Keduanya bersembunyi di lorong gelap nan sepi. Suara teriakan orang - orang itu, memanggil nama mereka, kadang diganti dengan sumpah serapah dan juga nama penghuni kebun binatang.
Napas keduanya terengah. Lelah sekali kejar - kejaran dengan para penculik tengik. Putus asa sudah nyaris melanda. Karena sudah merasa berkeliling puluhan kali dalam rumah ini, namun urung menemukan celah untuk keluar.
Athar mencengkeram erat dadanya. Rasa sakit itu semakin nyata adanya. Menghimpit Dadanya dengan kuat. Sangat kuat.
"Kita harus lari ke mana lagi?" Freya bertanya di tengah Hela napas yang memburu.
Athar memberi gestur dengan tangannya. Meminta Freya untuk tunggu sebentar. Karena ia belum bisa menjawab.
Freya menatap raut wajah Athar sembari mengernyit. Kebetulan di sini ada sedikit cahaya dari celah dinding yang berlubang. Athar terlihat sangat pucat. Entah hanya perasaannya saja, atau memang begitu adanya.
Lelaki itu juga nampak tak sehat. Freya pikir pasti karena luka - luka di tubuhnya. Ditambah mereka tidak mendapat asupan apa pun sejak kemarin.
Yang jelas Athar tidak baik - baik saja. Kalau sampai terjadi apa - apa padanya bagaimana? Setidaknya ia harus segera ditolong dan diobati.
"Di mana kalian? Ayo cepat keluar, atau kami akan telepon Pak Wardhana. Bisa mampus kalian kalau ketahuan Pak Wardhana. Freya bisa habis, Athar bisa lewat!"
Mereka kembali melontarkan berbagai ancaman. Freya sudah hampir goyah. Ia mau berdiri saja, menunjukkan diri. Tapi Athar mencegahnya. Lelaki itu menggenggam erat pergelangan tangan Freya, dengan sisa - sisa tenaganya.
"Jangan ... kita udah melangkah jauh, jangan nyerah. Kamu mau berhubungan sama manusia menjijikkan kayak Wardhana?"
"T - tapi ...." Freya ingin mengatakan bahwa ia takut terjadi sesuatu pada Athar. Tapi ia menutup rapat mulutnya. Tidak mau melanjutkan kata - kata itu.
"Jangan nyerah. Kita lanjutin kabur."
"Caranya gimana, Thar? Kita udah muter - muter berkali - kali. Tapi kita sama sekali nggak Nemu jalan keluar."
"Kita muter lagi. Pasti ada jalan keluarnya lah. Kalau nggak mana mungkin kita waktu itu bisa masuk?"
Freya memutar matanya. "Iya Lah. Tapi pertanyaannya, di mana letak pintu keluar itu?"
Athar coba melihat satu sisi ruang yang sejak tadi mereka lewati. Ada sebuah pintu yang tadi sangat sulit mereka buka. Makanya mereka lewati.
"Kita buka pintu itu." Athar menunjuk pintu yang ia maksud.
"Kan tadi udah dicoba. Nggak bisa!"
"Nggak bisa karena terkunci. Kita cari kuncinya. Lalu kita bisa kabur."
"Cari ke mana? Itu namanya nyari mati!"
"Sekali pun kita bakal mati di sini, setidaknya kita masih berjuang untuk hidup sampai titik darah penghabisan. Dari pada cuman diem nunggu dijemput malaikat Izrail."
Freya menatap sorot mata Athar. Mata yang menyiratkan semangat besar. Meski tubuhnya mungkin sudah tidak sekuat semangatnya.
"Oke. Kita coba. Tapi kuncinya ... mau cari di mana?"
"Kita balik ke meja yang mereka pakai buat main kartu. Tadi aku sempat lihat, ada laci di sana. Dan meja itu selalu dijaga dengan ketat. Pasti ada sesuatu yang berharga di sana."
Freya mengangguk. "Oke kita ke sana."
"Tentu saja kita harus ke sana. Dan kita harus bergegas, sebelum Wardhana datang."
"Oke."
Keduanya beranjak dari posisi duduk, berjalan mengendap ke arah yang berlawanan dengan keberadaan para penculik itu. Mencari jalan lain untuk menuju ke meja main kartu. Untung mereka sudah berkeliling beberapa kali. Sehingga sudah cukup hafal dengan desain gedung bioskop terbengkalai ini, berikut letak - letak semua ruangnya.
***
Bagus lah. Ruangan yang menjadi letak meja itu berada, sedang tidak dijaga. Pasti karena semua orang sedang berusaha mencari mereka. Salah sendiri tempat ini dibuat minim cahaya. Mereka jadi kesulitan menemukan Freya dan Athar kan.
Keduanya segera menuju meja yang bersangkutan. Laci itu sudah ada di depan mata. Athar berusaha membukanya. Tapi sulit.
"Lacinya juga dikunci kan? Dan kita nggak punya kuncinya!" Freya mulai panik lagi.
"Tenang Lah. Aku lagi pikirin cara buka laci ini. Kamu jangan ngomong terus. Ganggu konsentrasi aku!" Athar juga sudah kehilangan kesabarannya.
Athar melihat di rambut Freya ada sebuah jepit yang berbentuk memanjang serta pipih.
"Ke mari kan jepit rambut kamu!" pinta Athar sembari mengulurkan tangan.
Freya sempat lupa bahwa ia memakai jepit rambut. Ia coba meraba bagian pinggir rambut depannya. Benar, jepit itu ada di sana. Freya segera melepas jepit itu, memberikannya pada Athar.
Athar bergegas memasukkan jepit itu pada lubang kunci laci. Ia coba memutar. Sulit memang. Tapi akhirnya ia berhasil membuka kunci laci.
Tanpa sadar Athar dan Freya saling tersenyum sebagai selebrasi kecil atas keberhasilan mereka.
Benar dugaan Athar. Ada beberapa kunci yang diikat menjadi satu. Entah mana yang merupakan kunci pintu yang akan mereka buka.
Athar juga menemukan kunci mobilnya sendiri. Ia segera mengambil kunci itu, memasukkan dalam saku outer nya. Athar tak lupa membawa sebuah kunci mobil lain di sana.
"Kenapa kamu bawa kunci itu juga?" tanya Freya.
"Ini kunci mobil penculik. Apa nggak dibawa aja? Jadi barang kamu yang ketinggalan di mobil itu nggak usah diambil. Biarin aja kartu - kartu berharga kamu tetap di sana, ponsel kamu juga."
Freya menatap tajam Athar. Ia lagi - lagi kesal pada cowok sok di depannya itu. Tapi segala yang diucapkan Athar benar.
Gila. Freya akui Athar adalah seorang pemikir handal. Lelaki itu bisa berpikir sangat jauh ke depan. Bahkan Freya tidak kepikiran sama sekali tentang ponsel dan tas beserta isinya. Yang ada di pikirannya hanya kabur. Bayangkan saja, ia pasti akan kesulitan mendapat kembali segalanya yang sudah hilang karena ia tinggalkan.
Tapi berkat Athar, ia tidak akan kerepotan mengurus semuanya lagi. Namun begitu ia tetap kesal dengan cara bicara Athar yang terlalu langsung pada intinya. Anti bermanis - manis ria.
"Itu kuncinya satu gendel juga dibawa semua? Kita bahkan nggak tahu kunci mana yang cocok buat pintu itu?" Freya mulai bicara lagi.
"Justru karena nggak tahu mana yang cocok, Makanya kita bawa semua. Nanti dicoba satu - satu kalau udah sampai sana."
Freya tertohok lagi. "Kalau kelamaan cari kunci yang cocok, kita pasti ketahuan."
"Ya jangan sampai ketahuan."
"Kenapa kamu nggak coba buka kunci pakai jepit rambut aja kayak tadi sih. Kan kamu bisa!"
"Gimana kalau aku bilang, tadi hanya sebuah kebetulan yang beruntung?"
Well, ya ... ya .... Sepertinya Freya tidak akan pernah menang bicara dengan Athar. Ia pun hanya pasrah dan ikut apa kata laki - laki itu. Yang penting ia bebas dan selamat.
***