Athar memarkir mobilnya di pelataran Butik J. Kali ini ia jauh lebih menarik perhatian. Karena ia menggunakan mobil klasik nan mewah seharga miliaran, dan ia juga masih rapi dengan pakaian resminya. Menambah tingkat ketampanan beberapa kali lipat.
Setiap yang melihat berdecak kagum. Ingin memiliki tapi tahu itu tak mungkin. Makanya hanya membicarakan dari jauh. Ada yang membicarakan baiknya. Ada yang malah curiga macam - macam. Yah, itu lah manusia. Itu lah hidup.
Athar sedikit mengendap ketika ia sudah dekat dengan meja Jena. Ia berusaha untuk tak membuat suara.
Jena nampak serius membereskan tumpukan pekerjaannya. Ia belum menyadari kehadiran Athar.
Athar menormalkan kembali cara berjalannya. Senyum tak henti - hentinya menghiasi wajahnya. Tiap kali melihat Jena, bawaannya Athar memang selalu bahagia, bukan?
Jena akhirnya mulai menyadari kehadiran seseorang di sekitarnya. Berawal dari aroma wangi yang familier. Jena baru sadar kalau ada seseorang berdiri di hadapannya.
Wanita itu tersenyum kemudian.
"Surprise!" seru Athar masih sembari tersenyum.
"Astaga ... kenapa nggak bilang, sih, kalau rapatnya udah selesai. Tahu gitu tadi aku bilang supir buat nggak jadi jemput."
Athar terkikik. "Telepon sekarang aja."
"Kalau orangnya udah berangkat gimana?"
"Ya, suruh balik. Ntar dikasih duit hiburan, biar nggak nangis."
Jena pun tertawa. "Oke deh, oke. Aku telepon sekarang."
Jena benar - benar menelepon supirnya, mengatakan untuk tidak jadi menjemputnya. Untungnya sang supir belum berangkat. Masih sekadar bersiap - siap.
"Eh, Thar, kamu kelihatan ganteng banget lho pake setelan resmi kayak gitu. Aku sampai pangling lihatnya." Jena memuji dengan tulus.
"Jadi biasanya aku nggak ganteng gitu?" Athar tidak terima.
Jena pun tertawa. "Kalau dandan gini gantengnya nambah - nambah."
Athar mencebik. "Aku pake baju kasual aja cewek - cewek udah mabuk kepayang, Jen. Gimana pake baju begini coba." Athar mulai menyombongkan diri.
"Sombong amat!"
"Lhah, itu kan fakta. Ya cuman kamu tuh, cewek yang nolakin aku melulu. Dari kecil sampai udah nyaris tuas kayak gini, kamu tetep aja lebih milih Archie ketimbang aku. Nggak capek apa?" Athar malah melangsungkan sebuah protes terselubung.
Jena hanya tersenyum. Semua ini tam ubahnya karena ia sudah menganggap Athar sebagai adiknya sendiri. Itu yang Jena tahu.
"Eh, kamu udah selesai apa belum sih kerjanya?" tanya Athar kemudian. Ia hanya ingin memastikan, takut jika ternyata Jena masih punya pekerjaan lain, meski mejanya sudah nampak rapi.
"Udah kok. Nih, udah beres - beres dong." Jena memperlihatkan mejanya yang sudah rapi.
"Kalau gitu ayo langsung cabut. Jalan - jalan dulu mau, kan?"
"Jalan - jalan?" Jena nampak antusias. "Wah ... boleh ... boleh ...."
Athar pun kegirangan dengan reaksi Jena. "Kalau gitu ayo, Princess." Athar mengulurkan jemarinya.
Jena pun segera menyambut uluran tangan itu. Mereka bergandengan tangan berjalan menuju pintu keluar butik. Dan seperti biasa, keduanya selalu menjadi pusat perhatian.
***
Dalam perjalanan, Athar dan Jena terlibat dalam sebuah obrolan yang cukup serius. Athar sedang meminta pendapat dari Jena sebenarnya. Tapi tidak secara langsung menyebutkan siapa subyek yang mereka bicarakan.
"Jen, aku mau tahu dari perspektif seorang wanita nih ya. Gimana sih menurut kamu tentang cewek matre?" Ya, tentu saja Athar membicarakan Freya.
"Cewek matre?" Jena mengernyit. "Tumben ngomongin beginian? Kamu habis jadi korban cewek matre, ya?" Jena tertawa menanyakan hal itu.
Athar pun ikut tertawa. "Ya enggak lah. Aku cuman pengen tahu aja, sih. Penasaran gitu."
Jena pun memikirkan jawaban. "Uhm ... sebenarnya matre itu realistis loh," jawab Jena akhirnya.
"Hah? Realistis?" Athar kurang paham dengan maksud Jena. Padahal dalam pikirannya, matre adalah sebuah hal yang berkonotasi negatif.
"Iya, realistis. Seorang wanita dalam menentukan pasangan hidup, selain menilai laki - laki dari kebaikannya, pasti juga lihat apa pekerjaannya, dari mana dia berasal. Itu udah pasti. Soalnya kan kita nggak mungkin menikah sama orang sembarangan. Ya siap - siap menderita aja, misal nikah cuma modal cinta. Karena nikah nggak cukup cuman modal cinta. Ya kali cinta bisa dibuat makan empat sehat lima sempurna. Enggak, kan? Pasti lah maunya wanita itu nikah sama laki - laki yang udah mapan, yang bisa bimbing, yang bisa gantiin orang tuanya merawat Dia, menafkahi dia lahir batin, gitu."
Athar mengangguk mengerti mendengar jawaban Jena. Ya, kalau memang seperti itu alurnya, Athar bisa mengerti. Tapi untuk kasus Freya, ini sudah pada level yang berbeda.
Athar lalu melanjutkan diskusi dengan Jena. "Oke, kalau hanya sekadar cari yang mapan, itu memang realistis ya, Jen. Tapi nih ya. Misal. Misal doang. Ada cewek yang tergila - gila sama harta. Dia punya gaya hidup yang jauh melebihi standar ekonominya. Hedon banget lah gaya hidupnya. Terus demi memenuhi gaya hidupnya, dia rela melakukan apa aja. Sampai dia menjajakan diri sendiri pada lelaki hidung belang, dan dia juga sampai berbuat nekat, mendekati para lelaki cuman buat morotin hartanya."
Jena mengernyit. Kali ini benar - benar tak habis pikir dengan pemisalan yang dilakukan oleh Athar. "Wah ... kamu sebenarnya lagi ngomongin siapa sih, Thar?"
Athar segera menggeleng. "Kan ini cuman misal."
"Misal bener ada orang kayak gitu, kalau menurut aku sih, dia udah level sakit. Dia punya masalah kejiwaan tuh pasti. Udah taraf yang butuh pertolongan, soalnya udah nggak punya kontrol diri."
"Butuh pertolongan?"
Jena mengangguk. "Dia udah nggak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Pasti ada suatu sebab. Entah apa. Yang bisa bantu ya hanya ahli kejiwaan. Itu kalau menurut aku lho ya. Kalau nggak buru - buru ditolong, wah, ya ... meresahkan banget itu pasti."
Athar memikirkan jawaban Jena lagi - lagi. Ya jelas memang meresahkan. Kira - kira bagaimana reaksi Jena jika tahu ternyata yang ia bicarakan bukan hanya sebuah pemisalan?
Bagaimana jika Jena tahu, kalau yang ia bicarakan, adalah saudari kembar dari mendiang sahabatnya sendiri?
Dan bahkan yang menjadi korban saat ini adalah seseorang yang Jena cintai, seseorang yang pernah menjadi calon suami mendiang sahabatnya itu.
***