru saja diskusi kelompok di pinggir lapangan basket. Karena ada pohon yang sedikit rindang membuat mereka suka duduk disana karena adanya angin sepoi-sepoi.
“Kenapa?” Davira membalikkan badannya, ia ingin berjalan ke kantin. Alva dengan cepat berlari sambil membuka jaket yang digunakannya dan menyampirkannya ke pinggang Davira lalu mengikatnya.
“Lo nggak tahu kalau Lo lagi datang bulan?” Davira panik seketika.
“Lo serius? Tembus ya?” Davira melihat sekeliling dan ternyata untuk tidak banyak orang disana. Palingan teman satu kelompoknya yang lihat membuatnya sedikit lega.
“Iya, gunakan pembalut gih.”
“Pembalut gue ada di tas, bisa ambilin ga Al? Gue ke kamar mandi duluan.”
“Yaudah, jaketnya jangan dilepas.” Davira menganggukkan kepalanya dan langsung berlari ke toilet. Sedangkan Alva masuk ke kelas guna mengambil pembalut untuk Davira. Saat di toilet dia meminta seseorang siswi untuk membawa pembalutnya pada Davira.
Bahkan seketika siswi tersebut berdecak kagum karena Alva yang tidak malu memegang pembalut. Padahal yang mereka tahu pria sangat gengsi untuk hal-hal perempuan seperti itu. Tetapi Alva sudah biasa apa lagi ini Davira yang memerlukannya. Kalau sudah soal Davira, Alva tidak peduli dengan apapun.
“Udah?” Tanya Alva setelah Davira keluar.
“Baru kerasa sakit perutnya Al.” Davira meringis sambil memegang perutnya.
“Pulang aja yuk biar gue izinin, entar makin tambah parahkan biasanya sakitnya.”
“Tapi entar bakalan ada quiz Al.”
“Yaudah kita izin, minta ujian susulan aja.”
“Kita? Lo juga?”
“Yaiyalah! Yang antar Lo pulang siapa!”
“Gue bisa pulang naik taxi Al.”
“Di rumah Lo lagi nggak ada orang Bunda juga nggak ada. Siapa yang ngurusin entar yang buatin Lo teh sama yang pijitin siapa?”
“Tapi gue nggak enak, entar Lo ma—”
“Lo kayak sama siapa aja! Ayo buruan, Lo gue antar ke kelas dulu biar gue ke kantor guru.” Davira menganggukkan kepalanya hanya bisa pasrah. Kalau soal sakit Alva bisa lebih cerewet dibandingkan Mamanya.
Dengan cepat Alva meminta izin pada guru agar diizinkan pulang. Para guru juga sudah tahu bagaimana sakit bulanan Davira. Memang tidak tiap bulan Davira bakalan izin, karena bisa saja ia dapat ketika di rumah atau di hari libur. Tapi mereka tahu kalau Davira selalu mengalami sakit yang luar biasa saat datang bulan. Bukan hanya sakit tapi terkadang jiwa kesensitivean Davira juga akan meningkat.
“Pegang yang erat ya Vir, kalau kepalanya pusing bilang entar kamu jatuh lagi.” Lagi Davira mengiyakan semua petuah Alva. Maka ketika sudah naik, Davira langsung memeluk Alva dari belakang.
Karena Davira pernah saat datang bulan memaksakan diri bawa motor dan ternyata di tengah jalan dia malah jatuh karena pingsan. Tiba-tiba semuanya terasa gelap dan Davira hampir saja menabrak seorang pejalan kaki. Untung saja Davira tidak mengalami luka yang serius. Tapi semenjak itu Alva melarangnya naik motor lagi, makanya kalau Davira mau ke supermarket saja ia meminta Alva untuk menemaninya.
Perjalanan berlalu begitu cepat karena Alva memang sengaja mengendarainya dengan cepat agar sampai rumah dengan cepat. Karena semakin lama sakit perut Davira akan semakin terasa. Sesampainya di rumah Davira langsung mengganti bajunya dan membersihkan rok sekolahnya.
Sedangkan Alva sudah pasti membuatkan teh manis panas dan air kompresan yang dibuat di botol. Hal ini sudah biasa dilakukan guna menolong sakit perut Davira. Bahkan Davira sampai harus menangis karena sakit perutnya itu.
“Uekkk uekkk.” Alva mendengar Davira sudah mulai muntah-muntah. Dengan cepat Alva masuk ke dalam kamar Davira guna membantu sahabatnya itu.
“Keluarin aja semua.” Alva sudah berdiri di belakang sambil memijat leher belakang Davira. Bukan hanya sakit terkadang juga sampai muntah.
Davira sudah di bawa ke dokter dan meminta Davira tidak makan ayam sembarangan lagi. Bahkan makanan yang mengandung penyedap atau junkfood tidak boleh. Termasuk mie instan, padahal semua makanan itu kesukaan Davira. Ia masih saja bandel untuk memakannya secara diam-diam di belakang Alva dan kedua orangtuanya.
“Ketahuan banget Lo makan mie instan di belakang gue. Oh iya kemarin Lo juga makan ayamkan.” Davira membasuh mulutnya dengan air.
“Bisa ga kalau gue sakit ya Lo gausah marah-marah, dibaikin gitu.” Alva membantu Davira berjalan ke tempat tidurnya.
“Awalnya gue bilang baik-baik, tapi sama Lo nggak mempan. Gue nggak tahu mau bilang sama Lo gimana lagi. Gue marah karena gue peduli sama Lo.” Kening Davira sudah mengernyit tanda sakitnya sudah mulai bertambah.
Dengan sigap Alva langsung meletakkan air di botol yang berisi air panas dan diletakkannya di perut sebelah kanan Davira. Lalu mengambil tangan kanan Davira guna memijat di antara ibu jari dan telunjuk.
“Lebih kuat Al, sakit.” Davira sampai meringkukkan kakinya ke perut.
“Jangan diringkukkan gitu kakinya Vir, ntar kakinya kena air panasnya.”
“Hikkss tapi sakit.” Davira bahkan sampai menangis. Alva membiarkan Davira meringkuk, tapi kini bukan hanya tangannya saja yang dipijat begitu juga dengan kening Davira.
“Ssssttt udah bentar lagi mendingan. Lo selalu ngeluh sakit tapi masih bandel aja makan beginian. Dokterkan udah larang Vir, entar kalau seterusnya Lo bandel gini makin parah Lo Vir. Lo tahukan apa konsekuensinya?” Davira hanya diam saja sambil menggigit bibirnya menahan sakit.
“Jangan digigit bibirnya entar berdarah.” Davira langsung menurut. Alva dengan gesit menolong Davira sampai akhirnya Davira tertidur.
Kalau Davira sudah sampai tertidur itu berarti sakit perutnya sudah mendingan. Davira sudah menghabiskan dua gelas teh manisnya. Saat seperti ini Davira memang selalu meminta teh manis, karena perlu yang manis-manis sebagai tenaga. Karena Davira selalu saja lemas saat ia datang bulan.
Setelah memastikan keadaan Davira sudah mendingan, Alva membuat catatan kecil di samping Davira. Ia izin untuk pergi les sebentar. Ia juga akan meminta izin untuk Davira tidak bisa mengikuti les seperti biasanya. Sebelum pergi Alva memastikan kalau keadaan Davira sudah nyaman dengan suhu yang sesuai.
*****
“Udah gimana keadaan Lo?”
Alva baru saja pulang dari tempat lesnya. Bukannya langsung pulang, dia malah langsung ke tempat Davira. Dengan kantongan plastik putih ditangannya.
“Lo bawain gue martabak?” Alva menghela nafasnya dan memberikannya pada Davira. Dengan sangat antusias Davira menrimanya dan langsung membuka, Alva membuka jaketnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci tangan dan kakinya.
“Baik banget sih Lo, makasih ya. Bakalan habis nih sama gue.” Kata Davira sambil mengunyah martabak tersebut.
“Di makan dulu sampai habis baru ngomong, entar kalau udah kesedak baru tahu. Ada orang mati karena kesedak makanan loh.”
“Lo ngedoain gue cepat mati?”
“Gue Cuma bilangin supaya Lo hati-hati doang, biar jangan sepela.” Davira mencebikkan bibirnya tanda kesal tapi masih sambil makan martabak. Alva mengambil sepotong dan dimasukkannya ke dalam mulutnya.
“Gue tahu kalau baru datang bulan Lo nggak nafsu makan, makanya gue bawain martabak.” Kini senyum Davira mengembang, fakta itu benar adanya. Alva memang sangat mengenal Davira luar biasa.
“Tau aja Lo.”
“Pertanyaan gue belum dijawab.”
“Pertanyaan apa?”
“Keadaan Lo udah gimana?”
“Menurut Lo aja gimana? Kalau gue udah kayak gini gimana?” Davira emang selalu bisa buat Alva naik darah. Kurang bai kapa coba Alva padanya, malah Davira nyolot. Hampir saja Alva naik darah kalau tidak ingat Davira seperti itu karena penyakit bulanannya.
“Gimana gimana tempat les amankan?”
“Aman Sentosa nggak ada Lo. Nggak ribut nggak resek pokoknya aman terkendali deh.”
“Lo kenapa senang gitu kayaknya kalau gue nggak les. Padahal Lo yang maksa gue buat satu les ditempat Lo.”
“Supaya gue nggak capek aja jemput Lo di tempat lain. Kalau Lo bareng sama guekan jadi biar sekalian.”
“Ohh gitu jadi gue jadi beban Lo gitu? Fine! Gue bilangin Mama besok buat pindah les!”
“Gausah drama deh Vir, mending Lo belajar aja besok kita quiz susulan.” Davira diam, ia masih kesal dengan perkataan Alva.
“Gue becanda, gue nggak serius ngomong kayak gitu.”
“Nggak lucu!”
“Lah yang bilang lucu siapa? Gue nggak bilang gue lagi ngelawak!”
“ALVAAAAAAA MENDING LO PULANG SEKARANG!!!” Teriakan adalah jurus Davira saat dirinya kalah debat dengan Alva. Tawa Alva pecah karena sudah berhasil membuat Davira kalah kali ini.
“Pake nasi Pak biar kenyang! Bahagia banget Lo buat gue naik tensi.”
“Lo yang naik tensi kok bukan gue, santuy aja!”
“b******k Lo!”
“Bahasanya Davira.” Davira langsung menutup mulutnya dengan cepat.
“Sorry.” Davira jadi cengengesan. Alva memang tidak suka kalau Davira sudah mulai mengeluarkan kata-k********r ataupun makian. Alva didik sangat baik oleh Bundanya, makanya ia juga mau Davira sama seperti dirinya.
“Gue balik aja deh.” Alva langsung bangkit berdiri mengambil tas dan jaketnya.
“Al jangan pergi, sorry.” Davira langsung memeluk Alva dari belakang.
“Gue belum mandi dari pagi dan gue udah bau karena keringat.” Refleks Davira langsung melepaskan Alva dan mendorong pria itu.
“Bangke Lo emang seneng banget ngerjain gue.”
“Saran gue sebaiknya Lo mandi lagi karena Lo udah ternodai oleh bau dan keringat gue.”
“ALVAAAAAAAAA!” Teriak Davira dengan kuat membuat Alva tertawa terbahak-bahak dan segara berlari meninggalkan Davira sebelum tangan sahabatnya itu melayang untuk memukulinya.
Saat murka Davira memang sangat suka memukul Alva bertubi-tubi. Sebelum hal itu terjadi ia harus melarikan dirinya. Davira paling tidak suka dengan pria yang bau dan berkeringat. Makanya ketika Alva datang kerumahnya ia harus pastikan Alva sudah mandi atau minimal mengganti bajunya. Hanya saja ia lupa tadi dengan hal itu karena Alva sudah menyogoknya dengan martabak kesukannya hingga akhirnya dia jadi lupa sendiri.
“Awasa ja Lo ya Al, gue bakalan bales Lo pokoknya!” Davira menutup pintunya dengan keras menimbulkan dentuman yang keras.
“Davira kenapa Al?” Tanya Ambar, Mama Davira.
“Biasa Tante, lagi datang bulan jadinya agak sensitive kalau diganggu.” Ambar tersenyum penuh arti.
“Makasih yak amu udah rawat Davira tadi waktu Tante nggak ada.”
“Santai aja Tante. Alva pamit dulu ya Tante.”
“Kok cepat, biasanya lama sama Davira.” Alva jadi tertawa mengingat dirinya datang belum mandi.
“Masih pakai baju sekolah Tante, belum mandi jadi mau mandi dulu.”
“Pantes aja Daviranya ngamuk, ternyata karena itu.” Alva jadi kekeh sendiri mengingat bagaimana Davira lupa akan hal itu.
“Yaudah kalau gitu Alva pamit ya Tante.”
“Okey salam sama Mama kamu ya Al.”
“Okey Tante.”