“Apa-apaan kamu Reina? Begitu kelakuan sebagai seorang perempuan yang sudah bersuami?” Bentak Mas Alan sesampainya kami di rumah. Saat ini kami berdua ada di kamar, sengaja agar mertua dan adik iparku tidak mendengar pertengkaran kami.
Sepanjang perjalanan tadi, kami berdua hanya diam, berusaha agar tidak terjadi pertengkaran di mobil. Mas Alan membawa mobilnya sangat ngebut, menginjak pedal gas dalam-dlam dan menyetir ugal-ugalan. Aku sampai menggenggam erat tali sabuk pengaman.
“Apa-apaan gimana maksudnya Mas?” Tanyaku heran.
“Kamu…! Apa yang kamu katakan tadi kepada Khamila hah?! Jawab!” Emosi Mas Alan memuncak. Dia bahkan mengguncang bahuku kencang membuat tubuhku sedikit berguncang.
Aku tersenyum sumir, sakit! Bukan bahuku yang sakit karena diguncang Mas Alan. Tapi apa yang akan kalian rasakan, jika suamimu lebih membela perempuan lain dibanding istri sendiri? Sakit bukan? Tidak hanya sakit tapi juga kecewa.
“Jadi dia mengadu padamu Mas? Apalagi yang dia adukan?” Bahkan untuk menyebut nama Khamila pun aku enggan.
Mas Alan melihatku dengan tajam. Aku tahu emosinya semakin memuncak tapi sudah kepalang tanggung. Kakiku sudah basah tercelup, sekalian saja seluruh tubuhku aku basahi. Aku juga ingin tahu ada hubungan apa sebenarnya antara Mas Alan dan Khamila hingga Mas Alan sangat membela Khamila.
“Kamu…!” Bentaknya.
“Apakah aku salah, memintanya untuk menjauhi lelaki yang berstatus sebagai suami sahku? Apakah aku salah jika memintanya menjauhimu? Aku istrimu Mas, istri sahmu, kuingatkan jika lupa bahwa kamu sudah bersumpah di hadapan Tuhan dan para saksi beberapa bulan lalu.” Jawabku dengan suara bergetar menahan marah. Mataku panas, aku ingin menangis, tapi tentu aku tidak mau terlihat cengeng di depan Mas Alan.
Aku harus bisa mengendalikan emosi dan akal sehatku agar tidak melewati batas. Sebagai seorang istri, surgaku terletak pada Mas Alan.
“Bukankah sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku. Kamu memang istriku, tapi kamu tidak berhak untuk mengatur hidupku. Termasuk untuk bertemu Khamila.” Katanya dengan nada tegas. Mas Alan membalik tubuhnya, hendak pergi dari kamar ini. Aku bereaksi, kuhalangi jalannya. Seperti de javu, saat aku menghalanginya pergi di malam pertama kami.
“Jangan pergi Mas. Aku istrimu, aku berhak melarangmu.” Tanganku memegang lengannya, berusaha mencegahnya pergi.
“Jangan paksa aku untuk memilih, karena kamu tahu pasti siapa yang akan aku pilih.” Mas Alan mengibaskan tangannya dan sedikit mendorong tubuhku agar aku menyingkir. Seperti ada sembilu virtual yang telak menusuk d**a hingga menembus jantungku.
“Sekali lagi aku tekankan padamu, Reina, jangan ikut campur urusanku.” Kemudian dia membanting pintu hingga aku berjengit kaget karena bunyinya yang cukup keras.
Tubuhku meluruh ke lantai, sakiiit! Sungguh sangat sakit kurasakan di dadaku. Bersuami tapi tidak bersuami, itulah seburuk-buruk nasib seorang istri.
*
Pagi hari aku terbangun dengan mata bengkak dan kepala sangat pusing. Aku melirik ke kasur sebelah kiriku yang kosong. Kusentuh sisi kasur itu, terasa dingin. Artinya sisi kasur ini memang tidak ditiduri oleh Mas Alan.
Huueek…
Aku segera lari ke kamar mandi. Perutku terasa sangat mual, tapi beberapa kali aku coba muntahkan, kenapa tidak ada yang keluar? Malah tambah membuat terasa mual saja.
Lima menit aku berhoak-hoek di kamar mandi tanpa ada yang aku muntahkan, lelah, akhirnya aku mandi saja, mungkin bisa menjadikan tubuhku nanti terasa segar. Selesai mandi aku kembali ke kasur dan merebahkan tubuhku. Mungkin saja aku masuk angin karena semalam tidak makan.
Huuft… nanti aku akan minta tolong bibi untuk kerokan saja deh sekalian dipijat agar tubuhku terasa lebih nyaman.
Daripada bengong memikirkan yang tidak-tidak, aku menelpon mama. Sudah seminggu ini aku tidak menelpon beliau, perempuan terkasihku.
“Halo… ma, assalamualaikum.” Ucapan salam yang selalu diwajibkan mama jika kami, aku dan Mas Reino, menelponnya.
“Waalaikumusalam. Hai Na, tumben jam segini udah nelpon mama. Eeeh tapi kok wajahmu pucat gitu Na? Kamu sakit?”
Naluri seorang ibu yang hanya dengan melihat anaknya via panggilan video pun sudah tahu ada sesuatu yang tidak beres . Aku tersenyum kecil, coba menyembunyikan kenyataan yang ada.
“Aku kangen mama. Mama lagi ngapain? Waah itu apa ma? Singkong dan jagung rebus ya?” Aku tidak mau menjawab pertanyaan mama, mengalihkan pembicaraan agar mama tidak menyadari itu. Melihat singkong dan jagung rebus itu tiba-tiba aku merasa lapar dan ingin sekali memakannya. Liurku sampai menetes, padahal itu makanan sederhana dan mama sering meminta bibik untuk merebusnya untuk mengurangi asupan gula.
“Ma, aku mau itu dong. Nanti tolong aku dikirimi jagung dan singkong rebus itu ya ma. Aku ingin banget nih, sampai menetes liurku.” Pintaku dengan manja.
Mama tersenyum dan mengangguk, “Nanti mama akan kirim ya nak. Tapi kamu belum jawab pertanyaan mama, kamu sehat kan Na? Wajahmu pucat.”
“Mungkin aku masuk angin ma, semalam di pesta tapi aku tidak makan banyak. Nanti aku akan minta bibik untuk memijatku.”
“Reina, kamu tidak memuntahkan apa yang sudah kamu makan kan? Kamu tahu mama akan sangat marah jika kamu lakukan itu lagi!”
“Tidak ma, bener deh. Nanti aku sekalian minta kerokin aja ama bibik ma. Tapi aku kangen mama.” Aku coba menahan air mataku agar tidak jebol. Jangan sampai mama tahu apa yang dilakukan oleh Mas Alan semalam, yang menghinaku sebagai istrinya.
“Mama juga kangen kamu. Nanti mama datang ke rumahmu ya Na. Kamu minta apa? Sekalian mama bawa.” Binar mata gembira nampak di mata mama yang sudah ada kerutan. Seorang ibu akan selalu menganggap anaknya seperti anak kecil yang harus selalu dimanjakan. Segera saja aku sebutkan semua keinginanku.
Kening mama berkerut selesai aku sebutkan semua yang aku inginkan. Seulas senyum tipis terlihat membuatku gantian yang heran.
“Banyak ya ma pesananku?” Tanyaku sambil meringis. Tapi itu semua yang aku inginkan saat ini.
“Iya, tapi Insya Allah mama akan bawa semua ya sama tambah satu lagi ntar surprise buatmu.” Jawab mama, nada mama berubah riang.
“Iya ma, terima kasih. Asyiiik, aku tunggu mama ya.” Keriangan mama menular padaku.
Selesai panggilan video itu, aku merasa sedikit lega.
Lima menit kemudian, pintu kamarku diketuk. Suara bibik terdengar minta ijin untuk masuk.
“Non Reina, ibu barusan telpon bibik katanya gak enak badan ya? Masuk angin karena semalam tidak makan, ini bibik bawa teh manis hangat sekalian bibik urut ya non.” Bibik diminta mama untuk ikut aku di rumah ini. Ya, bibik adalah ibunya Nindi. Beliau seperti mama keduaku.
“Iya bik, terima kasih.” Aku minum sedikit teh manis itu, tapi kenapa perutku jadi mual lagi? Karena tidak mau membuat bibi kecewa, akhirnya aku paksa telan teh itu, tapi hanya seteguk saja.
“Bik, aku minta tolong buatkan sarapan buat mama, papa, Rocky dan Mas Alan ya. Aku bener-bener pusing bik, mual banget.”
“Jangan khawatir Non, tadi bibi sudah buat sarapan. Tapi Mas Alan gak ada, baru Mas Rocky saja yang sudah sarapan. Mertua Non Reina masih belum keluar kamar.” Jawab bibi. Aku meringis mendengarnya.
Aku tahu bibi tahu pernikahanku dengan Mas Alan tidak baik-baik saja. Mungkin juga mama sengaja meminta bibi ikut denganku agar bisa menjaga sekaligus memberi laporan pada mama. Tapi beruntung mama dan Mas Reino tidak mau ikut campur dengan pernikahanku.
“Bik, tolong aku dikerokin ama dipijet ya biar badanku enakan.” Pintaku manja.
“Iya non, tadi ibu udah minta tapi urutnya pelan-pelan yaa.” Jawab bibi sambil tersenyum.
Kedua perempuan terkasih ini selalu terbit senyum, berbanding terbalik denganku yang merasa sedih tapi aku tidak mau mereka tahu apa yang aku rasakan. Biarlah aku saja yang merasakan ini. Aku merasa nyaman dengan pijatan lembut bibik, membuatku mengantuk dan akhirnya kembali aku jatuh tidur.
*
“Na, hei Reina, bangun dong. Jam segini kok masih tidur sih nak. Reina…” Samar-samar aku mendengar suara mama dan usapan lembut di rambutku. Aku membuka mata, tersenyum bahagia melihat mama benar-benar ada di hadapanku, bukan hanya virtual.
Seketika aku duduk dan memeluk mama erat, mama membalas pelukanku dan mencium keningku lama.
“Jam segini kok masih tidur aja. Masih mual dan pusing Na?” Tanya mama, memintaku berdiri dan pindah ke kursi. Tanpa sungkan, mama langsung saja membereskan kasurku yang berantakan hanya di satu sisi.
Aku lihat mama sempat sekian detik terdiam karena sisi kasur yang biasa ditiduri oleh Mas Alan masih rapih. Tapi sepertinya mama coba abai, karena setelah beres, beliau langsung mendekatiku.
“Keluar kamar yuk Na, kita ke halaman depan atau belakang yang ada sinar matahari. Kita sambil mengudap pesanan yang kamu minta. Mama bawain semua loh. Walau aneh-aneh tapi alhamdulilah dapet.” Mama menarik tanganku untuk mengikutinya.
Aku tidak dapat menyembunyikan kebahagiaanku hanya dengan melihat makanan yang dibawa mama. Selain jagung dan singkong rebus, ada juga asinan kedondong, manggis dan terutama rujak!
“Makasiiiih maaa, ya ampuuun banyak banget rujaknya.” Tanganku bersiap mengambil rujak tapi mama menepisnya secepat kilat.
“Makan dulu itu jagung atau singkong rebus kalau kamu gak mau makan nasi! Jangan langsung makan rujaknya. Kasian itu perut.”
Dengan bibir merengut, aku mengikuti langkah mama ke halaman samping. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menghabiskan singkong dan jagung rebus satu piring itu. Sebenarnya aku heran kenapa nafsu makanku bisa naik sedrastis ini. Semoga saja aku tidak mempunyai keinginan untuk mengeluarkan makanan ini.
“Udah habis mah, berarti aku boleh makan rujaknya ya.” Layaknya anak kecil yang minta dimanja, aku langsung merebut piring berisi rujak dari tangan mama dan melahapnya.
Aaah enaaak banget! Ya Tuhan, ini rujaknya nikmat banget.
“Mama beli rujak di mana? Enak banget ini mah, besok mau lagi ya, kirim ke Reina pakai ojek online aja.” Kataku dengan semangat, mataku berbinar bahagia, layaknya anak kecil dibelikan es krim di siang hari bolong yang panas.
“Bumbunya mama bikin sendiri biar gak terlalu pedas jadi perutmu baik-baik aja. Kamu harus kurangi hobi makan pedas mulai sekarang Na.” Petuah mama. Aku mengangguk saja, tidak fokus pada nasehat mama.
“Ada mobil mertuamu ya. Kapan mereka datang? Kok mama tidak diberitahu sih Na? Mosok ada besan datang dari kampung mama tidak sowan?”
“Euum datang kemarin lusa. Rencana nanti sore mau ke rumah mama. Tapi mama malah udah ke sini hehe…, jadi ketemuan di sini aja ya mah?”
Mama menggeleng tanda kesal. Tapi tak urung tangannya membelai rambutku dengan lembut dan penuh senyum misterius.
“Eeh ada tante. Kapan datang tan?” Terdengar suara lelaki yang menyapa ramah mama.
Sapa ramah Rocky yang langsung mencium punggung tangan mama dengan khidmat. Mama tersenyum senang. Diusapnya rambut Rocky, dianggap seperti anak sendiri yang masih SMA.
“Eeh cah bagus, sini sini dong ngobrol sekalian. Kamu udah makan? Mau ini?” Tawar mama kepada Rocky.
“Enggak tante, makasih. Tadi aku sudah sarapan kok tan. Mau pinjam motor ke Mbak Reina, eeh ada tante jadi ngobrol dulu deh. Eeum aku panggil mama ya tan biar ketemu sekalian.” Tanpa menunggu jawaban mama, Rocky langsung melesat pergi memanggil Mama Rina dan Papa Sunoto di kamar tamu.
“Anak yang baik dan periang. Coba dia yang seumuran denganmu ya Na.” Mama membuang nafas, aku tidak membalas, toh percuma saja. Aku masih fokus pada rujak di depanku ini.
“Ma, tadi di telpon mama bilang mau bawain aku kejutan. Apa tuh ma?” Tanyaku penasaran setelah menghabiskan rujak buatan mama.
“Ah iya hampir lupa. Nih buatmu, tadi mama sempat mampir ke apotek 24 jam.” Mama membuka tas dan memberikanku satu buah kresek kecil.
Aku ambil dan segera membuka kresek kecil itu, seketika mataku membola melihatnya. Aku melihat ke arah mama yang malah tersenyum penuh arti.
“Ma, ini…” Kataku, melihat ke mama dan kresek.
“Cobalah beberapa merek berbeda, Na. Mama sengaja beli banyak dan beberapa merek berbeda. Coba gih sekarang.”
Aku tidak mampu berkata-kata, dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, aku mengambil tiga buah test pack berbeda merek dan segera berlari ke kamar mandi untuk mencobanya.
Tidak butuh waktu lama, tidak sampai sepuluh menit aku sudah keluar dari kamar mandi membawa tiga alat itu. Ketiganya menunjukkan hasil yang sama, dua garis! Aku hamil! Ya Tuhan, syukur alhamdulilah, aku hamil! Semoga kehamilanku ini mampu merekatkan hubungan pernikahanku dengan Mas Alan, karena ada darah dagingnya di rahimku.
“Mamaaa…” aku berlari menuju mama dan langsung memeluknya, heboh. Aku berjingkrak, mengajak mama untuk ikut melompat.
“Reina ada apa nak? Kenapa kamu melompat-lompat begitu?” Tanya Mama Rina. Karena terlalu bahagia aku sampai abai pada sekeliling. Ada Mama Rina dan Papa Sunoto juga Rocky di belakangku, ketiganya melihatku dengan heran.
Aku melepaskan pelukanku di mama, beralih memeluk Mama Rina. Berharap kebahagiaanku menular padanya.
“Ma, aku hamil ma. Aku hamil.” Usai berkata itu, aku malah menangis, tapi ini adalah tangis bahagia. Untuk pertama kalinya setelah menikah, aku meneteskan air mata kebahagiaan, bukan lagi air mata kesedihan.
Tiba-tiba terdengar bunyi barang jatuh berdebum beradu lantai.
“Apa? Kamu hamil?” Kemudian terdengar suara Mas Alan yang bertanya.
*