Freya tentu berharap bisa bertemu dengan Athar hari ini di sini. Tapi tentu itu tidak mungkin. Karena ia akan bersama Archie terus seharian ini. Freya hanya tinggal menunggu sedikit lagi, sampai ia akhirnya bisa bertemu dengan Athar kapan pun yang ia mau.
"Fix, kita pilih lokasi ini?" Archie memastikan sekali lagi. Mereka telah menemukan satu tanah petak yang dijual di sekitar masjid An - Nur dan Taman Kilisuci. Lahan itu sudah bersih, tanpa ada pohon, hanya rumput saja yang sudah agak tinggi.
Tinggal membersihkan rumput beres, kemudian langsung dibangun. Kalau tanah yang memiliki pohon akan sedikit merepotkan karena harus memotong pohon yang bersangkutan terlebih dahulu.
Letak tanah ini juga di pinggir jalan raya besar. Sehingga akan memudahkan akses orang - orang ke sana. Orang yang lewat pun pasti akan melihat dan kemungkinan besar akan mampir. Karena desain dari cafe itu yang sederhana namun manis dan eye catchy. Member kesan nyaman.
"Iya, fix aja, Ar. Strategis banget lho ini. Pasti banyak yang ngincer. Kalau nggak buru - buru kasih keputusan, pasti bakal keduluan orang." Freya memberikan pendapatnya.
Archie pun mengangguk mengerti. "Oke lah. Kalau gitu aku bakal langsung hubungi pemiliknya." Archie kini tengah mengetik nomor kontak yang ada di bagian depan tanah lapang itu.
***
Kecewa, itu yang dirasakan oleh Jena. Acara jalan - jalan mereka sudah berlangsung cukup lama. Namun entah mengapa, Athar urung melakukan hal itu. Sesuatu yang selalu ia lakukan tiap kali ada kesempatan bertemu dengan Jena.
Athar hanya menikmati perjalanan mereka. Tanpa terlihat akan bicara serius sama sekali dengan Jena. Hanya menikmati haha hihi saja.
Pasti ini yang dirasakan Athar selama bertahun - tahun ini juga, kan? Ia selalu bersama seseorang yang ia cintai. Berharap akan ada status di antara mereka. Tapi Jena tak kunjung memberi jawaban ya.
Jena tak mau putus asa. Perjalanan mereka belum berakhir. Mereka masih menikmati hari ini. Bisa jadi Athar akan melakukan itu setelah ini. Atau mungkin saat di perjalanan pulang nanti.
"Jen, kita makan siang di Bebek biasanya. Udah kangen banget aku." Athar kembali bicara.
Jena hanya mengangguk. "Terserah kamu aja, Thar. Aku mah hayuk aja." Jena menatap lelaki itu. Berharap banyak jika Athar hari ini tetap akan melakukan kebiasaannya, menyatakan cinta padanya. Dan Jena akan langsung mengatakan iya nantinya.
Namun, bahkan saat mereka sudah selesai makan di tempat makan langganan mereka, Athar belum menunjukkan tanda - tanda akan menyatakan perasaan kembali. Jena kini mulai khawatir. Ia takut jika ternyata Athar sudah berhenti melakukan kebiasaannya itu.
Jena takut, jika ternyata Athar sudah terlalu lelah menunggu, sehingga lebih nyaman melakukan hubungan seperti ini saja dengan Jena.
Apa Jena saja yang melakukan pergerakan duluan. Maksudnya, selama ini selalu Athar yang menyatakan perasaan. Kenapa sekali - sekali bukan Jena saja yang memulai?
Bisa, sih, itu dilakukan. Tapi Jena merasa kesulitan. Ia telanjur nyaman dicintai oleh Athar. Makanya ketika ia mulai mencintai, rasanya begitu sulit untuk mengesampingkan ego.
Memang dasar Jena payah. Jena merutuki dirinya sendiri.
Tenang, masih ada beberapa saat lagi. Bisa jadi Athar akan tetap melakukannya nanti, saat di perjalanan pulang. Atau nanti Athar ingin mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Kemudian menyatakan cinta di sana.
"Jen, kamu udahan makannya?" Athar tiba - tiba bertanya.
Jena tersenyum, kemudian mengangguk.
"Lhah, kok tumben nggak semangat maka di sini? Biasanya nasi satu piring kurang. Itu kok masih sisa banyak banget." Athar mengutarakan keheranannya.
Jena hanya meringis. "Aku lagi kurang selera makan, Thar."
"Lho, kenapa? Kamu sakit?"
Jena buru - buru menggeleng. "Nggak kok, aku baik - baik aja. Aku hanya lagi nggak mood makan. That ' s it."
"Kenapa memangnya? Kamu lagi ada masalah? Cerita dong. Kita sekarang jadi jarang ketemu. Jadi jarang bisa ngobrol banyak. Mumpung ketemu, kamu langsung cerita aja ke aku. Tenang, akan aku dengarkan sepanjang apa pun ceritanya."
Jena menarik napas dalam. Ingin terkesan dengan perhatian Athar yang selalu penuh dan tulus ke padanya. Tapi kenapa hari ini Athar lamban dalam melakukan pernyataan cintanya?
"Aku nggak lagi ada masalah apa - apa, Athar. Beneran deh," jawab Jena akhirnya.
"Terus kalau nggak ada masalah, kenapa kamu nggak selera makan?" Athar kebingungan. "Apa menunya lagi nggak cocok sama selera kamu hari ini? Mau ganti menu aja atau gimana? Atau kita makan di tempat lain?" Iya, kan. Athar seperhatian itu.
Jena hanya bisa berharap Athar akan segera ingat dengan kebiasaannya menyatakan cinta secara berkala.
Eh, Athar tidak mungkin melupakan kebiasaan itu hanya karena satu Minggu tidak bertemu, kan?
"Nggak, deh, Thar. Aku hanya nggak selera makan. That ' s it." Jena menjelaskan sekali lagi.
"Aneh ...." Athar masih terus memikirkan kenapa Jena begitu. "Kenapa? Apa ada masalah sama desain kamu? Sama butik kamu? Atau kamu kecapekan mungkin, sekarang jam kerja kamu kan makin panjang. Udah, balikin aja kayak dulu, Jen."
"Ah, bisa jadi emang aku kecapekan. Ntar deh aku mampir ke spa. Butuh pijat sama lulur mandi s**u kayaknya." Jena berusaha tersenyum. Tak ingin membuat Athar makin khawatir.
"Yah, sekarang aku jadi nggak bisa anter kamu ke spa, deh. Atau habis ini aja kita langsung cus?"
"Kan belum reservasi, Thar. Tahu sendiri di sana selalu full. Nggak bisa kalau nggak reservasi dulu."
"Kamu di spa yang lain beneran nggak mau, ya?"
Jena menggeleng. "Nggak ah Thar. Yang lain belum tentu sama pelayanannya. Dari pada bete kalau ternyata pelayanan itu kurang memuaskan."
"Hm ... urusan cewek mah aku kurang ngerti emang. Iya, deh. Misal kapan - kapan aku lagi bisa ninghal kerjaan, aku bakal Anyer kamu spa."
"Weish ... jangan ditinggal dong kerjaannya."
"Atau kamu spa - nya Minggu depan aja pas weekend lagi. Biar aku nggak ninggalin kerajaan."
Jena terkikik. "Kamu mah, bisaan amat. Iya, deh. Aku spa Minggu depan aja."
Setelah itu mereka beranjak. Mereka sudah hendak pulang. Tapi Athar masih urung membahas tentang pernyataan cinta.
Di sepanjang perjalanan pun Athar tidak melakukan itu. Athar banyak bicara, namun membicarakan hal lain. Dan itu membuat Jena semakin sedih. Dadanya sesak sekali.
Athar sepertinya memang tidak ada niatan untuk menyatakan cinta lagi hari ini.
Dibuktikan dengan Athar yang ternyata tidak mampir. Ia langsung berpamitan pulang, karena ia harus mampir dulu ke rumah orang tuanya, sebelum akhirnya kembali ke Pare.
Dan musnah sudah harapan Jena untuk resmi menjadi kekasih Athar hari ini.
Ia ingin menyalahkan Athar?
Tentu tidak, karena ini adalah salahnya Sendiri.
Ia terlalu lamban dalam memutuskan untuk menerima lelaki itu. Sekarang ia harus menanggung akibatnya sendiri.
***