Pasrah

1021 Words
Ada yang berbeda pagi ini, Maura tidak melihat keberadaan Diandra di mana pun. Bahkan ia tidak melihat sepatu yang wanita itu pakai tadi malam? Sepertinya Diandra tidak pulang, wanita itu mungkin bermalam bersama kekasihnya. Memadu kasih sampai pagi tiba, tanpa ada banyak hal yang harus dipikirkan. Maura menghela napasnya lelah, setelah berkutat selama dua jam di dapur akhirnya ia bisa menghidangkan makanan-makanan itu ke atas meja. Menyenderkan punggungnya ke dinding, Maura teringat kejadian kemarin malam saat dirinya hampir saja terjatuh dan mematahkan gigi-giginya. Beruntung ada pria itu yang sigap meraih tubuhnya. Maura tersentak mendengar suara bel yang berbunyi, lantas ia berjalan kesal ke arah pintu. Baru saja ia melepas penat, sekarang pasti akan ada pekerjaan lagi karena gadis itu telah pulang. Maura membuka pintu kayu bercat putih itu dan sosok yang muncul di hadapannya membuatnya terdiam. Dilihat tubuh itu dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Aroma musk di tubuhnya menyeruak masuk ke indra penciuman Maura. Pria itu tiba-tiba mendekatkan ponsel miliknya ke wajah Maura, ia tak berkata apa pun hanya memberi isyarat dengan bola matanya wanita itu. Maura mengernyit bingung, ia tidak paham mengapa pria itu menunjukkan ponselnya. Pria yang belum ia ketahui namanya itu kembali mengisyaratkan dirinya, kini seraya berkacak pinggang jengkel. Maura menghela napas kasar, ia harus liat apa kalau layar ponsel pria itu tak hidup. “Kamu suruh saya liat apa, layarnya mati.” “Hah?” Pria itu tampak terkejut, lantas ia melihat ponselnya dan menekan layar benda persegi tersebut. “Nih.” Pria itu kembali memperlihatkan layar ponselnya, membuat Maura yang semula bingung berubah terkejut. “Semua itu maksudnya apa?” “Itu semua adalah menu makanan pagi, siang dan malam saya,” kata pria itu setelah menurunkan kembali ponselnya dan menjelaskan maksud menu-menu makanan yang telah disusun rapi olehnya. “Diandra suruh kamu untuk mempersiapkan segala jenis makanan yang saya minta.” Tubuh Maura merosot ke bawah ketika mendengar ucapan pria itu, semua makanan yang diinginkannya harus ia siapkan? Apa-apa ini? “Memangnya Diandra ke mana?” tanya Maura. Pria ini kan punya kekasih, kenapa tidak meminta dibuatkan oleh kekasihnya saja? “Dian baru aja terbang ke Prancis, mamanya sakit.” Maura kembali dibuat kaget. “Hah? Tante sakit apa?” “Saya juga belum di kasih kabar,” ujar pria itu. “Jadi sebelum dia pulang, kamu yang bakalan buatkan makanan untuk saya.” Maura ingin protes, tetapi ia tidak boleh melupakan dirinya yang hanya menumpang di rumah ini. Semua yang wanita itu perintahkan, harus ia turuti sebagai salah satu bentuk balas budi. “Ya udah kalau gitu, kamu boleh masuk. Saya udah nyiapin sarapan.” Pria itu masuk mengikuti Maura ke dapur. “Saya barusan selesai masak, saya kira Diandra bakalan pulang. Meja makan berbahan kaca yang terletak tepat di tengah ruangan dapur cukup besar dengan 8 kursi yang terdapat di masing-masing sisi. Maura kemudian mempersilahkan pria itu untuk duduk. “Silakan.” “Wah, kayaknya enak.” “Tapi, mungkin ini enggak sama seperti selera kamu.” Pria itu tersenyum, untuk pertama kalinya hari ini setelah Maura melihatnya kemarin malam. “Enggak apa-apa,” jawabnya seraya mengisi piringnya dengan nasi goreng sayur dan telur mata sapi. “Loh kamu enggak makan?” tanya pria itu yang hendak memulai sarapan paginya. “Enggak, kamu aja dulu. Nanti saya bisa makan sendiri.” “Duduk aja, makan bareng sama saya.” Maurajengkel sendiri, pria itu terlalu memaksa. Bagaimana bisa ia sarapan dengan kekasih orang lain di rumah sebesar ini dan hanya berdua saja? Wanita berambut hitam lebat itu langsung terpaksa duduk di kursi makan saat pria itu menarik pergelangan tangannya. “Duduk dan sarapan sekarang,” tegasnya. Sebenarnya perut Maura sudah keroncongan sedari subuh tadi, tetapi ia terpaksa untuk menunggu Diandra dan sarapan bersama wanita itu. Maura meraih centong nasi dan mengisi piringnya, sambil menunduk malu ia mengambil telur mata sapi dan menaruhnya di piring. “Oh iya, Saya Dimas.” Maura menoleh, pria itu mengulurkan tangannya. Muara lantas melepaskan gagang sendok yang ia pegang lalu membalas uluran tangan pria Dimas. “Maura.” “Nasi gorengnya enak, saya suka banget,” ujar Dimas sembari melepas ukuran tangannya. “Saya sangat berharap, bisa menikmati menu sarapan ini setiap pagi.” Maura hanya bisa pasrah, ke depan hari-harinya akan terasa lebih sulit. Maura tidak tahu bagaimana akhirnya, jika tubuh kurusnya terus dipaksa untuk bekerja. Semoga saja kesehatannya tetap baik agar keinginannya membeli rumah bisa tercapai. “Kamu hari ini masuk kerja?” “Iya.” “Lalu bagaimana makan siang saya?” tanya Dimas gusar. Bukankah uangnya sangat banyak? Lalu apa yang lagi yang ia pikirkan. “Mungkin kamu bisa beli.” “Saya lebih suka makanan rumahan.” Lalu apa yang harus Maura perbuat? Sangat tidak mungkin bukan ia memasak di kafe nanti untuk pria itu makan. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring menghilangkan kesunyian yang berlangsung beberapa detik sebelum kemudian Dimas mengatakan sebuah ide. “Enggak apa-apa, untuk makan siang mungkin saya bakal tahan bentar sambil nunggu kamu pulang kerja.” “Kamu emang kuat nahannya? Saya mungkin bakalan sedikit telat pulangnya.” “Jam berapa?” "Sepuluh malam.” “Oke, biar saya jemput.” Lagi, Maura dibuat kaget. Menjemputnya? Tidak, tidak akan. Bagaimana jika ada yang melihat Maura dengan kekasihnya Diandra dalam satu mobil? Tidak, Maura belum siap dengan perkataan-perkataan buruk yang akan dilontarkan kepadanya. “Gak usah, saya bisa pulang sendiri.” “Kamu gak boleh nolak,” katanya. “Ini bentuk tanda terima kasih saya secara pribadi buat kamu. Mulai hari ini, saya akan antar jemput kamu.” Tak ada yang bisa Maura lakukan lagi, selain pasrah di tempatnya, makanan ia kunyah tak mampu ia telan lagi. Beban di bulan ini lebih banyak ternyata. • Untung saja Maura tidak telat sampai ke tempat kerjanya, kalau saja di telat upah bulanannya sudah pasti dipotong. Maura membungkuk sopan, saat laki-laki pemilik cafe tersebut mendatanginya. Laki-laki bernama Rival itu tersenyum, umurnya masih terbilang muda yakni 22 tahun tapi dia sudah memiliki usaha sesukses ini. Lagi-lagi Maura dibuat iri. "Terima kasih karena kamu, pelanggan di cafe jadi ramai." "Saya akan bekerja lebih giat lagi Pak, terima kasih telah menerima saya untuk bekerja di sini." Laki-laki berkaca mata kotak itu tersenyum. "Gak salah saya milih karyawan seperti kamu. Nanti sore setelah pulang kerja, kamu bisa ikut saya? Saya mau ngajak kamu makan malam, saya ingin mengenal kamu lebih dekat." "Hah?" kerutan di dahi Maura tercipta. "Iya, secara tidak langsung saya mengatakan saya tertarik sama kamu." ~•~ TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD