Berusaha Percaya

1007 Words
Terhitung mulai hari ini, kehidupan Freya telah berubah total. Untuk menghindari segala kecurigaan, dan mempersiapkan semua kebutuhan demi melancarkan niatnya memiliki Archie sepenuhnya, semalam setelah Archie mengantar Freya pulang ke hotel, gadis itu segera keluar lagi. Ia pulang ke rumah orang tuanya yang sudah lama tak ia sambangi. Fera dan Roni sangat senang menyambut kedatangan putri semata wayang mereka. "Freya ... Ya Allah nak ... kamu pulang." Fera tak bisa menutupi kebahagiannya. Ia segera memeluk putrinya itu dengan erat. Freya sebenarnya gemas ingin melepas pelukan Fera. Bukan karena apa - apa. Ia hanya tidak terbiasa melakukan hal semacam ini dengan ibunya Sendiri. Terasa aneh dan asing bagi Freya. Untung Fera tidak terlalu lama memeluknya. Dengan Roni Freya segera berjabat tangan. Roni nampak begitu bahagia pula dengan kedatangan putrinya itu. Namun ia merasa canggung untuk melakukan pendekatan yang sama pada Freya, dengan apa yang istrinya lakukan. "Training kamu sudah selesai, kah?" Fera lanjut bertanya. "Belum, masih ada satu hari lagi besok." Freya menjawab apa adanya. "Kamu sudah makan, Nak?" Fera lagi - lagi bertanya, menunjukkan perhatian yang tulus dan penuh kasih sayang. "Biar Ibuk masakin sekarang, kalau belum." "Nggak usah, Buk. Aku udah makan kok." Freya segera menjawab pula. "Sebenarnya aku pulang untuk memberi tahu sesuatu. Tolong kalian denger baik - baik ya. Karena aku nggak mau ulangin lagi nanti." Fera dan Roni saling berpandangan. Mereka merasakan sesuatu yang mengganjal dalam d**a akibat perkataan Freya itu. Namun keduanya berpikir positif. Fera mempertahankan senyumnya. "Kamu mau ngomong apa, Sayang?" Freya menarik napas dalam. "Pak ... Buk ... mulai malam ini kita pindah. Kita nggak akan tinggal di sini lagi. Nggak usah bawa apa pun kecuali uang dan juga harta benda berharga kalau ada. Tinggal aja semuanya di sini. Pakaian, dan segala kebutuhan nanti kita beli baru. "Di rumah yang baru nanti, tolong jangan sekali pun ingin tahu dari mana aku bisa dapat rumah itu. Kalau ada yang tanya, bilang aja itu warisan keluarga kita. Bilang aja leluhur kita itu kaya. Bapak Ibuk nggak usah kerja lagi habis ini, tinggal hidup enak, bahagia, menikmati masa tua. Bapak Ibu ngerti, kan?" Fera dan Roni kembali saking berpandangan. Masih belum mengerti. Masih terlalu terguncang dengan segala ketiba - tibaan. "Bapak Ibuk harus jaga rahasia ini baik - baik. Kalau di antara tamu aku -- siapa pun itu -- bertanya tentang kita, jawab sesuai dengan apa yang aku bilang tadi. Tolong hati - hati. Jangan sampai kepleset lidah. Sekali aja Bapak sama Ibuk bikin kesalahan, aku nggak akan pernah maafin kalian. Kalian ngerti, kan?" "T - tapi Freya ...." Fera berusaha menggali informasi tentang rumah siapa sebenarnya yang akan mereka tempati. Tapi Freya sudah menghentikan ucapan Fera. Padahal Fera hanya sekadar ingin tahu. Wajar jika ia curiga karena Freya tiba - tiba punya rumah. Padahal pekerjaannya hanya seorang teller bank. Dan itu pun belum terlalu lama. "Udah aku bilang, kan, tadi. Kalian nggak perlu tahu apa pun. Cukup katakan pada siapa aja yang tanya, sesuai dengan apa yang aku katakan tadi. Anggap aja ini sebagai ganti, karena kalian belum pernah bisa bikin aku bahagia, karena kita terus hidup miskin. Maka kalian harus menuruti apa yang aku mau." Fera dan Roni bungkam seketika. Tia kali Freya mengatakan tentang kemiskinan mereka, rasa bersalah yang teramat dalam segera menyergap hati. Mereka tidak akan sampai hati jika Freya sudah membahas itu. Karena mereka memang belum pernah membuat Freya bahagia. *** Mereka pindah malam itu juga. Tak ada kata pamit pada para tetangga, tanpa persiapan sama sekali. Tentu saja Fera dan Roni terkejut melihat betapa besar dan mewahnya rumah baru mereka. Mereka benar - benar khawatir, bertanya - tanya dari mana Freya mendapat ini semua dalam waktu sekejap. Pikiran mereka menuju pada hal yang tidak - tidak. Namun juga tak berani melanjutkan pikiran mereka. Karena mereka tahu putri mereka adalah wanita yang baik, hanya saja terlalu kecewa lah yang membuat sikapnya menjadi keras pada mereka selama ini. Dan mereka sudah berjanji untuk tutup mulut, dan untuk tidak bertanya - tanya. "Aku pamit dulu ya, Pak, Buk. Aku harus balik ke hotel soalnya besok pagi banget harus berangkat training. Kalian aku tinggal, silakan beradaptasi dengan suasana baru. Pakaian - pakaian baru kalian aka datang besok pagi. Ingat, kalian nggak usah ngapa - ngapain. Bersenang - senang aja. Urusan rumah semua sudah ada pembantu. Belajar hidup enak, selayaknya orang kaya. Jangan diingat lagi saat kita masih miskin." Freya lagi - lagi membuat ultimatum pada orang tuanya sendiri. Ini adalah bagian dari rencananya. Mas mungkin ia akan membahayakan rencananya sendiri dengan tidak berhati - hati. Sesungguhnya ia juga sudah mempersiapkan jawaban untuk Archie jika sewaktu - waktu lelaki itu bertanya. Padahal sebelumnya Freya pernah cerita bahwa keluarganya sangat miskin. Tapi bagaimana mereka bisa memiliki rumah yang mewah saat ini. Freya sudah mempersiapkan jawabannya. Namun di sisi lain ia juga yakin, Archie tidak akan menanyakan hal itu. Archie tipe orang yang elegan. Bukan orang yang mau tahu urusan pribadi orang lain. Palingan Archie hanya menyangka saat ini orang tua Freya sudah sukses karena kerja keras mereka. Sepeninggal Freya, Fera dan Roni sama - sama merasa canggung. Tak tahu harus bagaimana. Rumah sebesar ini. Dan semewah ini. Sebuah perubahan yang sangat signifikan. Fera menatap wastafel dengan warna nuansa emas di sampingnya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara menyalakan kerannya. Ketika ia coba, caranya bukan dengan diputar. "Woalah, Buk. Kita aja nggak bisa nyalain keran." Roni berucap seperti itu setelah melihat istrinya mencoba menyalakan kran. "Lhah, Bapak juga nggak bisa ternyata?" Fera menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kayaknya kita harus ekstra dalam proses adaptasi ini, Pak. Tapi sebenarnya Ibuk khawatir, dari mana Freya mendapat ini semua ya, Pak. Dia kerjanya kan cuman teller bank. Memang berapa sih gajinya? Dan dia kerja juga belum lama. Ibuk khawatir." "Bapak sebenarnya juga khawatir, Buk. Tapi kita nggak boleh mikir buruk. Bapak percaya, Freya itu anak baik. Pasti dia punya alasan sendiri, kenapa memilih untuk tidak memberi tahu kita tentang rumah ini. Suatu saat kita akan tahu pasti, Buk." Fera terdiam. Merasa sedikit tenang karena ucapan Roni. Tapi tetap merasakan was - was yang sama di dalam d**a.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD