Aneh

2294 Words
Liam beranjak dari ranjangnya menuju dapur. Ia akan memasakkan sarapan untuk Gene dan dirinya sendiri. Sebenarnya dia ingin tidur, tapi sejak kembali kantuk sedikit pun tidak terasa. Ia malah menghabiskan sisa waktu menuju pagi dengan menonton televisi. Mengabaikan keanehan kecil, Liam membuka kulkas. Ia terkejut karena isinya hampir tandas. Ah iya. Ini telah akhir bulan. Liam mengambil dua butir telur, sosis dan filet ayam. Ia akan membuat daging panggang isi ayam, telur dadar, sosis goreng dan salad sayur. Sepertinya itu sudah cukup untuk mengawali pagi. “Kakak, di mana sepatuku?” Gene berteriak karena tidak menemukan apa yang ia cari. Itu adalah hal biasa setiap hari yang akan Liam ladeni. “Ada di kolong ranjangmu, Gen.” Liam tidak kalah berteriak. Kalimatnya langsung sampai sempurna ke telinga Gene. Ia memegang ranjang dan merunduk. Benar, sepatunya ada di sana. Selang beberapa menit Liam telah melihat Gene rapi dengan sweater lilac dan jeans panjang yang menampakkan kaki jenjangnya. Daripada dokter, Liam pikir Gene lebih cocok menjadi model. Lihat! Bahkan wajah polosnya yang hanya berhias lip tint pink itu telah tampak sempurna. Bisa dibilang, Gene adalah dewi kecantikan alami. “Kakak kenapa melihatku begitu?” Gene menarik kursi dan duduk di atasnya. “Apa ada sesuatu di wajahku?” Liam menggeleng, Kemudian lanjut memindahkan telur dadar dari teflon ke piring. “Lain kali jangan menyusul seperti semalam. Di gang menuju Stasiun Seston itu banyak orang-orang berbahaya.” Alis tebal Gene tampak naik menggeser beberapa helai poninya. “Maksud kakak? Gang itu berbahaya? Jangan bercanda. Kakak sendiri sering melewatinya.” “Itu kesalahan.” Liam membawa kedua piring yang telah berisi ke meja, ia kembali lagi ke pantry, mengambil dua gelas smoothies strawberry dan barulah ikut duduk di hadapan Gene. “Sudah, ayo makan.” Gene meraih sendok dan garpu. Ia memotong sosis menjadi bagian kecil dan membawa beberapa ke mulutnya. Matanya berkedip beberapa kali melihat sang kakak. Apa dia salah melihat atau memang tidak sadar sebelum ini? “Kak, coba kamu berdiri.” “Kenapa?” “Cepat, Kak!” rengek Gene. Mau tidak mau Liam berdiri. Gene tercengang. Seingatnya sang kakak tidak sebesar ini. Demi perbandingan dia pun ikut berdiri. “Ada apa?” Liam sungguh tidak paham tatapan meneliti sang adik. Apalagi dia terlihat mengulurkan tangan mengukur antara tingginya ke badan Liam. “Semalam aku masih sebatas d**a kakak. Kenapa sekarang hampir di perut. Apa kakak bertambah tinggi dalam semalam?” “Konyol sekali.” Liam mendudukkan kembali dirinya. Gene pula masih meneliti. “Gene, hentikan. Kamu harus sarapan.” Gene merengut kesal seraya meraih kembali sendok dan garpunya. “Iya-iya.” Meski demikian mata Gene tetap tidak lepas dari Liam. Dia ingat. Kakaknya memang tidak sebesar ini. Otot-otot lengannya tampak sangat kencang dibalik kaos putih yang dia kenakan. Ganjil sekali mengingat Liam tidak pernah pergi ke Gym untuk itu. Meski jadi lebih gagah, tapi apa ini benar-benar kakak? *** “Justine bagaimana dengan orang-orangmu?” Ia menarik kursi kayu hingga menimbulkan derit pelan. “Sama.” Lemah suara tak berdayanya menular kepada pria di depannya. "Resepnya tidak lagi bekerja. Padahal dulu berhasil hanya dalam sekali percobaan.” “Kau malah memikirkan itu.” Justine menyandarkan diri ke punggung kursi. “Lima dari orangku telah mati pagi ini. Satu yang tersisa masih kejang-kejang. Dan yang satu lagi pasti juga telah meregang nyawa. Sekarang, bagaimana jika kematian mereka sampai di tangan dokter? Berita pasti akan meledak.” “Gidon telah memutuskan bahwa semua mayat harus segera dikubur. Jangan biarkan otopsi terjadi. Soal tuntutan keluarga dia telah mempersiapkannya.” "Apa mungkin sebenarnya dia telah tahu ini akan terjadi? Dia tampak sudah mempersiapkannya." Kean menarik cangkir kopinya. “Dia kepalanya. Tentu saja dia lebih tahu.” Meniup pelan pinggir cangkir, ia lalu menyesapnya cepat. Tidak seperti biasa di mata Justine. Kean biasanya tampak tenang dan menikmati kopinya. Namun kali ini dia tampak sembarangan. Bukankah itu akan sama seperti isi kepalanya? “Apa lagi yang terjadi pagi ini?” Ia meletakkan cangkir kembali ke meja. “Keamanan kita mulai terancam. Di sisi lain pelindung belum terkumpul. Gidon akan marah besar.” Sudut bibir Justine pecah. “Kau takut?” Yang benar saja. Kean berada di atasnya. Berdasarkan itu maka keberanian Kean juga melebihinya. Jadi begitu lucu sekarang kalau Kean takut. Kean mencebik kasar akan ejekan Justine. Pria ini tidak akan mengerti meskipun dia bercerita. Yang bisa ia lakukan hanyalah beranjak. “Kirimkan data-data anak buahmu itu kepadaku secepatnya.” Tanpa memerlukan jawaban Kean melangkah pergi, meninggalkan Justine di kursi seorang diri. Sudut bibirnya tertawa. “Dia benar-benar takut. Lucu sekali.” Justine melambai pada pelayan dan memesan secangkir cappucino panas. Sembari menunggu ia bersandar malas di kursi dengan mata pada ponsel. Sebuah panggilan masuk. Menjerit-jerit ingin diangkat segera. Ia menghela kasar sebelum akhirnya menempelkan ponsel ke telinga. “Ada apa?” sentaknya tidak senang. “Justine aku minta maaf. Saudaraku telah meninggal satu hari yang lalu dalam kecelakaan, jadi dia..” Sisanya tidak masuk ke telinga Justine. Yang ada di kepalanya kini hannyalah wajah pria bodoh itu. Dia bukan saudara Eric. Bukankah sudah jelas? Meskipun berpakaian hitam ia membawa tas samping tebal. Kebingungan sesaat ada di wajahnya, tak lama menjadi tenang, lalu kemudian kebodohan menguasai. Dia bukan bagian HA. Ponsel dan tangannya merosot jatuh. Mereka kecolongan. Itu bisa jadi salah satu agen mata-mata musuh. Jantung Justine berdebat waspada. Ia memungut ponselnya yang sedikit retak dan beranjak. Membayar pada kasir, kemudian melangkah terburu-buru ke parkiran. Mobil SUV hitam yang ia kendarai membelah cepat jalanan kota Wrimington. Ia menghubungkan panggilan kepada rekannya. “Apa kau memiliki dokumentasi isi kereta semalam?” Di seberang Willy menyembur galak. “Kau pikir kita akan melakukan apa hingga butuh dokumentasi?” Astaga, iya juga. Justine memukul kesal dashboard. Tidak ada data pria itu untuk menjadi bukti mengajak rekannya mengejar. Dia terpaksa bekerja sendiri dengan sedikit ingatkan. Sialan! Pria itu muncul dari gang kotor. Tas kerja? Mungkin saja dia baru pulang dari kantor. Tempat tinggalnya barangkali juga di sekitar stasiun. Dering telepon masuk. Nama Jessi tertera di sana. Justine menekan ikon hijau dengan cepat. “Justine, aku selamat.” Kelegaan memenuhi dadanya. Satu anak buahnya berhasil. Ini akan membantu dia mendapat nama di hadapan Gidon. Tapi kelegaan itu memudar saat ia memikirkan wajah Liam. Kalau Gidon tahu dia memasukkan orang sembarangan hingga ke centralium maka dipastikan nyawanya tidak akan selamat. Dia harus mendapatkan Liam. Bagaimanapun caranya. “Jessi, temui aku di stasiun Seston.” *** Liam membawa tasnya keluar. Gene telah berangkat lebih awal bersama Alex. Anak itu adalah tetangganya. Sahabat lama Gene dan sepertinya juga menyukai Gene. Sejauh ini Liam tidak berniat ikut campur urusan cinta Gene, jadi dia membiarkan keduanya berinteraksi. Lagi pula anak bernama Alex itu cukup tampan dan memiliki kepribadian menyenangkan. Ia tidak keberatan saat Alex berniat menjadi tukang antar jemput Gene. Dan lagi tidak mungkin bagi Gene berjalan kaki ke sekolah. Liam meringis tiba-tiba meratapi nasibnya yang tidak memiliki mobil. Dirinya sendiri masih dapat dia toleransi, tapi tidak dengan Gene. Kasihan gadis itu tidak pernah menaiki mobilnya sendiri. Mungkin dia harus mulai menabung hari ini. Belajar dari pengalaman. Liam tidak lagi melalui gang semalam meski itu jalan terdekat baginya menuju EA. Ia terpaksa melewati jalan depan, berputar sejauh 200 meter menuju EA. Annie Jhonson telah berada di kantor pagi ini ketika pintu dibuka. Ia tersenyum gembira melihat Liam, sesaat saja sebelum matanya berkedip beberapa kali. Apa itu benar-benar Liam? Liam Hander? Tubuhnya kenapa tampak segagah itu? Apa Annie salah melihat atau bagaimana? “Hei.” Liam menarik kursinya, dan meletakkan tasnya di sudut kaki meja. “Ada apa denganmu?” Annie berkedip cepat dan kemudian tersenyum canggung. “Tidak ada. Aku hanya sedikit terkejut.” “Terkejut?” Liam menelisik mata Annie. “Terkejut akan apa?” “Tubuhmu cepat sekali bertumbuh,” ujar Annie langsung. “Padahal seingatku kau semalam masihlah Liam dengan tubuh kaku. Pagi ini tinggimu mencapai pintu dan apa itu? Otot-ototmu tampak kencang. Aku yang tidak pernah sadar atau ini memang baru terjadi?” Kalimat-kalimat Annie tidak jauh berbeda dari Gene. Sudah dua orang dengan kalimat yang sama. Dengan begini Liam mulai memikirkan tubuhnya. Bola matanya bergeser ke komputer yang belum menyala. Pantulan wajahnya di sana. Tidak ada yang berbeda. Dagunya tetap segi empat, pipinya tampak kencang eh tunggu. Liam menyentuh rahangnya. Kenapa rasanya lebih lebar dari biasanya? Mungkinkah ini ikut menyesuaikan tubuhnya yang kata Gene bertambah besar. Apa-apaan sih? Tidak masuk akal sekali. Liam menepis pikirannya dan memiliki menyalahkan komputer. Melihat Liam tampak dingin Annie jadi merasa bersalah. “Kau tersinggung ya?” “Tersinggung karena apa?” Liam tertawa pendek. “Pendapatmu adalah pendapatmu. Aku tidak bisa menghentikannya.” “Benarkah?” Liam menoleh kesal pada Annie. “Iya, An. Aku tidak tersinggung.” Senyum menghiasi bibir Annie. “Oh iya, aku tadi membuat roti panggang untukmu.” Annie merogoh tasnya, menarik kotak ukuran sedang dan memberikannya kepada Liam. “Terima kasih.” Liam membukanya. Benar-benar roti panggang. Aroma daging asap dan saus menggoda berkobaran masuk ke indra penciumannya. “Liam, tolong aku.” Rengekan Freya di seberang membuat leher Liam menoleh. Freya menunjukkan tumpukan kertas di bawah kakinya dengan dagu. “Tolong bawa ini ke gudang.” Ia beranjak. Annie tidak mau hasil kerjanya sia-sia, jadi dia menarik tangan Liam. Matanya melotot karena tangan Liam terasa seberat besi ribuan ton. Gerakan sekuat tenaganya tidak memberi efek apa-apa. Liam sendiri tampak heran akan Annie. Dia terlihat ingin menarik tangannya, namun tidak memberikan tenaga sedikit pun. Apa Annie sedang bermain? “Ihhhh!” Akhirnya Annie hanya bisa mengentak kesal. Ia meraih roti panggang dan berjinjit untuk menyuap kepada Liam. Meski demikian ia terperanjat menyadari tinggi Liam sudah sangat jauh. Sebelum ini dia sebatas leher Liam. Bukan hal sulit jika ia ingin menjejali sesuatu ke mulut Liam. Tapi sekarang ia turun jauh ke bawah d**a bidang Liam. “Liam, come on. Jangan berdrama. Bos sebenar lagi datang,” keluh Freya melipat malas tangannya. Liam merundukkan tubuh, memberikan kesempatan Annie untuk memasukkan roti panggang ke mulutnya. Sembari mengunyah Liam menuju Freya. Perempuan yang tampak malas itu kini melebarkan mata. “Apa-apaan ini? Sejak kapan kau jadi gagah begini?” Mengabaikan kalimat Freya, Liam merunduk untuk mengangkat tumpukan kardus berisi kertas HVS. Biasanya dia mulai mengeluh dengan lima kardus, tapi kali ini dia membawa sepuluh kardus sekaligus di depan dadanya menuju gudang. Pegal tidak terasa sama sekali. Yang ia rasakan hannyalah ringan bagai kapas. Liam menatap kedua tangannya. Apa yang terjadi dengan tubuhku? Saat Liam kembali hampir setiap meja telah berisi. Semua pasang mata menyerangnya. Sama-sama tidak percaya akan sosok Liam kaku yang kini menjadi gagah dan menggoda. “Apa kau benar-benar Liam?” Bos EA yang bergabung di dalam juga tidak ketinggalan. Pegawainya ini yang paling dingin daripada yang lain. Tubuhnya memang tinggi dan tegap sejak awal. Tapi sekarang begitu berbeda. Dia seperti pengawal istana. Bertubuh besar, tegap dan tampan. Ini melampaui semua ketampanan dan kegagahan yang ada di dalam EA atau bahkan hampir seluruh kota. Tentu saja dia terkejut. Liam menggunakan lelucon untuk penjelasan. Dia bilang mungkin dia mendapat kekuatan ajaib. Orang-orang tidak percaya, tapi mereka tidak bertanya lebih. Hanya mulai tergoda dan beberapa merasa iri. Begitu saja. “Aku benar-benar merasa kau bukan Liam,” ujar Annie saat berjalan bersamanya keluar dari ruangan. Hari ini dia dan Liam sama-sama tidak mengambil lembur. Liam ingin menenangkan diri sedangkan Annie butuh istirahat. “Ya sudah, anggap saja begitu.” Liam juga merasa ini bukanlah dirinya. Hampir sepanjang jam dia memperhatikan tubuhnya. Otot-ototnya semakin mengencang, wajahnya melebar menyesuaikan, dan dia menyaksikan iris mata coklatnya perlahan menjadi sedikit biru kemudian semakin biru hingga kini berakhir hijau. Dia ingin menutupinya, tapi Annie telah melihat. Perempuan itu mencoba biasa saja. Meski jelas Liam melihat ketakutan menguasai matanya. Tentu saja. Siapa yang tidak takut melihat dia menjadi sesempurna ini dalam satu malam. Bagaimana reaksi Gene jika melihat ini? Liam memejamkan erat-erat matanya. Mengusir ketakutan yang bersarang di hatinya. Ia bahkan mengatakan kata-kata penenang di saat yang sama. “Kau memang aneh, tapi ini bukan hal buruk.” Matanya terbuka, bergerak kepada Annie yang tampak jauh di bawah dagunya. “Kau menjadi semakin menggoda.” Annie memutar kakinya dan tersenyum. “Ini perubahan yang sangat bagus. Benar kan?” Sudut bibir Liam ikut tertarik. “Kau benar. Dengan begini aku bisa menjadi pria playboy yang unggul.” Annie mencebik bibir. Tidak suka akan ide yang dikatakan oleh Liam. “Berhenti.” Ia meluruskan pandangan ke arah suara yang datang. Seorang perempuan tinggi dengan lekukan tegas. Rambutnya berwarna putih seperti salju. Pupil mata Liam bergerak-gerak dikejar ketakutan. Ini salah satu perempuan semalam. “Jangan sok tidak mengenaliku.” Jessi meraih lengan Liam. “Ayo.” Kaki Liam enggan beranjak, tapi dia terpikir nasib sial mungkin akan datang pada Annie jika dia tidak segera membawa bahaya itu pergi. Setelah jauh dari pandangan Annie, Liam menepis tangan Jesi. Alangkah terkejutnya karena perempuan itu terlempar jauh. Mata Liam melihat kesana-kemari kemari dengan waspada. Dia takut seseorang melihat perbuatannya dan menjadi curiga. Manusia mana yang bisa mengeluarkan kekuatan hingga seseorang terlempar 100 meter. Gila! Liam semakin yakin ini bukan dirinya. Jesi menegakkan tubuh dan membuang ludah. Sialan, meskipun sama-sama dari resep yang sama Liam lebih unggul. Ia melesat laju kepada Liam, menendang tepat ke dadanya sebelum Liam sadar. Jessi menjerit. Kakinya terasa hampir patah. d**a Liam seperti ribuan ton besi. Menyaksikan perempuan di depannya meringis dan menjerit membuat dahi Liam berkerut. Dia mengangkat tangan ke udara. “Aku tidak berbuat apa-apa.” Hujaman tajam ia terima dari manik hijau Jessi. Tunggu, Liam merasa sebelumnya manik Jessi berwarna biru. Mulutnya menganga saat pikiran itu melintas. Jessi juga menerima suntikan. Efeknya sepertinya tidak jauh dari dirinya. Manik mereka sama-sama berubah menjadi hijau. Dan kalau lama diteliti Liam memang menyadari ada perubahan lain di tubuh Jessi. Ia bertambah besar dan tinggi, lekukannya mengecang seperti yang terjadi pada ototnya. Bukankah mereka sama? Aneh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD