Davi menghempaskan tubuhnya pada sofa. Reno yang baru saja keluar dari kamar mandi pun mengurungkan niatnya pergi ke kamar dan menghampiri Davi.
"Tumben datang sendirian. Gilang mana?"
Davi melirik ke arah Reno yang masih terbalut handuk. "Lagi nge-date sama ceweknya," jawab Davi cuek sambil mengambil stik PS. Jangan salah, rumah Reno memang sudah menjadi basecamp tetap mereka bahkan sudah Davi klaim sebagai rumah keduanya.
"Oh. Terus giliran lo kapan, Dav?" goda Reno sambil mengacak-ngacak rambutnya yang basah habis keramas.
"Giliran gue kapan, giliran gue kapan, lo sendiri apa kabar? Jomblo terus dari orok perasaan," cibir Davi.
Reno terkekeh geli. "s****n lo!"
"Gue ganti baju dulu, deh. Lo kalau haus ngambil sendiri aja, ya. Dapurnya belum gue pindah kok, candanya garing.
"Sip," timpal Davi singkat, padat, dan pendek tanpa menoleh sedikit pun ke arah Reno. Matanya terlalu fokus pada play station di hadapannya.
"Arggghhttt ... ketinggalan jauh s****n banget! Itu mobil satu apaan lagi main nyalip-nyalip aja! Resek bener dah!" gerutunya.
"Tunggu pembalasan gue, ya!" ucapnya sambil menaikkan kecepatan mobil balapnya.
"Eh eh eh ... Apaan, nih? Kok game over, sih? Ah s**l nyawa gue abis!" dumelnya sambil membanting stick PS.
"Banting aja terus, Dav. Kurang banyak stick PS gue yang lo banting!" teriak Reno dari dalam kamar.
"Gue ganti," timpal Davi. Ia mengambil ponsel dari saku celana dan membuka aplikasi Instagramnya. Ada sekitar 275 akun yang mengikutinya hari ini. Davi men-scroll down layarnya, melihat satu persatu akun tersebut.
"Liat apaan lo? Fokus bener," tanya Reno lalu yang ikut duduk di samping Davi.
"New followers."
Reno menaikkan satu alisnya. "Berapa banyak?"
"Dua ratus tujuh puluh lima."
"Cewek semua?"
"Yoi."
"Lo followback?"
"Enggak. Buat apaan? Eggak faedah banget," jawab Davi cuek sambil menutup aplikasi instagramnya.
"Ckckck ... s***s lo Dav!"
"Ya mau gimana lagi? Gak ada yang menarik perhatian."
"Iyalah, yang menarik perhatian kan cuman Naya. Iya, gak?"
Davi tersenyum. "s****n lo!"
"Eh tapi, hari libur gini tuh cewek lagi ngapain, ya? Bete juga sehari gak ngerjain dia," ujar Davi kemudian.
"Gila lo! Sampe hari libur juga masih aja pengen ngerjain si Naya. Lo gak kasian apa? Tuh cewek kayaknya udah frustasi banget ngadepin lo. Ckckck!" Reno menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.
Davi terkekeh geli. "Belum, sampe rencana gue yang sebenernya tercapai."
"Jiah, gue jamin dah ... tuh cewek bakal kabur duluan."
"Kita liat aja." Davi bangkit dari duduknya.
"Mau ke mana lo?"
"Cabut. Ada urusan," ucap Davi sambil melenggang pergi. Reno hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
Seperti biasa, rumah kediaman pak Algani selalu riuh karena keributan yang diciptakan oleh kedua putrinya, Naya dan Nata. Sesepele apa pun duduk permasalahannya. Seperti pagi ini, keduanya kembali rebut hanya karena hal kecil. Naya yang pemaksa dan Nata yang keras kepala tidak mau meminjamkan.
"Ma, liat sepatu Nata yang pink, gak? Kok enggak ada di rak sepatu?" tanya Nata sambil mencari-cari sepatu yang dimaksudnya.
Mamanya yang sedang mencuci piring pun menoleh. "Lho? Terakhir kali Nata simpen dimana?"
"Enggak tahu, Ma. Nata lupa."
"Coba tanyain sama Teteh kamu. Kali aja dia tahu."
"Naya enggak tahu, Ma. Nat, lo jangan tanya gue, ya. Gue juga lagi sibuk nyari ikat rambut," sahut Naya dari kamar.
"Siapa juga yang mau nanya sama lo? Males!" balas Nata.
Naya keluar dari kamarnya. Ia masih belum menemukan benda yang dicarinya. Namun, matanya sontak berbinar ketika menemukan sebuah ikat rambut yang sedang bertengger di kepala Nata. Ia pun langsung berjalan mendekati adiknya.
"De, pinjam ya. Teteh mau mandi," ujar Naya hendak menarik ikat rambut berbentuk pita itu.
"Ih Teteh apaan, sih? Enggak mauuuu!"
"Pinjam bentar, De. Teteh mau mandi, ih!" Naya masih berusaha melepaskannya dari rambut Nata.
"Gak mauuuuu! Cari yang lain aja napa!!!" Nata berusaha sekuat tenaga mempertahankan ikat rambutnya.
"Gak ada. Udah pinjam ih. Bentaran doang juga ..."
"Enggak! Enggak! Enggak!"
"Pinjammm!"
"Enggak!"
"Pinjam!"
"Enggaaaakkk!"
"Pi-"
"Nata, Naya! Kalian tuh kebiasaan banget, sih! Selalu aja berebut ikat rambut!" ucap sang Mama menghampiri Nata dan Naya. Ia tak habis pikir dengan tingkah kedua anaknya yang hobi berebut sesuatu.
Dulu aku ngidam apa, sih? Kok punya anak dua-duanya hobi banget rebutan.
"Nih ... Teteh pake ini aja, ya. Ini juga bisa buat ngiket rambut kok," kata sang Mama.
"Ih Mama ... kok Naya malah dikasih karet, sih? Ini kan karet bekas ngiket plastik minyak goreng," keluh Naya sambil memonyongkan bibirnya.
Nata terkekeh geli. "Makan tuh karet minyak goreng," ledeknya lalu bergegas pergi.
"Nataaaaa! Awas lo, ya!" teriak Naya kesal.
"Udah-udah ... katanya Teteh mau mandi. Gih sana cepet. Jadi pergi bareng Rani sama Novi, kan?"
"Aduh, iya lupa." Nata menepuk jidatnya sendiri. Ia langsung mengambil handuk dan bergegas pergi ke kamar mandi.
Hari ini mereka bertiga berencana akan pergi ke kedai es krim di ujung jalan yang baru saja dibuka. Menurut informasi yang di dapat Novitri dari akun sosmed-nya, minggu ini ada potongan harga sebesar 50% setiap pembelian satu porsi es krim semua rasa. Baru mendengarnya saja sudah membuat Naya tergiur. Siapa sih yang menolak diskon sebesar 50%?
"Teh ... ada temen lo tuh di depan," ucap Nata yang nongol di ambang pintu.
"Iya-iya, tunggu bentar. Tanggung nih," timpalnya sambil menyelesaikan acara make up nya.
"Mau pergi aja, dandan cantik. Giliran ke sekolah, polos banget," cibir Nata.
Naya melirik ke arah adiknya. "Ye biarin aja, sih. Emangnya elo, ke sekolah aja pake dandan segala. Mau sekolah apa cari gebetan, Neng?" sindir Naya.
"Dua-duanya, wleee!" timpal Nata sambil menjulurkan lidahnya dan berbalik pergi.
Fyi, walau Naya dan Nata kakak-beradik, mereka ini lebih mirip disebut seperti Tom dan Jery. Apalagi umur mereka yang hanya berbeda satu tahun. Keduanya lebih terlihat seumuran dengan postur tubuh Nata yang hampir sama dengan Naya. Ditambah lagi, sifat keduanya yang sama-sama tidak mau kalah. Tapi walau begitu mereka tetap menyayangi satu sama lain.
Naya keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah ruang tamu sambil memasukkan ponsel ke dalam tas kecilnya. "Yuk guys kita-" Naya tidak melanjutkan kalimatnya saat melihat sosok yang sedang duduk santai di sofanya.
"Kak-Kak Davi?"
"Hai," sapanya ramah lengkap dengan senyum mengembang di bibirnya.
Wait wait, dia barusan nyapa gue? Sambil senyum? Davi waktu jalan ke rumah gue gak kesambet apa-apa, kan? Gak kerasukan setan pohon beringin, kan?
"Cieeee yang katanya mau pergi bareng teh Novi sama teh Rani ... Ekhem, alesan doang elah," ujar Nata yang nongol di balik pintu kamarnya.
Naya langsung berbalik dan menghampiri Nata, menariknya masuk ke dalam kamar. "Lo kok gak bilang sih, kalau yang datang Kak Davi?"
"Lha, lo gak tanya. Lagian Kakak ganteng itu bilang kalau dia temen lo. Ya udah gue izinin masuk. Bukannya dia juga cowok yang nganterin lo kemaren, kan?"
"Kan lo bisa bilang kalau gue enggak ada."
"Dih, sejak kapan gue diajarin boong?"
"Nataaaa! Elo tuh yaaaa!!!"
"Yaudah sih, mubazir juga kalau disuruh pulang lagi. Ganteng gitu."
"Gila lo!"
"Udah sana samperin. Kasian nunggu lo dari tadi."
"Aaaargghht! Awas lo, ya! Lain kali kalau tuh cowok datang, suruh pulang aja lagi. Ok?"
"Iya-iya bawel lo."
"Good! Ini baru adik gue," ucap Naya menepuk pipi Nata penuh sayang.
Naya keluar dari kamar dan kembali menghampiri Davi. "Eum ... Kak Davi ada perlu sama saya? Tapi, saya mau pergi sama Rani dan Novi. Udah janji mau pergi," ujar Naya hati-hati.
"Ke?"
"Itu kak, ke kedai es krim yang diujung jalan. Yang baru dibuka itu loh."
"Batalin!"
"Hah?"
"Lo gak denger?" Davi melayangkan tatapan tajamnya.
"De-nger kok Kak," jawab Naya cepat.
"Terus?"
"Saya udah janji mau pergi sama mereka. Kapan lagi bisa quality time bareng." Bukan! Bukan karena alasan quality time. Tapi yang benar itu, kapan lagi makan es krim setengah harga? Apalagi es krim tersebut sedang booming-boomingnya.
"Lo milih pergi sama temen-temen lo atau sama gue?"
"Sa-sama kak Davi, deh."
"Kok pake 'deh'?"
"Iya sama kak Davi."
"Jawaban yang bagus." Davi tersenyum puas penuh kemenangan.
"Lho? Ada tamu toh, kok enggak dikasih minum sih, Teh? Enggak sopan ah kamu," ucap Mamanya.
Gak sudi Ma ... ngasih minum sama cowok kayak Davi, sih!
"Ah, enggak papa kok, Tan. Lagian saya enggak haus," ucap Davi ramah sambil mengulas senyum. Ia bangkit dari duduknya dan menyalami Mama Naya dengan sopan.
"Abis belanja, Tan?"
"Eh iya, Nih. Buat besok," jawabnya ramah.
"Teteh katanya mau pergi bareng Rani sama Novitri? Nggak jadi?"
"Eh? Ng-nggak jadi, Ma."
"Oh," ucap sang Mama seolah mengerti dengan situasi saat ini.
"Saya izin pergi sama Naya boleh kan, tah? Enggak jauh-jauh kok. Paling makan atau pergi ke tempat wisata aja," ujar Davi.
"Bener ya, enggak jauh-jauh?"
"Bener kok, Tan. Saya janji bakal jagain Naya."
Bohong Ma bohong! Jangan percaya sama Davi! Please mah jangan izinin donggg ...
"Ya udah Tante izinin. Pulangnya jangan kesorean, ya. Tante titip Naya. Jagain bener-bener, ya." Mendengar jawaban itu rasanya tubuh Naya melemas seketika.
Davi tersenyum manis. "Pasti, Tan. Tante bisa percaya sama saya." Mamanya ikut tersenyum dan mengangguk pelan.
"Kalau gitu kita pergi dulu ya, Tan. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
"Yuk, Nay?" ajaknya dengan nada lembut. Membuat Nanya cemberut 2x lipat.
"Naya pergi dulu ya, Ma. Assalamu'alaikum."
"Iya, waalaikumsalam. Hati-hati, Nay." Naya hanya bisa mengangguk pasrah. Harapannya makan es krim setengah harga musnah sudah.
Sepanjang perjalanan, Naya lebih banyak diam dan hanya membalas ucapan Davi sekenanya. Ia masih sangat kesal dengan kehadiran Davi yang tiba-tiba dan memaksanya membatalkan janji untuk makan es krim setengah harga bersama kedua sahabatnya. Ingin rasanya naya teriak dan protes habis-habisan pada Davi, tapi tidak bisa. Kemarahan Davi lebih mengerikan dari apa pun. Ia tidak bisa membayangkan jika sampai cowok itu murka. Apa yang akan terjadi padanya? Naya sendiri tidak mau memprediksinya.
Davi memarkirkan motornya di sebuah bengkel resmi. Biasanya, Naya akan bertanya atau protes, tapi untuk kali ini, ia memilih untuk diam saja. Naya turun dari motor dan langsung mencari tempat duduk.
"Wih, tumben lo bawa cewek kemari. Siapa? Pacar baru, ya?" tanya Fero.
Davi terkekeh. "Kepo lo. Bukan pacar."
"Terus?"
Davi berbisik di telinga Fero. Calon pacar.
"Ckckck. Bisa aja lo. Iya deh, sukses ya, bro!" ucap Fero sambil menepuk bahu Davi.
"Jadi, apa yang bisa gue bantu buat sohib gue yang satu ini? Hmm?"
"Mau full service. Bisa, kan?"
"Bisa lah. Serahin aja sama gue."
"Sip. Lo ganti aja apa yang perlu diganti. Ok?"
"Beres."
"Good." Davi langsung berbalik dan berjalan menghampiri Naya.
"Nay?" panggil Davi pelan. Tapi, yang dipanggil hanya diam tidak menoleh sedikit pun.
"Nay? Naya?" Davi menggoyang-goyangkan tangannya tepat di depan wajah Naya. Tapi tetap tidak ada perubahan.
Akhirnya, Davi menepuk bahu Naya, membuat cewek itu tersentak seketika.
"Apa?" tanya Naya malas. Ia benar-benar tidak ingin berbicara dengan Davi saat ini.
"Lo kenapa, sih? Gak suka jalan sama gue?"
Itu lo tahu! Terus kenapa masih ngajak gue pergi? Maksa lagi! Protes Naya dalam hati.
"Gak. Gak papa," jawab Naya ketus. Ia kemudian mengambil ponselnya dan membuka grup chatnya. Naya sudah bertekad akan mengabaikan Davi sebisa mungkin.
SINCAN (SINgle CANtik)
Ranita
Nay, lo serius jalan sama kak Davi? Tadi kita ke rumah lo.
Naya
Y
Ranita
Kok bisa?
Naya
U think??
Novitri
Ngdate kemana, Nay?
Naya
Bengkel.
Ranita
Bahasa lo Nov ... Ngdate
Novitri
Akakak ... Salah ya, Ran?
Ranita
Bener, kok. Sama siapa ngdatenya mungkin itu yang salah.
Naya
Culik gue pleaseeee
Ranita

Lo harus kesini pokoknya, Nay. Es creamnya lucu banget, gila! Jadi gapengen di makan
Naya
Mauuuu
Diskonnya ampe jam berapa?
Novitri
Bentar, Nay. Cuman sampe jam 12.
Naya
Bungkusin satu, ya
Ranita
Mana bisa -_-
Naya
Hiks, pengen kesana
Novitri
Udah ah kita mau nikmatin es krimnya dulu sambil selfie2
Naya
Temen jahat!
Ranita
Have fun ya sama kak Davinya. Fufufu
Naya memonyongkan bibirnya kesal. Harusnya hari ini ia bisa menghabiskan harinya sesuai jadwal. Menikmati es krim bersama kedua sahabatnya sambil mengobrol santai. Bukan malah kejebak sama Davi di bengkel seperti sekarang. Jam sudah pukul 11.00. Itu artinya, sudah satu jam ia berada di sini dan belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa motor Davi selesai di service.
Naya melirik ke arah Davi. Cowok itu terlihat sibuk dengan game di ponselnya. Kalau gue kabur sekarang, masih sempet gak ya pergi ke sana?
"Enggak usah mikir buat bisa kabur. Gue tahu apa yang lo pikirin," celetuk Davi tiba-tiba. Padahal, matanya fokus pada layar ponsel.
Naya menghentakkan kakinya refleks. Ia benar-benar kesal pada manusia yang satu itu. Udah dandan cantik-cantik, nongkrongnya malah di bengkel. Hiks, nasib gue jelek amat sih? Enggak bisa apa ya, sehari aja gue bisa bernapas bebas? Nikmatin hari gitu?
Setelah menunggu sekitar 2 jam, motor Davi akhirnya selesai di service. Cowok itu bangkit dari duduknya dan melirik ke arah Naya.
"Sebelum balik, kita makan dulu. Gue lapar," ucap Davi sambil memasukkan kembali dompetnya. Naya hanya diam.
"Yuk?" ajaknya kemudian. Tapi, Naya masih tetap diam.
"Lo denger gue ngomong gak, sih?"
"Saya mau pulang." Akhirnya Naya buka suara.
"Apa?"
"Saya mau pulang!"
"Gue laper."
Naya sudah tidak bisa menahan kekesalannya. "Gue mau pulang! Lo ngerti gak sih gue ngomong? Gue gak mau nemenin lo makan! Gue mau pulang!" ucapnya dengan nada agak tinggi.
Davi sontak kaget dengan penuturan Naya barusan. Barusan Naya marah?
Naya langsung berbalik dan berlari pergi meninggalkan Davi yang masih speechless. Hingga sebuah tepukan menyadarkan Davi. "Lo gak mau ngejar dia?" tanya Fero.
"Apa?"
"Ck! Calon cewek lo pergi tuh! Lari. Lo gak mau ngejar dia?"
"Hah? Pergi? Naya pergi? Ke mana?"
"Astagaaa! Sebenernya lo ini kenapa sih, hah?"
"Naya, Naya pergi ke mana?"
"Mana gue tahu! Gue cuman liat dia lari ke arah kiri."
Mendengar ucapan Fero, Davi langsung berlari menyusul Naya tanpa memedulikan motornya yang masih berada di bengkel. Sementara itu, Naya terus berlari sekuat yang dia bisa. Ia tak habis pikir jika di hari libur sekalipun, cowok itu masih ingin menghancurkan harinya.
"Nay, berhenti! Jangan lari!!!" teriak Davi dari kejauhan. Tapi, Naya tidak peduli. Ia berlari lebih cepat agar Davi tidak bisa mengejarnya.
"Nayaaa please berhenti! Gue minta maaf!!!" teriaknya lagi.
"Aarrgghht! Dasar cewek keras kepala!" gumam Davi. Ia pun mempercepat larinya agar bisa menggapai Naya.
"Nay tunggu!!!" Akhirnya, Davi bisa meraih lengan Naya, membuat langkah cewek itu terhenti.
"Lepasin!"
"Gak!"
"Lepasin! Gue mau pulang!"
"Lo pergi sama gue, pulang juga sama gue. Paham?"
Naya menatap nanar cowok di hadapannya. "Gue bisa pulang sendiri!" kekeuhnya.
"Gak usah keras kepala."
Naya menatap nanar cowok di hadapannya. "Kenapa? Kenapa harus segininya banget, sih? Kenapa lo gak bisa biarin gue bernafas lega sehari aja? Hah? Gue juga punya kehidupan sendiri. Enggak harus turutin semua kemuan lo!" teriak Naya. Pada akhirnya, air matanya menetes juga.
"Nay, lo nangis?" Dengan cepat Naya mengalihkan pandangannya.
Davi langsung menarik Naya ke dalam pelukannya. "Maaf, gue keterlaluan," ucapnya lembut.