SWM - PART 5

2376 Words
“Al kayaknya rencana kita hari ini batal deh.” Kata Davira tiba-tiba pada Alva. Alva mengerutkan keningnya bingung dengan perkataan Davira. Karena yang ia tahu Davira bukan tipe orang yang suka membatalkan rencana begitu saja tanpa sebab. “Gue baru di hubungi Mama, Nenek gue sakit. Jadi setelah pulang sekolah gue bakalan ke Bandung.” Lanjut Davira menjelaskan pada Alva. Davira memang barusan saja mengangatkan telephone dari Mamanya memintanya pulang sekolah langsung pulang. Karena sesuai dengan kesepakatan mereka sebelum pergi les, mereka akan mampir ke tempat rahasia keduanya. “Yaudah gapapa, kita masih bisa kesana lain waktu. Nenek sakit apa? Di rumah sakit atau gimana?” Tanya Alva khawatir. “Di rumah sakit, makanya kita mau lihat kesana. Nyokap maksa buat gue harus ikut.” Alva menganggukkan kepalanya mengerti. “Iya lo harus ikut itu nenek lo, wajar kalau nyokap lo maksa buat ikut. Salam sama keluarga yang ada disana.” Pesan Alva, karena keluarga besar Davira sudah mengenal Alva begitupun juga sebaliknya. Sehingga keluarga Davira tahu siapa itu Alva. “Okay nanti gue sampaikan.” “Kapan pulangnya?” Tanya Alva lagi. “Pulang malam ini juga kok.” “Yaudah nanti pulang sekolah gue antar ke rumah sebelum gue berangkat les.” Putus Alva. “Okay.”   ***** Sesampainya di Bandung, Davira menghubungi Alva tapi nggak di angkat. Davira juga chat juga nggak di balas padahal delivered. Davira gelisah karena Alva nggak biasanya menghilang seperti ini. Kalau Alva membalas chatnya pasti karena suatu hal terjadi. Disaat mereka tidak bersama, keduanya sering memberikan kabar satu dengan yang lain. Biasanya mereka terpisah saat liburan Panjang, karena akan berlibur di keluarga mereka masing-masing. Tapi keduanya tetap berkomunikasi sepanjang hari kemana pun mereka pergi dan apa yang sedang dilakukan mereka akan kasih tahu satu dengan yang lainnya. Makanya kali ini Davir memberi kabar pada Alva, tapi pria itu belum membalasnya sama sekali. Jangankan membalas untuk melihat saja belum membuat Davira uring-uringan karena Alva seolah tidak memberinya kabar. Ia takut sesuatu terjadi pada Alva. Karena beberapa kali saat Alva tidak memberikan kabar, sesuatu terjadi pada Alva. Sewaktu mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama, Alva kehilangan handphonennya saat jatuh naik sepeda dan harus di bawa kerumah sakit. Terus Alva juga pernah di serempet motor saat nyebrang sewaktu membelikan kue ulang tahun untuk Davira dan berakhir membuat Davira nangis karena tahu. Terakhir kalinya Alva nggak ada kabar karena dia baru saja jatuh naik motor dan kebetulan Alva baru saja diberikan motor baru oleh Bundanya dan kembali membuat Davira menangis. Pokoknya kalau Alva tidak ada kabar pasti sesuatu terjadi dan membuat Davira menangis karena pria itu kenapa-kenapa. Maka itu Davira saat ini khawatir kalau hal itu kembali terjadi pada Alva. “Kamu kenapa gelisah gitu dari tadi?” Tanya Ambar, Mama Davira. “Alva nggak jawab chat aku Ma, terus di telvon juga ngga angkat. Aku khawatir kalau Alva kenapa-kenapa gimana Ma?” Davira mengenggam tangan anak tunggalnya itu dengan erat. “Udah jangan berpikiran yang enggak-enggak dulu. Alva pasti ga kenapa-kenapa.” Ambar berusaha menenangkan anaknya itu. “Tapi Alva nggak biasanya kayak gitu Ma. Mama tahu sendirikan gimana Alva kalau nggak ada kabar? Pasti karena sesuatu terjadi sama Alva Ma.” Davira semakin khawatir sehingga membuat Papanya ikut bertanya, padahal mereka sudah di rumah sakit. “Kamu kenapa?” Tanya Antoni Adhyasta. “Ini anak kamu khawatir sama Alva karena nggak bisa dihubungi. Takut kayak kejadian kemarin-kemarin katanya.” Jelas Ambar. Antoni dan Ambar tahu cerita itu dan mereka bisa mnegerti kegelisahan Davira, karena persahabatan mereka sungguh sangat erat. “Coba kamu keluar dulu sana hubungi Tante Irene, tanya Alva dimana. Kamu gelisah kayak gini pikiran kamu nggak disini nggak enak juga dilihatin yang lainnya. Harusnya Papa tadi nggak ajak kamu.” Davira jadi merasa nggak enak karena nggak fokus. Padahal dia kesini untuk melihat neneknya. “Maaf Pa,” Cicit Davira merasa bersalah. “Yaudah gapapa, kamu keluar aja cari udara segar dan minum teh di kantin sambil telvon Tante Irene okay?” Kata Ambar pada anaknya itu. Davira menganggukkan kepalanya mengerti dan berjalan keluar. Davira langsung menuju ke kantin guna membeli teh masih sambil menghubungi Alva. Kalaupun Alva ada kelas, Alva akan izin keluar guna mengangkat telephone darinya pikirnya. Setelah mendapat pesananannya ia menuju taman rumah sakit agar lebih rileks. Karena Alva masih tidak menangkat maka ia memilih menghubungi Bunda dari Alva, tak lama telephonennya pun tersambung. “Hallo Davira, kenapa sayang?” Sapa Irene dari sebrang. “Bunda, Alva gapapakan Bun? Alva baik-baik ajakan?” Tanya Davira khawatir membuat Irene bingung dengan pertanyaan tersebut. “Kenapa kamu nanya gitu? Emang Alva kenapa? Bukannya Alva lagi les ya?” Davira menghela nafasnya. “Vira juga mikirnya gitu Bunda, tapi Alva nggak biasanya nggak balas chat Vira atau nggak angkat telvon Vira. Biasanya juga kalau dia les setidaknya bilang atau balas sebentar aja ini nggak ada sama sekali Bunda. Vira takut kalau Alva kenapa-kenapa kayak kemarin-kemarin. Bunda tahu sendirikan, kalau Alva tiba-tiba nggak ada kabar dan ngilang gitu aja pasti karena ada yang terjadi sama Alva. Vira khawatir Bunda.” Davira menyampaikan isi hatinya. “Udah kamu tenang aja, Bunda yakin kali ini Alva ga kenapa-kenapa. Jangan khawatir gitu sayang. Lagian kamukan ada di Bandung lihat nenek kamu, jangan kayak gini. Nggak enak juga sama nenek kamukan.” Davira menghela nafasnya kasar, Papa dan Bunda Alva sudah menyampaikan hal yang sama membuat Davira tidak enak hati. Irene tahu karena Alva yang beritahu tadi saat pulang sebentar. “Nanti kalau ada kabar dari Alva, Bunda bakalan kabarin kamu. Jangan terlalu dipikirin okay? Alva pasti aman Vir atau coba kamu hubungi teman satu les kamu siapa tahu mereka bisa angkat dan suruh Alva buat lihat handphonenya. Kadang handphone Alvakan suka dibuat di tas, jadi nggak tahu kalau kamu nelvon.” “Iyayah Bun, yaudah deh kalau gitu. Coba Vira hubungi mereka ya Bun.” “Iya, kamu jangan terlalu pikirin ya. Kamu fokus ya disana mau jenguk nenek kamu, jangan terlalu dipikirin Alvanya.” “Iya Bunda. Makasih ya Bun, Vira tutup ya?” “Okay Vir, salam sama keluarga ya.” “Iya Bunda.” Setelah itu sambungannya terputus, lagi Davira menghembuskan nafasnya kasar. Ia masih tidak bisa fokus saat ini, pikirannya masih ada pada Alva. Ia tidak bisa bohongi hal itu sekarang. Tapi ia juga tidak bisa bersikap seperti ini dan membuat keluarganya kecewa bukan? Maka setelah menghubungi teman satu lesnya dan masih juga belum di jawab Davira hanya bisa pasrah. Ia hanya bisa berdoa untuk kebaikan Alva. Semoga saja sahabatnya itu tidak kenapa-kenapa pikirnya. Davira berusaha fokus selama ia masih ada di Bandung dengan masih menunggu kabar dari Alva.   ***** “Lo dari mana aja sih! Kenapa nggak ada kabar sama sekali! Kenapa lo ngilang gitu aja! Lo nggak tahu apa gue udah khawatir banget sama lo! Gue takut lo kenapa-kenapa karena lo nggak kasih gue kabar! Lo ditelvon nggak di angkat, di chat juga nggak di balas! Mau lo apa sebenernya!” Cerca Davira pada Alva begitu dia sampai di Jakarta. Padahal ini sudah jam satu dinihari, begitu sampai Davira langsung ke rumah Alva bukan ke rumahnya membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala melihat anaknya itu. Tapi mereka paham kenapa Davira seperti itu dan membiarkannya. Begitu sampai Davira langsung ke rumah Alva dan pria itu yang membukakan pintu. Belum lagi Alva mengatakan apa-apa Davira sudah mengeluarkan isi hatinya seperti rapper membuat Alva tertegun, Davira kalau sudah marah dan kesal padanya memang seperti itu. Alva bisa paham, sebenernya Alva sudah balas chat Davira tapi karena handphone Davira mati ia tidak tahu. Mau pinjam handphone orangtuanya Davira gengsi karena takut akan di tegur lagi. Salahkan Davira juga yang tidak membawa kabelnya sendiri atau bahkan prowerbank juga dia tidak bawa sama sekali sehingga ia sangat penasaran akan kabar Alva. “Santai dong Vir, ini udah pagi jangan marah-marah.” Kata Alva mengingatkan. “Gimana gue bisa santai sih? Lo kok nggak merasa bersalah sih? Gue udah kelimpungan nyariin lo yang nggak ada kabar, gue bingung lo nggak ada kabar dan sekarang lo minta gue santai? Gimana gue bisa santai Alvarendra Prasaja!” Kata Davira dengan sarkas. Ia merasa Alva tidak tahu akan kesalahan, ia kesal dengan kesantai Alva saat ini padahal ia sudah panik. “Gue panik Al, gue takut lo kenapa-kenapa. Kalau lo ngilang pasti sesuatu terjadi gue takut. Gue nggak mau kehilangan lo!” Kini Alva langsung memeluk Davira dengan erat dan dia tersneyum simpul di balik pelukan itu. Alva senang karena Davira mengkhawatirkannya, itu berarti kalau Davira sangat menyayanginya dan takut dirinya kenapa-kenapa. Alva juga merasa bersalah sebenernya tadi apa lagi saat Bundanya bilang kalau Davira sampai menghubungi Bundanya. “Maaf Vir, maaf. Iya gue ngaku kalau gue salah karena ngilang gitu aja. Maaf ya, gue janji nggak akan kayak gitu lagi.” Davira menghela nafasnya kasar, ia sudah menahan tangisannya sebisa mungkin. Matanya sudah berkaca-kaca, jurus terakhir agar Davira berhenti marah adalah pelukan erat dari Alva mampu menenangkannya. “Jangan bawel lagi, jangan marah ya. Gue ngaku salah, gue minta maaf ya. Makasih udah peduli dan khawatir sama gue, maaf udah buat lo panik. Tapi gue beneren gapapa, lo bisa lihat sendiri gue ada disini sekarang sama lo. Paling penting gue nggak kenapa-kenapakan?” Davira menganggukkan kepalanya di dalam pelukan Alva. “Lo nggak nangiskan?” Tanya Alva sambil menangkup wajah Davira. “Hampir, ini semua karena lo!” Alva tertawa sambil mengacak-ngacak rambut Davira. “Jangan ngeselin deh Al! Gue masih kesel sama lo karena nggak ada kabar ya.” Alva kembali menangkup wajah Davira dan menatap sahabatnya itu dengan lekat namun jangan lupakan senyum khas milik Alva ketika meminta sesuatu. “Maafin gue ya udah buat lo khawatir.” Ucap Alva dengan sendu. “Jangan kayak gitu lagi, pokoknya lo harus kasih kabar terus sama gue. Jangan ngilang kayak gini gue nggak suka Al, lo suka banget ya buat gue khawatir dan panik kayak gini?” Alva tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Asli gue nggak suka lihat lo kayak gini, makanya gue minta maaf sama lo ya? Gue janji nggak akan kayak gitu lagi.” Jawab Alva dengan yakin. “Bener? Lo janji ya sama gue nggak bakalan kayak gitu lagi?” Alva menganggukkan kepalanya. “Iya gue janji, maafin gue.” Alva kembali memeluk Davira dengan erat guna meyakinkan sahabatnya itu. “Makasih udah khawatir sebegininya sama gue, lo emang sahabat terbaik gue. Gue sayang banget sama lo.” Lanjut Alva lagi. “Hmmmm, syukurnya lo enggak kenapa-kenapa. Sempat aja lo kenapa-kenapa habis deh lo sama gue.” Alva tertawa mendengar perkataan Davira. “Gue udah bisa lebih menjaga diri sekarang Vir jangan meragukan gue kayak gitu dong. Kan gue udah dewasa sekarang udah nggak anak-anak lagi, masa iya sih gue terus kayak anak-anak.” Bela Alva. “Alah gaya lo, jadi apa kabar waktu lo jatuh naik motor? Padahal motornya baru dibeliin sama Bunda, itu lo masih anak-anak apa gimana ya?” Sindir Davira saat mengingat masa lalu. “Iya deh iya gue ngalah kali ini.” Alva tidak mau memperpanjang masalah karena tidak mau semakin membuat Davira khawatir padanya. “Bunda udah tidur?” Tanya Davira saat melihat dalam rumah Alva gelap. “Yaudahlah udah jam berapa ini. Lo aja yang bertamu nggak sopan.” “Gue nggak tamu ya!” Koreksi Davira. “Iya-iya nggak tamu, mudah-mudahan Bunda nggak bangun deh karena omelan lo.” Ejek Alva. “Bangun juga nggak masalah, gue aduin lo sama Bunda.” “Yaudah balik gih ke rumah, istirahat lo baru sampe udah kesini aja. Kayak nggak bisa nunggu pagi aja datangin guenya.” Davira memajukan bibirnya tanda sedang kesal. “Namanya juga khawatir! Makanya jangan suka buat orang khawatir dong! Suka banget buat gue panik!” “Iya-iya udah ahh gausah di bahas lagi. Sepulang sekolah kita ke tempat rahasia kita yuk, sekalian mau ngajakin lo makan. Ada juga yang mau gue bilang sama lo.” Davira mengerutkan keningnya sendiri. “Mau bilang? Kenapa nggak sekarang aja?” Cecar Davira. “Udah deh Vir jangan maksa gitu, pokoknya gue bakalan bilang tapi entar nggak sekarang okay?” “Penting?” Tanya Davira lagi, Alva menganggukkan kepalanya. “Sepentint apa?” Tanya Davira lagi. “Pokoknya penting, sangat penting, penting banget.” Davira memicingkan matanya. “Kok perasaan gue nggak enak ya.” Kata Davira membuat Alva menghela nafas. “Udah nggak usah yang aneh-aneh pikirannya. Udah buruan pulang sana, entar lo telat lagi bangunnya gue jadinya telat. Kalau lo telat gue tinggal lo berangkat sendiri sana.” “Lo jahat sama gue setelah buat gue panik?” Ucap Davira tak suka membuat Alva kelimpungan sendiri dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Maaf-maaf, yaudah besok gue tungguin. Tapi jangan telat bangetlah, entar kita bisa dihukum tahu.” “Biarin aja, lo aja yang dihukum. Itu hukuman buat lo karena udah buat gue panik.” “Yaampun Vir, kok lo jahat banget sih sama gue.” “Biarin aja, lo juga jahat sama gue.” “Yaudah-yaudah ini waktu terus berjalan lo. Istirahat gih, entar lo ngantuk dan kurang istirahat jadinya sakit gue nggak mau lo sakit.” “Kenapa? Karena kalau gue sakit selalu nyusahin lo?” Alva harus banyak-banyak bersabar menghadapi Davira kali ini, entah mengapa Davira kali ini sangat bawel. “Kalau lo sakit, gue bakalan ngurusin lo dengan sengang hati. Gue bakalan urus dengan segenap hati dan jiwa raga gue.” Hal itu membuat Davira tertawa karena berhasil mengerjain Alva. “Yaudah anter gue pulang yuk.” “Yaampun Vir, rumah di sebelah juga masih mau minta anter pulang?” “Jadi lo nggak mau nganterin gue pulang?” Tanya Davira sambil menatap tajam. “Mau kok, ayo gue anter pulang.” Kata Alva pasrah sambil merangkul Davira. Ia mengantar sahabatnya itu sampai di depan pintu rumah. “Udahkan? Silahkan masuk, gue pulang ya bye.” Alva langsung berlari agar Davira tidak kembali memanggilnya dan mengerjainya. Sepertinya Davira sengaja membuatnya naik tensi. Davira tertawa melihat Alva yang langsung ngacir dan ia masuk ke dalam rumahnya. Davira jadi berpikir apa yang mau Alva bilang sampai harus menyuruhnya menunggu? Biasanya kalau Alva mau bilang sesuatu ya tinggal bilang nggak harus sampai begitu, Davira jadi sibuk memikirkan hal itu. Pikirannya sudah melayang kemana-mana dan buat dia jadi salah tingkah sendiri akan pikirannya. Sampai akhirnya dia tertidur karena sangkin lelahnya memikirkan hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD