"Assalamualaikum."
Freya mendelik kala tahu Archie langsung mengucap salam pada kedua orang tua Freya.
Fera dan Roni sedang sangat asyik rupanya. Fera duduk di atas karpet bulu rasfur warna abu - abu. Sementara Rori berbaring dengan menggunakan pangkuan Fera sebagai bantal.
Keduanya langsung menoleh sembari menjawab salam dari Archie.
"Waalaikum salam." Begitu tahu ada tamu, dua orang itu segera berdiri, salah tingkah. Takut Freya marah karena gaya ndeso mereka yang sampai sekarang belum bisa hilang.
Mereka menunduk. Pasrah saja jika nanti Freya marah - marah.
Roni mencuri pandang ke arah Archie. Ia mengingat - ingat karena rasanya pernah melihat lelaki yang menjadi tamu mereka malam ini.
Ia pulang bersama Freya, kemungkinan itu adalah kekasih Freya. Tapi Freya sama sekali belum pernah mengenalkan kekasihnya pada Fera dan Roni. Freya baru pertama kali ini membawa kekasihnya pulang.
Lalu di mana mereka pernah melihat Archie?
"Pak ... itu bukannya Archie Virendra, kekasihnya mendiang Raya?" Fera justru refleks bertanya seperti itu, begitu ia ingat siapa gerangan orang yang datang ke ruma mereka ini.
Roni langsung menepuk keningnya sendiri. "Astaga ... bener, ini Archie Virendra. Perasaan kok kayak pernah lihat. Ternyata lihat pas pemakaman Raya."
Melihat betapa polos dan terus terangnya Fera dan Roni, itu membuat Freya semakin mendelik. Semakin marah. Ia menatap tajam kedua orang tuanya sampai Fera dan Roni menunduk dalam lagi saking takutnya.
Tapi reaksi Archie justru berbeda. Naturalnya Fera dan Roni, justru menggelitik bagi Archie. Lelaki itu terkikik karenanya. Meski ia sempat kembali sedih karena Roni mengingat dirinya saat berada di pemakaman Raya. Raya yang sangat ia rindukan.
"Mesra sekali ya orang tuanya Freya." Archie memberi pujian tulus. "Seharusnya ya memang begitu pasangan suami istri. Sekali - sekali punya waktu berkualitas berdua saja, tanpa gangguan gadget. Biar mesranya maksimal. Orang tua saya nggak gitu. Mereka sibuk sama urusan masing - masing." Archie benar - benar kagum melihat pasangan yang bukan pengantin baru, tapi masih sebegitu mesranya.
Fera dan Roni tersenyum salah tingkah. "Kami sebenarnya bukan mesra. Tapi memang nggak ada hal lain yang bisa dilakukan. Kami juga nggak bisa main gadget. Tahunya cuman nonton tivi." Fera begitu apa adanya.
Sampai tak sadar terlah berlaku begitu polos. Hampir membuka kartu as nya sendiri. Bahwa ia adalah orang kaya baru. Dan itu tentu menyulut kemarahan putrinya si Freya itu. Lihat saja, Freya sudah kembali mendelik. Betapa mengerikannya.
Sekarang tinggal lihat saja bagaimana reaksi Archie. Apakah masih sebaik tadi atau tidak.
Archie nyatanya tetap menanggapi dengan positif. "Saya juga pernah dengar cerita orang kepercayaan saya. Dia ingin berbakti pada kedua orang tuanya dengan membelikan gadget baru. Sebelumnya mereka hanya pakai hp jadul yang biasanya cuman SMS sama telepon. Tapi ya gitu, ternyata diajarin susah. Ternyata rata - rata memang sama. Tapi lebih baik nggak tahu fungsi hp canggih, sih. Kalau sudah tahu, nanti semua jadi sibuk main hp. Nggak bisa mesra lagi kayak sekarang."
Fera dan Roni begitu lega setelah tahu tanggapan Archie. Freya pun lega. Tapi ia masih tetap akan membuat perhitungan dengan Roni dan Fera nanti.
Mereka kemudian duduk - duduk bersama di ruang tamu, termasuk Freya. Mereka disuguhi kopi dan juga cemilan biskuit dan juga roti panggang mentega oleh asisten rumah tangga.
"Malem - malem gini enaknya makan gorengan, atau nasi sama ayam ungkep, pakai sambel tomat dan lalapan. Kalau aja di kulkas ada bahan yang Ibuk ngerti, pasti langsung ibuk buatin deh." Lagi - lagi Fera kelepasan mengeluarkan betapa ndesonya ia.
Dan seperti yang sudah ditebak, Freya kembali murka. Bila digambarkan, saat ini sudah keluar asap dan api dari kedua telinga dan juga lubang hidung wanita itu.
"Lho, Ibuk bisa masak?" Lagi - lagi tanggapan Archie sungguh di luar dugaan.
Roni pun lega karenanya.
Fera juga sama. Tapi Fera takut ingin menjawab pertanyaan Archie itu. Ia serba salah. Kalau dijawab nanti Freya semakin marah. Kalau tida dijawab Freya juga pasti akan marah, karena ibunya tidak sopan.
Apa lagi Freya masih melotot seperti itu. Tapi ... Fera nyatanya memutuskan untuk tetap menjawab, demi asas kesopanan.
"Ibuk bisa masak sedikit. Tapi cuman makanan yang gampang - gampang aja. Masakan kampung." Fera akhirnya menjawab seperti itu.
"Wah ... kebetulan saya suka banget sama masakan tradisional lho, Buk. Sayangnya jarang bisa makan. Karena ibu saya nggak bisa masak sama sekali. Yang bisa nenek saya. Mantap bener rasa bumbunya. Setelah Nenek meninggal, saya biasanya ke restoran tradisional buat makan makanan kesukaan saya. Tapi rasanya nggak seenak buatan Nenek saya. Saya jadi penasaran pengin nyicip masakan Ibuk. Kali aja sama enaknya dengan masakan Nenek saya. Bisa jadi obat kangen sama Nenek."
"Wah ... dengan senang hati." Fera pun begitu bahagia mendengar hal itu. Karena ia sudah rindu masak. Sejak pindah ke rumah ini, ia tidak pernah lagi masak. Tiap hari makan makanan western yang tidak cocok dengan lidahnya.
"Oke, kapan - kapan kalau ke sini lagi, saya bawa bahan yang banyak. Biar Ibuk bisa masak puas. Saya juga makannya puas." Archie tersenyum lebar, terlihat sekali ia sedang bahagia.
Fera berusaha membalas senyum Archie. Tapi tidak bisa lepas karena Fera masih menatapnya tajam. Roni hanya diam tanpa kata, menjadi penonton setia.
***
Astaga ... Ternyata itu. Freya baru saja ingat peristiwa itu. Jadi ternyata Archie serius dengan kata - katanya saat itu. Ia datang lagi membawa banyak bahan segar. Karena ia ingin Fera memasak banyak makanan tradisional untuknya.
Tapi ... kenapa sekarang Archie malah mengajaknya masak bersama?
Freya mondar - mandir di depan kamar mandi tamu. Ia ingin segera bertanya pada Archie ... kenapa mereka jadi yang masak. Aduh, Freya sudah keburu lapar. Kenapa harus masak dulu? Kenapa tidak delivery order saja biar cepat?
Akhirnya Archie keluar juga dari kamar mandi. Freya pun segera menodongnya dengan pertanyaan - pertanyaan yang sudah menggumpal di hatinya bagai sampah yang harus segera dibuang, kalau tidak akan jadi penyakit mematikan.
"Ar, katanya kamu waktu itu mau nyicip masakan Ibuk. Kok sekarang kita malah masak bareng?" Freya nampak sedih. Sungguh masak itu sama sekali bukan gayanya. Ia hanya suka membuat kopi dan minuman - minuman ringan lain khas cafe modern.
"Nggak apa - apa, Frey. Aku yang mau kok. Jadi kita belajar masak pakai resep Bu Fera. Bu Fera juga bakal bantu kok, sama Pak Roni juga. Ya biar kita tahu caranya. Biar bisa masak sendiri kalau pengin. Iya, kan?"
Jawaban Archie sungguh membuat Freya tercengang. Astaga ... Freya saja sampai sekarang belum bisa percaya bahwa seorang Archie, sang CEO Virendra Inc. Ternyata suka masakan ndeso. Waktu itu Freya pikir Archie hanya bercanda karena ingin mengambil hati Fera dan Roni. Tapi ternyata ia serius.
Bahkan ia sampai ingin mempelajari resep dan cara masaknya supaya bisa memasak sendiri. Benar - benar tak bisa dipercaya.
Untung saja Freya tadi belum memakai krim malam. Ternyata itu adalah petunjuk dari Tuhan. Bahwa malam ini akan panjang, dan Freya masih belum cukup bekerja keras sepanjang hari, ketika malam pun ia masih harus bekerja keras. Ya nasib.
***