Kamu Cantik

2052 Words
"Jika Tuhan mengizinkan aku ingin terus bersamamu. Aku ingin terus berada di sampingmu. Mengenggam erat tanganmu, mencintaimu, esok, lusa dan selamanya. " Maura bingung dengan pernyataan pak Rival barusan, ia masih menatap punggung laki-laki itu menjauh. Beberapa karyawan lain memandanginya dengan tatapan tak suka, Maura hanya bisa menunduk dan kembali pada pekerjaannya. "Cieee yang mau diajak kencan sama pak Rival," ujar Lyra mencolek pipi Maura. Maura hanya tersenyum simpul, ia menjadi tidak tenang sekarang. Apa yang harus ia katakan, alasan apa yang cocok untuk menolak tawaran dari laki-laki itu. Apa katanya tadi, mengapa berani sekali dia mengatakan tertarik pada Maura. Apa di jaman ini laki-laki sudah punya rasa percaya diri yang berlebihan? "Dipanggil tuh," kata Lyra sembari menyenggol bahu Maura. Maura yang tengah mengelap meja, berdecak pelan. " Siapa lagi si-" "Dimas?" Mata Maura membelalak sempurna. Apa yang laki-laki itu lakukan di sini dan bagaimana ia mengetahui tempat kerjanya. "Akhirnya kamu mau manggil saya dengan nama juga ya." "Anda ngapain di sini?" Dimas tersenyum, ia memasukan kedua tangannya pada saku celana. "Ya saya mau beli lah," ujar Dimas seraya melangkah ke depan bar dan memesan 1 gelas espresso." "Kamu mau minum apa?" Maura tak menjawab, ia melangkah cepat melayani tamu di meja nomor 9. Dimas duduk di salah satu kursi bar, lalu memutar tubuhnya untuk menatap gadis itu. "Dia pintar tersenyum rupanya." "10 menit, lagi jam kerjamu sudah habis dan saya bisa mengantar kamu pulang," ucap Dimas pada Maura yang telah kembali ke meja bar dan menaruh bon pemesanan di hadapan Lyra. "Saya ada janji hari ini." Dimas mengernyit. "Oh, ya? Dengan siapa?" "Maura saya tunggu kamu di mobil ya," kata Rival tiba-tiba muncul, ia berhenti untuk menatap Maura sebentar sebelum melangkah pergi ke luar. Dimas menyesap pelan kopinya. "Itu siapa?" tanyanya pada Lyra. "Dia pemilik cafe ini," jawab Lyra. "Dia mau mengajak salah satu karyawannya kemana?" tanya Dimas lagi. Kopinya ia letakkan di bar kembali, lidahnya hampir saja kebakar kalau ia tidak menahan diri untuk menenggaknya lebih banyak. Lyra melirik Dimas, membuang napasnya pelan. "Mana saya tau, tapi sepertinya pak Rival suka sama Maura." Maura telah melepas seragam kerjanya dan memakai pakaian ganti. Untung saja, ia membawanya tadi. Jika tidak, ia mungkin sudah harus menahan malu karena memakai seragam bewarna coklat itu untuk berpergian. "Lyr gue duluan ya." "Yoo hati-hati di jalan, sukses buat kencan pertamanya." "Dih, Bos mana yang mengajak karyawannya untuk kencan?" celetuk Dimas. Lyra lagi-lagi menarik napasnya pelan, ia kembali dihadapkan oleh pengunjung yang tak berhenti mengoceh seperti ini. "Ya, terserah pak Rivalnya dong. Kenapa anda yang repot?" "Saya bukan repot, saya hanya merasa jengkel. Dia berlagak sok tampan tadi." ~•~ "Kamu mau makan apa?" Maura menoleh, ia benci keadaan seperti ini. Berdua saja, di dalam mobil dengan kaca bewarna hitam yang dapat memudarkan cahaya dari luar semakin membuat Maura gugup setengah mati. "Saya apa aja pak." "Kamu sukanya apa?" "Nasi pak." Rival tertawa. Lucu sekali gadis itu, pikirnya. "Iya, saya juga suka nasi. Tapi untuk lauknya kamu suka apa?" "Apa aja pak saya makan," jawab Maura seadanya. Ia tidak bisa menyebutkan apa yang menjadi kesukaan, ia jarang makan. Kalau pun makan, Maura hanya menggoreng satu telur. "Panggil saya Rival," ucap Rival sembari menoleh ke arah Maura. Ia tatap wajah lugu itu, cantik sekali. Wajah alami tanpa riasan dan iris mata hitam gitu sungguj membuat d**a Rival bergemuruh. Maura tak tenang dalam duduknya, ia mengintip sedikit dari bulu matanya tahu laki-laki itu tengah memandangnya sekarang. "Baik, Rival," ujar Maura seraya membungkuk sedikit. "Saya ini sedang mencoba melakukan pendekatan loh dengan kamu, kalau kamu ngomong formal bakalan terdengar aneh." Sekali lagi Maura meminta maaf, tak lupa ia juga membungkuk sopan. Ia bingung harus merespon bagaimana, karena sebelumnya ia tak pernah mendapat pernyataan secara spontan begitu dari lelaki. Tanpa Maura sadari, mobil yang membawanya telah berhenti di depan sebuah gerobak sate yang berada di pinggiran jalan. "Saya suka banget sama sate, kamu juga suka kan?" "Saya makan apa aja kok pak." Rival kembali tertawa. "Ya udah ayo turun, kita makan." Keduanya turun dari mobil, Maura melihat bagaimana ramahnya Rival menyapa pria paruh baya itu. Sepertinya, Rival sudah berlangganan di sini. Terbukti bagaimana akrabnya kedua orang itu. Maura masih tak tenang di tempatnya, apalagi ia harus duduk berhadapan dengan laki-laki itu. "Kamu mau sate apa?" "Samain aja pak." "Ah okey." Rival pun memesan dua piring sate dengan bumbu kacang kesukaannya. "Saya gak usah pake lontongnya boleh?" tanya Maura. Ah, merasa sangat tidak sopan sekali. Tapi, Maura hanya menyukai daging sate dengan bumbunya saja. "Ya boleh dong." Rival tersenyum, ia lalu menoleh kepada penjual sate tersebut dan berkata, "jadi pak, dua sate bumbu kacang. Yang satu gak usah pake lontong." "Oke siap." Rival kembali mengarahkan pandangannya ke arah Maura. Ia tahu gadis itu terlihat gugup sekali sekarang, terlihat bagaimana ia duduk dengan gelisah. "Maura ... saya gak bakalan ngapa-ngapain kamu kok. Saya cuma pengen kenalan sama kamu." "Bapak kan udah kenal saya," ujar Maura. Angin malam menerpa kulit wajahnya, dingin. Rival tersenyum, iris mata di balik kaca mata itu berbinar. "Saya mau kenalan sama kamu tapi bukan sebagai bos dan karyawan." "Memangnya apa yang bapak pengen tahu dari saya?" Maura tak mengerti, apa yang laki-laki ingin tahu tentangnya. Tak ada yang menarik sama sekali, rupa wajahnya bahkan kalah cantik dengan Diandra. Ia juga tidak kaya dan berpendidikan tinggi. "Saya ingin tau rumah kamu." "Bapak kan udah tau kalau saya cuma menumpang di rumah teman karena saya gak punya orang tua." Dua piring sate telah berada di hadapan mereka, penjual tersebut juga menaruh dua gelas air putih dingin untuk mereka minum. Sebelum melanjutkan pertanyaannya, Rival mempersilahkan Maura untuk makan terlebih dahulu. "Kamu udah punya kekasih?" "Hah?" Maura hampir saja tersedak daging sate yang tengah kunyah di dalam mulutnya. "Saya gak pernah pacaran Pak." "Apa?" Rival menatap tak percaya, tak pernah berpacaran katanya? Maura gadis yang cantik dan dia 22 tahun. "Apa alasan kamu gak mau pacaran selama ini?" "Gak ada yang suka sama saya Pak." "Gak ada yang suka gimana? Kamu itu cantik loh, pekerja keras juga." "Hah?" Maura terdiam, pria itu baru saja mengatakan bahwa ia cantik? Apa itu serius? "Iya kamu cantik. Mata kamu cantik, rambut kamu cantik dan senyum kamu juga cantik." • Kini keadaan sedikit berubah. Yang dulunya saat lewat Rival hanya berjalan lurus, kini mulai sedikit lebih lambat dan tersenyum pada Maura. Ia hanya membalas dengan tersenyum simpul, ia merasa sedikit risih jika terus seperti ini. Karyawan-karyawan lain bahkan terlihat sedang berbisik satu sama lain membicarakan dirinya. Maura hanya ingin hidup tenang seperti beberapa hari yang lalu. Oh, ya Tuhan. Inilah kenapa ia memilih untuk hidup sendiri saja. Maura masuk ke ruang ganti, ia mengganti pakaiannya dengan cepat lalu melangkah mendekati cermin persegi panjang yang tertempel di dinding. Maura memperhatikan wajahnya, sama sekali tidak menunjukkan kalau ia cantik sesuai standar kecantikan di negaranya. Ketika orang-orang memakai lipstik merah saat bekerja, Maura hanya memoleskan pelembab saja pada bibir agar tak kering. Bentuk tubuhnya, Maura juga bukan gadis yang memilki tubuh yang bagus, malah cenderung kurus. Maura membuka ikatan rambutnya, membuat helaian demi helaian rambutnya jatuh perlahan ke bahunya. Ia mengingat kata-kata Rival yang mengatakan jika rambutnya cantik, padahal rambutnya ini banyak yang rontok. Lalu matanya, matanya bulat dan iris mata yang hitam saja. Apa bisa dikatakan cantik? Mata Diandra bewarna coklat terang, saat berada di matahari matanya langsung seolah berkilau. Ah, lagi-lagi ia iri dengan Diandra. Maura mengambil tasnya yang ia simpan pada lemari khusus para karyawan dan kemudian beranjak cepat ke luar. Saat ia baru sampai di parkiran, seseorang membuatnya menghentikan langkah. Dimas, laki-laki itu tengah bersandar di mobilnya sambil tersenyum ke arahnya. "Ayo pulang!" "Saya bisa pulang sendiri." Dimas melangkah mendekat, ia tarik tangan Maura pelan. "Maura, ini adalah bayaran saya setiap kali kamu masakin buat aku," ujarnya seraya membuka pintu mobil dan menyuruh gadis itu untuk masuk. Maura dengan terpaksa masuk dan menerima tawaran laki-laki itu. Ia hanya bisa pasrah sekarang, saat Dimas sudah ikut masuk ke dalam mobil. Maura membuang napasanya pelan lalu mencoba untuk masang sabuk pengaman ada tubuhnya. Namun, entah karena tak terbiasa naik mobil. Maura sampai tidak bisa memasangnya. Dimas yang melihatnya, tertawa pelan. "Sini saya pasangin," kata Dimas serta maju mendekat untuk meraih sabuk pengaman tersebut, menjadikan jarak keduanya terkikis. Maura bisa melihat bayangan dirinya di bola mata laki-laki itu, satu kali gerakan lagi hidung mereka akan bersentuhan. Tapi, sebelum itu terjadi Maura sudah lebih dulu memalingkan wajahnya. "Biar saya aja." "Udah kepasang juga," jawab Dimas seraya menjauh kembali pada posisinya. Mata Maura hanya menatap lurus ke depan. Ada sesuatu yang terjadi pada jantungnya, ini mungkin karena Maura terlalu lelah bekerja seharian. "Untuk makan malam, anda mau makan apa?" "Hmmm." Dimas menoleh sebentar. "Ayo kita masak bareng." "Emangnya anda bisa masak?" "Gak bisa, saya bisa bantu motong bawah, ngaduk dan sebagainya." Maura mengernyit, kepalanya kini menoleh ke arah laki-laki itu. "Hanya itu?" "Ya, saya juga jago cuci piring," ucap Dimas angkuh. Kemudian Maura diam, ia tak lagi berniat bersuara sampai mobil itu berhenti di depan rumah. Maura kembali kesusahan dalam membuka sambil pengaman yang menahan dirinya. Dimas kembali membantu, kini ia kembali bisa melihat wajah Dimas dari jarak sangat dekat. Tapi, tetap Maura memalingkan wajahnya. "Maura." Maura menoleh dan terkejut saat hidungnya bersentuhan dengan laki-laki itu. Sedetik kemudian Dimas terbahak pelan. "Kamu kenapa?" "Anda pikir ini lelucon?" Maura mendorong bahu Dimas untuk menjauh, tetapi laki-laki itu menahannya. "Saya ingin keluar!" Maura kesal, ia pun dengan sengaja membenturkan dahinya cukup keras ke dahi Dimas. Laki-laki itu mengasuh kesakitan dan langsung menjauh, Maura hanya menyungging senyum. "Saya bukan pembantu yang bisa Anda perintah seenaknya." "Ah, sakit banget." Dimas mengusap-usap jidatnya pelan sembari keluar dari mobil dan menyusul Maura masuk ke dalam rumah. "Kamu harus tanggung jawab! Dahinya saya sakit banget, saya rasa ini juga menjadi sedikit bengkak. Saya tidak ingin penampilan saya jadi jelek," cerocos Dimas sambil terus mengikuti Maura hingga ke depan kamarnya. Maura tidak peduli, ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya. Itu salahnya sendiri, mengapa hendak berbuat tidak pantas pada dirinya. Sekarang terkena akibatnya, bukan? Namun, hati nurani Maura sedikit tidak tega. Benturan tadi cukup keras ia lakukan, ia saja Samapi merasa pusing. Maura yang sedang berbaring di kasurnya, kemudian bangkit dan membuka pintu kamarnya. Perlahan ia melangkah turun ke lantai bawah dan melihat Dimas tengah mengaduh kesakitan di ruang tengah. Merasa tak tega, Maura akhirnya mengambil kotak obat dan mendekati laki-laki itu. "Di sini ada obat. Anda bisa mengobatinya sendiri." Dimas mengambil kotak obat tersebut dan membukanya, ia mengambil salah satu salep yang ada di dalamnya. Pelan-pelan ia mengoleskan salep tersebut, tetapi ia merasa sedikit kesulitan. "Saya butuh kaca." Maura membuang napasnya pelan, ia ambil alih salep tersebut dan dengan hati-hati ia mengoleskan salep tersebut pada dahi Dimas yang memerah dan sedikit bengkak. "Salah anda sendiri, kenapa berlaku tidak pantas pada saya." "Saya hanya berusaha melepas sabuk pengaman kamu." "Melepas, tapi kenapa wajah bapak menjadi terlalu dekat dengan saya." *Bukankah sekarang wajah kita juga sangat dekat?" Dimas menatap kedua manik mata yang kini membulat sempurna akibat ucapannya. Tanpa sadar Dimas tertawa, gadis itu langsung menjauh darinya. "Saya harus masak, anda bisa lanjutkan sendiri," ujar Maura bergegas cepat ke dapur. Bagaimana bisa ia tidak sadar jika wajahnya sudah menjadi sangat dekat laki-laki itu. Mengapa bodoh sekali, sekarang ia juga yang harus menahan malu. "Apa yang bisa saya bantu?" Maura bergeser menjauh ketika Dimas sedang berdiri di sampingnya. Seakan hendak menjahili, Dimas pun kembali mendekatkan dirinya pada gadis itu. Maura kembali menjauh, kenapa laki-laki itu terus mendekat ke arahnya. Sebenarnya apa yang ia inginkan? "Saya hanya ingin lihat apa yang sedang kamu lakukan." Maura tak menjawab. Ia hanya diam dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Setelah memakai celemek, Maura menarik ikatan rambutnya, lalu mengikatnya kembali membentuk cepol. Dimas yang sedari tadi melipat tangannya di d**a, terus melihat apa yang gadis itu lakukan dan merasa terpana saat gadis itu menggulung rambutnya-mempetlihatkan leher jenjang yang ia miliki. Bagaimana bisa gadis itu terlihat sangat cantik saat sedang memasak seperti ini. "Saya ingin membantu," ucap Dimas mendekat kembali dengan mata yang tak berpindah dari gadis itu. "Tidak usah, saya bisa melakukannya sendiri." Dimas tersenyum, gadis ini bahkan sama sekali tidak menggodanya tetapi mengapa rasanya ia seperti tergoda pada gadis itu. "Saya rasa saya-" "Ya?" TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD