BAB XIII

1307 Words
“Datanya sudah kutemukan. Dia merupakan anak dari petinggi kota Vanxyere, baik Ayah dan ibunya, keduanya sama-sama orang penting. Bagaimana menurut kalian?” Selvi membacakan kesimpulan yang ia buat dari tulisan tangannya dan berdiri di hadapan ketiga rekannya itu. “Kan udah aku bilang juga, ia terlalu bahaya untuk kita sergap begitu saja,” ujar William. “Kau benar... Apa ada saran kalian bagaimana cara untuk menangkapnya?” tanya Driad. “Kenapa ditangkap? Bukannya kita hanya ingin berbicara secara baik-baik saja kemarin?” tanya Vian merasa aneh dengan perkataan Driad yang berubah tiba-tiba. “Yah tetap saja harus ditangkap bukan? Kalau kita datangi mereka yang ada kita dijadikan sasaran empuk,” jawab Driad. “Ah iya juga, aku mengerti sekarang.” William berdiri dari tidurnya dan langsung membuka sebuah portal yang membuat rekan lainnya langsung melihatnya dengan tatapan bertanya. Tentu saja mereka penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh William. Biasanya ialah yang selalu bermalas-malasan soal bepergian, bahkan dengan memakai portal pun ia malas. “Kau kenapa Will?” tanya Vian yang memutar lehernya dan meliriknya dengan ujung matanya. Ia sebenarnya sedang merekap kejadian di perjalanan mereka dan mengirimnya ke pusat. “Aku? Emang kenapa?” tanya William mengerjapkan matanya bingung dengan rekannya yan sekarang menatapnya intens dan penasaran. “Apa kalian tau? Tatapan kalian sekarang itu seperti ingin memakanku,” ucap William dan merinding melihat sikap rekan-rekannya itu. “Kau sakit ya Will?” tanya Selvi yang melihatnya dengan tatapan datarnya, itu membuat bulu kuduk William semakin naik, ada apa dengan rekan-rekannya itu? “Kalian penasaran kenapa aku ingin keluar? Aku hanya ingin membeli makanan saja,” ungkap William pada akhirnya. “Tapi kau jangan buka portal di tempat umum, itu bisa membuat banyak masalah disini.” Driad memberitahu William. “Baiklah.. eh tapi kenapa aneh jika buka portal di tempat umum?” tanya balik William yang penasaran, sepertinya hanya Driad lah bangsa Cordict yang mengetahui banyak sekali hal tentang kota Vanxyere seakan ia benar-benar terlahir disini. “Bukankah pernah kubilang? Warga disini sebenarnya belum terlalu mengenal sama yang namanya portal, hanya keluarga Archel saja yang tau dan beberapa orang sekitar di dekat mereka,” jawab Driad. “Tapi Driad.. Kau belum pernah mmeberitahu hal seperti itu kepada kami, baru kali ini kau memberitahu kami,” timpal Selvi. “Ah benarkah? Kalau begitu maafkan aku, yasudah kau pergi cepat, jangan terlalu lama.” Driad kembali memperhatikan sketsa kota Vanxyere di depannya dan mulai melanjutkan kembali gambarnya itu. Selvi yang melihat Driad dari kemarin malam terus menggambar tanpa kejelasan itu mulai risih, karena ia seperti cinta sekali dengan kota Vanxyere yang sedang mereka pijaki ini. “Dri, tujuanmu menggambar sketsa kota Vanxyere untuk apa coba? Rasaku banyak hal yang perlu kita lakukan selain mementingkan hal seperti itu.” “Kalian akan tau nanti, tidak bisakkah menunggu saja?” Driad mulai risih dengan rekannya yang terlalu banyak pertanyaan itu, itu sebenarnya sangat menganggunya dan membuat ia tidak fokus. “Baiklah...” lirih Selvi dan kembali membaca novelnya karena ia sudah selesai bekerja. Vian hanya melihat kedua rekannya itu dengan tatapan yang tidak tertarik, ia merasakan dirinya tiba-tiba saja bosan. Rasa seperti ingin memakan manusia mulai muncul dilidahnya, padahal seharusnya bangsa Cordict seperti mereka sekarang tidak selera lagi dengan daging manusia karena sudah diberi DNA pemakan daging merah hewan lain, tetapi walaupun begitu masih ada beberapa dari bangsa Cordict yang masih saja bisa merasakan rasa selera saat melihat banyak manusia di sekelilingnya. “Apa nanti aku coba saja ya diam-diam?” gumam Vian saat ia sedang menyeduh kopi di dapur kamar hotel itu. Ia tersenyum licik dan mulai mencari tata koordinat portal secara acak. *** “Apa kau sudah menaruhnya dengan benar?” bisik Delvin pada Archel yang sedang sibuk menaruh sosok bangsa Cordict itu di sebuah pohon dekat luar wilayah kota Vanxyere, lebih tepatnya di sebuah jembatan dimana Archel menangkapnya. “Tenanglah Delvin, aku berusaha membuatnya agar terlihat indah,” jawab Archel dengan berbisik juga. Delvin sekarang memperhatikan sekitar, karena mereka harus hati-hari karena tempat ini merupakan wilayah dari bangsa Cordict dan kenyatannya emang begitu, karena tempat inilah yang tidak ada kamera pengawas sama sekali. Begitupula setelah Billy mengeceknya lewat kamera satelit, ternyata daerah jembatan itu bangsa Cordict sering berlalu lalang. “Kalau kau sudah selesai ayo kita balik, jangan lupa untuk menghapus jejak kita juga,” ucap Delvin masih dengan berbisik. “Baiklah, sebentar lagi.” Archel menyelesaikan pekerjaannya dan mulai membersihkan segala jejak mereka, lalu berdiri dan menyenggol bahu Delvin menandakan pekerjaan mereka udah selesai. “Udah?” tanya Delvin memastikan dan melihat ke belakang sekali lagi. Sosok monster itu sudah kembali seperti manusia biasa, tentu saja itu berkat Delvin, ia juga sudah merekayasa pikiran monster ini. Ya, Delvin memanggilnya monster karena emang menyeramkan. “Udah, ayo pergi!” ajak Archel. Mereka berdua pergi dan langsung memasuki mobil, Archel pun buru-buru menancapkan gasnya. Kenapa tidak memakai portal saja? Karena portal buatan keluarganya hanya bisa digunakan ditempat tertentu saja, tidak seperti portal dari bangsa Cordict yang bisa digunakan dimana saja ketika mereka sudah mengunjungi tempat tujuan. “Semua sudah beres kan?” tanya Archel kepada Delvin untuk meyakinkan dirinya semuanya sudah beres, karena Archel takut jika ada hal yang masih ketinggalan. “Sudah, kau tenang saja, semuanya udah aman. Besok kita adain pertemuan di tempat Billy bagaimana?” saran Delvin. Archel masih berpikir dan tidak lama ia mengangguk, “Boleh juga, sepertinya besok kita emang harus berkumpul. Dan aku tau ad yang kau rahasiakan tentang bangsa Cordict, besok kau harus mengatakan semuanya,” mutlak Archel. Delvin menelan kasar ludahnya, ia tau orang disampingnya itu cukup sulit dibohongi seperti Lia. Mereka berdua merupakan dua orang yang paling dihindari saat ada sebuah rahasia, karena mereka berdua ujung-ujungnya akan tau, entah bagaimana caranya. “Ya... aku akan mengatakan semuanya. Tetapi kalian juga harus mengikuti perkataanku,” “Masalah itu akan kita diskusikan besok pagi, siapkan dirimu.” *** Vano sedang memberikan makan kelima kelincinya di dalam kadang, memberikan mereka wortel dan melihat mereka makan dengan lahap. Ia hari ini sudah selesai mengurus semua hewan dan binatang peliharaannya, cukup melelahkan pikirnya karena memberi makan hewan sebanyak puluhan jenis itu memakan waktu selama dua jam. Tapi itu semua terbayarkan dengan tingkah mereka semua yang lucu dan unik. “Sekarang... waktunya tidur kembali!” seru Vano dan mengitari halaman rumahnya. Ia masuk kembali ke dalam rumahnya dengan berlari hingga menaiki tangga. Dan masuk dengann cepat ke dalam kamarnya, lalu menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Angin dingin terasa di sekitarnya beberapa saat, kemudian ia mulai merasakan gerah karena cukup lelah berlari tadi. “Kenapa aku tiba-tiba haus ya?” gumamnya dan bangkit dari tidurnya. Ia duduk dan melihat ke arah kiri disana ada galon air berbentuk persegi dan sebuah dispenser bewarna hitam silver. “Geosa! Berikan aku air!” perintah Vano dan beberapa detik kemudian sebuah gelas berisi air datang dibawakan oleh sebuah robot kecil berbentuk oval yang terbang dengan tangan panjangnya. Robot itu bewarna hitam, biru muda, dan terdapat beberapa warna silver pada tubuhnya, ia memiliki mata yang seperi kacamata dan ekspresi seperti garis pada emotiokon pada huruf. “Ini minumnya, Vano!” serunya dengan mata yang berbentuk garis itu menyipit bewarna biru menandakan ia sedang tersenyum. “Baiklah, terima kasih!” ucap Vano dan langsung menegak tandas semua air putih di gelasnya itu, lalu memberikannya kembali pada Geosa, nama robotnya itu. Robot rumah tanggal yang dibuat oleh perusahaan AX.Corporation. Vano kembali merebahkan dirinya, ia melihat jam hologram yang ada tepat di depan matanya. Ya, Vano memasangnya di langit-langit kamarnya, disana jam menujukkan pukul 9 pagi. Vano yang merasa tidur jam segitu sangat buruk bagi kesehatan sedikit tidak peduli, karena ia terkadang merasa dirinya memiliki sedikit sifat hewan nokturnal. “Tapi aku mengantuk, anggap saja diriku kelelawar,” gumamnya dan kemudian memejamkan matanya dengan memeluk gulik yang ada di sampingnya. Beberapa menit kemudian Vano sudah tertidur pulas dengan sangat tenang dan tanpa suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD