Kemampuan Aneh

2262 Words
Liam mengunci pintu di belakangnya. Ia bahkan turut menarik sofa untuk menjadi penghalang lainya. Iya, dia tahu. Itu tindakan bodoh. Perempuan yang tadi mengejarnya bukan manusia biasa. Ia bukan saja mampu berlari secepat kilat, tapi juga bisa merobohkan dinding mall. Beruntung Liam bisa kabur. Jika tidak maka pastilah dia akan turut diseret oleh polisi. "Gene!" serunya. Ia menyusuri lorong. Derap sepatunya terdengar jelas karena keheningan yang terlampau kuat. Berhenti di depan pintu kamar Gene. Sepi. Tidak suara lagu ataupun ketikan. Akan tetapi dia yakin bahwa Gene sudah pulang. Ini telah memasuki pukul enam. Gene juga tidak punya kegiatan sekolah lainya, jadi sudah semestinya dia ada di rumah. "Kakak?" Liam menoleh, menemukan Gene yang sudah dalam balutan pakaian santai. Di tangannya ada beberapa bungkus jajanan. "Mata kakak kenapa?" Tersadar lah dia akan hal yang seharusnya dia sembunyikan. Namun ini sudah terlanjur. Jika dia menutupi, maka Gene akan lebih mudah curiga. "Ah ini.." Liam mengusak matanya. Bermaksud menutupi pandangan Gene lebih lanjut. "Mata kakak sepertinya iritasi." "Itu tidak merah." Jantung Liam langsung berdetak tak karuan kala Gene memajukan wajah. Mendongak untuk melihat lebih jelas kondisi matanya. "Coba aku lihat lagi." "Ini bukan apa-apa." Liam beranjak. Gene mengikutinya hingga ke dapur. Mau tidak mau Liam memutar isi kepala. Ia harus membuat kebohongan. "Kakak mencoba lensa kontak Annie. Mungkin menurut kamu ini sangat buruk." "Bagaimana aku bisa menilai kalau kakak tidak memperlihatkannya." "Tadi kamu sudah melihatnya." "Belum." Liam menarik nafas. Menghembuskan perlahan-lahan udara keluar dari hidungnya. Ini bukan masalah. Ia membatinkan kalimat serupa di dalam hati. Berbalik kemudian begitu merasa percaya diri. "Jelek kan?" Netranya dan Gene bertemu. Jujur ia menjadi gugup. Sorot Gene tidak sehalus kulit wajahnya. Sebaliknya, itu setajam belati. Siapapun yang mendapatkannya lebih mudah terserang oleh ketakutan daripada terpesona. "Ungu? Kakak serius?" Jantungnya mencelos. Ungu? Tidak mungkin. Tadi masih hijau. Liam buru-buru mengeluarkan ponselnya. Berkaca pada kamera yang ada. Gene benar. Iris matanya kini bewarna ungu. Memikirkan proses perubahannya telah membuat Liam tersiksa. Dia benar-benar berubah menjadi abnormal. "Tapi itu indah. Sesuai benar dengan ketampanan kakak." Gene beranjak pergi. Liam menangkap ketidaksukaan tercurah padanya. Jadi dia merasa sakit hati. Namun masalahnya, ia tidak mengerti apa yang membuat Gene bersikap begitu. Apa dia membuat kesalahan? Satu-satunya yang mungkin adalah perubahan dirinya. Gene bisa jadi terbebani oleh pikiran negatif. Sementara itu dia tidak kunjung menjelaskan. Gene sudah pasti berakhir kewalahan. Tapi mau bagaimana? Liam tidak tahu cara menjelaskan keanehannya "Internet, benar." Liam membuka internet. Itu adalah tempat yang penuh jawaban. Jadi dia menaruh banyak harapan. Ia mengetikkan cepat tentang perubahan iris mata, otot, tinggi dan bentuk tubuh. Semuanya memungkinkan, tapi tidak dalam satu malam. Apalagi hitungan menit. Semakin jelas kini bahwa dia memang aneh. Parahnya keanehan tersebut telah diincar oleh orang asing. Ia harus menyelamatkan diri, tapi keanehan ini menjadi penghalang. Juga kelihatannya daya tarik bagi mereka. "Kak, aku keluar." Gene melewatinya. Setelan yang ia kenakan biasa saja. Hanya kaos putih berbalut cardigan merah, skinny jeans dan sepasang boot hitam Meski begitu Liam tidak bisa menahan kekhwatiran. Kebanyakan remaja putri di Kota Wrimington bertindak lebih dewasa dari umurnya. Mereka bukan saja minum-minum atau melakukan s*x bebas, tetapi juga mengkonsumsi narkoba. Gene sama sekali tidak pernah tertangkap untuk hal itu. Perilakunya selama ini juga membenarkan. Tapi Liam tidak pernah menutup mata untuk sebuah kemungkinan. "Kamu mau ke mana?" "Ke depan." Netra Gene lalu menusukkannya dalam. "Kakak aneh." Tubuh Liam merosot ke lantai. Ia mengusak kasar rambutnya. Gene sudah mempermasalahkan keanehannya. Bagaimana dia harus bertindak? Dia sendiri belum mengerti keanehannya. Perempuan tadi juga seperti dirinya. Telah berubah dari yang sebelumnya. Namun Liam tidak yakin mereka akan sama. Kekuatan. Liam teringat akan perbuatannya tadi sore. Ia bahkan tidak mendorong perempuan itu, namun kenapa bisa terlempar begitu jauh. Dari perkiraannya itu mungkin 100 meter. Gila sekali. Dia sudah seperti hulk. "Mungkin tadi kesalahan." Liam pergi ke kamarnya. Itu adalah tempat paling bagus untuk eksperimen. Pertama-tama ia mencoba mengangkat ranjang. Dan itu berhasil bahkan hanya dengan satu tangan. Karena terkejut ia sampai menjatuhkannya. Seolah tertimpa besi, ranjang tersebut pun patah. "Kak Liam!" Suara Alex terdengar jelas datang dari pintu utama. Liam buru-buru keluar. Mengunci pintu kamarnya agar tidak dilihat oleh siapapun. "Ada apa?" sergap Axel begitu dia membuka pintu. "Apa yang jatuh?" "Ah itu..itu…" Kerenyitan di dahi Alex kian membebaninya, tapi Liam belum menemukan jawaban yang tepat. Dia tidak bisa asal menjawab. Alex ini pria. Pikiran logisnya kuat. Jika kebohongannya kentara, maka dia akan tertangkap basah. "Itu?" tuntut Alex. "Kucing." Liam mengangguk sendiri. Membenarkan kebohongan yang ia buat. "Iya kucing. Tadi naik ke pantry terus menjatuhkan panci." "Masa sih? Tapi yang aku dengar suaranya sangat besar. Itu tidak nyaring seperti kaleng." "Tunggu.." Liam mendadak ingat. Anak ini kenapa bisa di sini? Tadi Gene bilang ke depan. Itu merujuk rumah Alex, kenapa Alex malah datang ke rumahnya? "Kamu tidak pergi bersama Gene?" "Gene tidak ada di rumah?" Alex malah bertanya balik. Liam menjadi panik. Sebelumnya sih sudah pernah terjadi kejadian semacam ini. Namun perbedaannya sekarang dia tengah diincar. Bisa saja Gene juga ikut ditargetkan. Liam menepuk dahinya. Tuh kan dia jadi lupa. Padahal tadi niatnya sepulang kerja adalah meminta Gene tinggal sementara bersama Annie. Kepanikan malah membuat dia memikirkan cara menyelamatkan rahasianya. "Mata kakak kenapa? Warnanya kok merah?" "Merah?" Liam menoleh kanan dan kiri, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk bercermin. Alex yang mengerti memberikan ponselnya. "Pinjam sebentar ya." Liam membawanya masuk. Alex tanpa diminta turut mengekori. Mereka lalu berhenti di ruang TV. Duduk berhadapan di sofa yang tersedia. Seperti kata Alex. Iris matanya saat ini berwarna merah pekat. Perubahannya juga sama seperti yang tadi. Hanya dalam hitungan menit. Kemustahilan yang ia junjung lama-kelamaan terpatah. Ini semua telah menjadi kenyataan. "Iritasi mungkin. Coba dikasih obat tetes mata sana." "Ya mungkin saja." Liam mengembalikan ponsel Alex. Ia mengusap wajahnya. Frustasi sudah akan apa yang terjadi. "Cairan apa sebenarnya yang ada di dalam suntikan itu? Kenapa tubuhku menjadi seperti ini?" "Aku mau membeli pizza, kakak mau sekalian?" "Burger saja." Dia belum mengisi perutnya. Mengingat keributan di dalam benakknya ia kira dia tidak akan memasak. Jadi dia memesankan untuk Gene. "Aku akan pergi membelinya. Mungkin sepuluh atau lima belas menit." Liam mengangguk, menyetujui. "Al, tutup pintunya kembali." Ia berteriak kala tersadar. Alex langsung menyambut keras. "Oke." Kepergian Alex membuat Liam beranjak. Ia akan mencoba sekali lagi. Memastikan bahwa dia memang memiliki kekuatan di samping perubahan anehnya. Ranjang mungkin terlalu ringan. Jadi kali ini Liam mencoba mengangkat sofa. Seperti sebelumnya. Ia mampu melakukan itu hanya dengan satu tangan. Karenanya Liam kemudian mencoba mengangkat sofa sebrang dengan tangan yang lain. Bukan saja berhasil. Tapi dia tidak merasa sakit sama sekali. Dua sofa tersebut justru seolah meringan bagaikan kapas. "Ini mustahil." Liam menuju dapur. Ia membuka pintu belakang dan menguncinya kembali. Tidak masalah dengan pintu depan. Alex akan datang kembali. Dia pasti akan menjaga rumahnya tanpa diminta. Dua ratus meter dari perumahannya adalah hutan lebat. Di dalamnya masih banyak terdapat pohon-pohon besar dan tua. Jarang sekali orang mengusiknya karena rumor-rumor pembunuhan di dalamnya. Nah itu lah tempat yang tepat untuknya. Dia butuh ruang untuk membuktikan kekuatannya. Itu jelas harus sepi. Dia tidak mau orang-orang beteriak histeris atau memviralkan keanehannya ke publik. Liam mengangkat pandangan. Pohon pinus di depannya memiliki tinggi yang luar biasa. Jadi sudah jelas beratnya juga tidak main-main. Tangannya menapak pada kulit kayu. Itu bahkan tidak pas dalam tangannya. Sedikit mustahil jika ia bisa mencabutnya. Liam menutup mata dengan helaan berat. Bertekad untuk tetap melakukannya. Ia mengangkat perlahan-lahan. Pohon itu tercabut dari tanah. Burung-burung yang tinggal di atasnya mengepakkan sayap pergi. Berteriak-teriak nyaring hingga benaknya kian pusing. Kekuatannya bukan main-main. Spontan ia membuka mata. Teringat akan sosok berambut coklat yang menyuntikan cairan padanya. Tangan pria itu seperti besi berton-ton. Apakah sebelumnya dia juga menerima suntikan? Lalu pertanyaan lebih pentingnya, untuk apa mereka menciptakan cairan semacam itu? Liam menancapkan kembali pohon di tangannya ke tanah. Ada bekas gundukan di sekitarnya. Ia berharap tidak ada orang yang mengira pohon itu tercabut. Masuk lebih dalam ke hutan. Kali ini ia menemukan batu-batu besar di atas padang rerumputan. Bukan mencoba mengangkatnya saja. Liam melemparnya pelan. Tapi hasilnya luar biasa jauh. Debaman kerasnya sampai mengguncang jantungnya. Burung-burung gagak berterbangan dari sarangnya. Heboh bukan main. Ia pun keluar hutan. Takut pemburu yang mengincar burung-burung itu menemukannya. Sebenarnya kurang mungkin, tapi siapa tahu. Liam merogoh saku. Sepertinya masih ada beberapa lembar uang. Ia bisa membeli lensa kontak sekarang untuk menutupi perubahan matanya. Mendadak dia teringat lagi. Perempuan tadi sore itu dapat bergerak cepat. Ia jadi penasaran apa dia juga bisa melakukannya. Tadinya ia kira mereka berbeda, tapi semakin ke sini dia yakin bahwa suntikan cairan tersebut telah membuat mereka sama. Ia berlari seperti biasa. Di detik berikutnya kecepatan meningkat. Apa yang ia lalui hanya seperti angin lewat. Saat ia melemaskan bahu karena lelah ia kembali berlari normal. Segera ia menghentikan langkah. Dia benar-benar berubah. salahnya apa ini hal bagus atau tidak? Itu yang Liam takutkan. Klakson mobil bersahut-sahutan mengambil perhatian Liam. Ia memperhatikan sekitarnya. Baru sadar bahwa dia telah berada di tengah-tengah kota. Tapi bagus. Ini memang tujuannya. Ke kota untuk membeli softlens. Namun dia tidak bisa pergi ke toko yang bagus. Uangnya mungkin tidak akan cukup. "Ada yang bisa saya bantu?" Seorang perempuan berambut ikal menyapanya kala ia masuk. "Ah itu saya.." Liam menundukkan wajah. Mengusak-usak matanya di waktu yang sama untuk menutupi warna iris matanya. "Saya membutuhkan softlens warna coklat. Sangat coklat." Dia menyadari bahwa kini dirinya telah dicap aneh oleh si penjaga toko, namun dia tidak bisa peduli. Keanehannya ini yang paling penting untuk diperhatikan. "Silahkan." Liam meraihnya. Ia berbalik, mengindari sudut yang memiliki kamera cctv dan langsung memakai. Si penjaga ingin mengatakan aturannya, tapi dia sudah tertegun oleh aksi Liam yang terlihat sangat membutuhkan softlens. "Berapa harganya?" Liam berbalik, memperhatikan matanya yang terpantul di cermin yang ada di counter. Sempurna. Itu terlihat seperti warna mata aslinya. "Dua puluh dollar." "Dua puluh ya?" Liam mengeluarkan semua uangnya. Menghitung-hitung apakah itu cukup dua puluh dollar. "Lima belas saja." Ia mengangkat pandangan. Mencari keseriusan dari wajah di depannya. "Diskon," kata perempuan itu bersama seulas senyum manis. "Khusus untuk anda." "Terima kasih." Liam memberikan lima belas dollar. Menyakukan sisanya ke dalam saku. "Ini tempat dan cairannya." "Terima kasih." Perempuan itu masih tersenyum. Liam mulai merasa ganjil, namun dia tidak melanjutkannya. Toh dia akan segera keluar. Plang besar di sebrang jalan menyambut. Ia terkejut karena itu memberikan identitas kota yang ia pijak sekarang adalah Brimington. Perpustakaan putih adalah lambang Brimington. Jadi Liam berjalan untuk mencarinya. Ia menemukan itu dengan mulut terperangah. Kecepatannya tadi sungguh luar biasa. Ia sampai bisa berada di Brimington yang jelas-jelas berjarak 250 km dari Wrimington. Mengingat jauhnya dia sekarang, membuat dia terpacu untuk segera kembali. Pertama-tama tentunya ia harus menuju tempat sepi. Setelahnya barulah ia berlari sekuat-kuatnya. Kali ini dia memperhatikan saksama sekitar. Tidak mau kelewatan dari tempat seharusnya. Hutan awal menjadi pemberhentiannya. Ia membenahi rambutnya yang acak-acakan oleh terpaan angin. Setelah cukup rapi ia berjalan kembali ke rumahnya. Gene telah menunggu di depan teras. Mondar-mandir dengan raut cemas. "Kak?" Gene setengah menjerit melihatnya. Liam tidak membalas sama sekali. Ia ingat reaksi Gene akan perubahan dirinya. Jujur, itu menyakiti hatinya. Tapi ini bukan pembalasan. Dia tidak tahu cara menjelaskan perubahannya pada Gene. Bukannya dia tidak mau terbuka, tapi dia sungguh masih kacau. Perubahan yang ia dapati di luar nalar manusia. Bisa-bisa Gene akan terbebani. Jadi untuk sesaat ia kira mereka tidak perlu saling berbicara. Lagipula ia mulai kewalahan menenangkan suara-suara di kepalanya. "Ayo masuk." Liam berjalan mendahului. Gene menjadi tersentil dibuatnya. "Kakak tidak mau makan?" Tangan Liam berhenti. Hampir saja ia memutar knop pintu kamarnya. "Tadi Alex juga telah memesankan burger untuk kakak." "Kakak sudah makan di luar." Liam memutar knop. Begitu masuk ia langsung menutup rapat pintu di belakangnya. "Maaf." Kakinya tidak bisa beranjak. Suara Gene sudah sangat rendah. Itu menyentuh tepat pada hatinya. "Aku mengalami hari buruk di sekolah. Tanpa sengaja aku mungkin melampiaskannya pada kakak. Maaf." Liam kira ia akan memberi nasehat besok, tapi kala kakinya bergerak suara Gene terdengar lagi. "Kakak menjadi keren. Aku suka. Maksudku, itu bukan masalah. Kakak tetap menjadi kakak." "Tidurlah, Gen. Ini sudah malam." Itu saja yang mampu dia katakan. Setidaknya bisa membuat Gene tenang. "Kakak juga. Selamat malam." Liam menyeret kasur ke sisi yang lain. Ia tidak memiliki waktu untuk membereskan patahan ranjang. Ia sudah mengantuk, lelah dan kesal. Jadi sudah semestinya dia mengistirahatkan tubuh dan otak. Lebih dulu ia melepas kemejanya. Melempar asal ke sisi ruangan yang lain. "Aku sudah meminta maaf pada kakak." Ia tercenung. Itu suara Gene. Kenapa bisa sampai ke telinganya? Ia menggeleng. Mengira bahwa itu adalah suara di dalam kepalanya saja. "Bagus." Kali ini suara Alex. Lebih jelas dan jernih. Liam menjadi terdiam. "Tapi kakak sepertinya benar-benar marah." "Kau sudah meminta maaf dengan benar kan?" "Eumm… sepertinya tidak." Liam tidak tahan lagi. Ia bangkit. Hendak memeriksa kamar Gene. Pintunya sudah terkunci. Tapi dia masih bisa melihat cahaya terang di dalam sana. Gene belum tidur. "Tidak? Apa maksudnya? Kau tidak meminta maaf atas respon burukmu terhadap perubahannya itu?" "Kau bilang itu topik sensitif untuk kakak. Jadi aku takut mengungkitnya." Sekarang sudah ada konfirmasi nyata bahwa Gene tengah berbincang dengan Alex. Liam kembali ke dalam kamarnya dan ia masih mendengar percakapan keduanya. Persetanan dengan kemampuan baru tersebut. Ia mengeluarkan kapas dari dalam bantal, menyumpal banyak ke telinganya sampai suara-suara itu terdengar begitu kecil. Untuk pertama kalinya Liam tidak menerima apa yang terjadi padanya. Padahal saat kematian orangtuanya ia masih bisa demikian. Berpikir bahwa itu adalah cara Tuhan untuk menjadikannya lebih baik lagi. Tapi kali ini apa? Kemampuan luar biasa yang seharusnya bisa menjadi gerbang kemudahan hidupnya justru tidak bisa ia terima. Ia mau menjadi orang biasa saja. Tentunya tidak menjadi incaran orang asing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD