Bab 5

2128 Words
Laura dipanggil oleh Bian ke ruangannya, ia sudah tahu apa alasan Bian memanggilnya ke ruang dosen pasti karena tugas yang ia copy paste dari internet, Laura juga tidak akan melakukan hal itu kalau bukan karena kepepet, kalau bukan sang kakak yang mengambil laptop dan menjualya, tetapi tidak mungkin Laura menjelaskan hal itu kepada Bian, biarlah ini menjadi rahasianya dan tidak perlu diketahui oleh orang lain. Ia pasrah menerima hukuman apa pun dari Bian, ia sudah pasrah karena ia telah melakukan kesalahan yang tidak Bian suka, dan kini Laura hanya bisa menghela napas panjang dan berharap semuanya baik-baik saja. Setelah sampai di ruangan Bian, Laura pun langsung duduk di hadapan dosennya itu. Bian menatap Laura dengan tatapan tajam, persis seorang dosen killer yang sedang marah pada mahasiswanya, tidak bisa dipungkiri memang, bahwa Bian adalah dosen tampan yang ditakuti oleh mahasiswanya, selain killer dan tidak mentolerir kesalahan, ia juga pelit nilai, banyak mahasiswa yang isi KRS cepat-cepatan agar tidak mendapatkan Bian sebagai dosennya, tetapi ada juga yang menyukai Bian, lebih tepatnya menyukai ketampanan Bian. Bian memang laki-laki yang memiliki ketampanan dengan kearifan lokal, sehingga perempuan banyak yang menyukainya, meski status Bian sudah beristri, dan saat Bian menikah dulu banyak hati yang telah dipatahkan, dan mereka memakai tagar patah hati nasional. Entahlah, balik lagi ke topik. Bian menghela napas, lalu berujar, “Kamu tentu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini, bukan?” Laura mengangguk. “Karena saya mengerjakan tugas dari Bapak, dan saya copy paste dari internet. Saya melakukan hal yang paling Bapak benci.” Dengan raut yang tanpa senyuman, mata menyalang, Devan menatap Laura dengan sengit. “Sudah tahu saya tidak menyukainya, kenapa kamu tetap melakukan hal itu? Kamu sengaja ingin mendapatka tugas yang lebih berat? Apa materi yang saya berikan ke kamu itu enggak cukup, sampai kamu harus ambil dari internet? Saya minta kamu merangkum materi saya, materi yang saya berikan, bukan merangkum dari internet, bukan, Laura.” Laura langsung menggeleng. “Saya punya alasan tersendiri kenapa saya melakukan hal itu, tapi saya tidak bisa ceritakan alasan itu ke Bapak. Maaf.” Devan juga tidak mau tahu apa urusan pribadi mahasiswanya, ia hanya peduli pada urusan akademik, bukan urusan pribadi. “Saya juga tidak mau tahu urusan kamu, yang saya tahu kamu Cuma orang yang mementingkan jalan-jalan dan nongkrong daripada mengerjakan tugas kamu dengan benar, kalau saya jadi kamu, saya tidak akan ke kafe, lebih saya mengerjakan tugas dosen saya, tidak seperti melakukan yang kamu lakukan kemarin. Apalagi sambil nangis, kamu nangisin cowok? Dasar anak zaman sekarang, hati lebih penting daripada maa depan.” Rasanya Laura ingin melakban mulut dosen di hadapannya ini, tetapi hal itu tidak bisa ia lakukan karena Bian adalah dosennya, dan ia harus menahan hatinya atas apa yang dituduhkan oleh Bian. “Sudah seharusnya kamu menerima hukuman.” Laura mengangguk, ia sudah siap menerima hukuman apa pun. “Saya siap. Apa, Pak?” “Hukumannya adalah kamu harus mengerjakan soal-soal yang saya berikan, ada 50 soal pilihan ganda, kamu harus menjawab dengan benar semua, kalau ada satu yang salah, maaf sepertinya kita harus ketemu lagi semester depan, kamu terlalu banyak melanggar, tapi saya masih baik hati memberikan kamu ke sempatan.” Bian terlalu mematikan, bagaiamana mungkin ada manusia sekejam ini di bumi. Rasanya Laura ingin mengeluarkan sumpah serapah, tetapi ia harus tahan lebih sabar lagi. Laura menghela napas lalu tersenyum. “Oh iya, baik, Pak, saya akan berusaha melakukan yang terbaik.” “Deadlinenya jam 7 malam, kalau lewat satu detik aja, seperti biasa akan saya tolak, saya berharap, kamu benar-benar serius, karena tugas ini yang menentukan, apakah kamu lulus di semester ini atau enggak.” Laura mengangguk. “Iya, Pak, saya mengerti. Kalau begitu saya permisi dulu.” Kemudian Laura langsung keluar dari ruangannya. Bian pun segera membuka emailnya dan kirimkan tugas untuk Luara, setelah selesai, ia pun langsung keluar ruangan dan segera pulang ke rumah. Di rumahnya masih ada sang ibu. Benar dugaan Bian, kalau kehadiran Lastri di sini mengundang perdebatannya dengan Freya. Freya tidak suka kalau ibunya Bian ada di rumah karena Lastri terlalu banyak menuntut, seperti halnya kayak, Freya harus cepat-cepat hamil, tugas istri adalah harus masak untuk suami, bersihkan rumah, dan banyak hal lainnya. Pemikiran Lastri yang terlalu kolot itu yang membuat Freya tidak suka, ia tidak mau kalau hidupnya diatur-atur, dan Bian juga tidak tega kalau harus mengusir ibunya hanya karena Freya tidak suka, ia tidak mau kalau ibunya sakit hati dan ia menjadi anak yang durhaka, ia tidak mau menjadi anak yang durhaka kepada wanita yang telah mengandung, melahirkannya, dan bersusah payah membesarkannya sampai segede ini, sudah seharusnya ia membalas jasa orang tuanya, apalagi bapaknya juga baru saja dipanggil Sang Pencipta. Di perjalanan pulang, Bian teringat dengan perdebatannya dengan Freya semalam. “Bian, aku enggak suka kalau ibu kamu ada di sini, bukan karena apa-apa, bukan karena aku mau menjadi menantu yang durhaka, bukan, aku Cuma enggak suka dengan pikiran kolotnya, dia banyak menuntut ini dan itu, dia itu pemikiran zaman dulu banget, yang istri harus di rumah aja, biarkan suami yang bekerja, nikah harus segera punya anak, aku enggak cocok kalau harus tinggal sama ibu, aku bisa stres lama-lama, Bian, kamu harus paham, aku mau kamu minta ibu untuk pergi dari sini, aku benar-benar enggak nyaman.” Begitulah perkataan Freya tadi malam, hari ini dia tidak akan pulang ke rumah, kalau ibu masih di sini. Entahlah, Bian juga tidak tahu harus berbuat apa, ia tidak ingin menyakiti Freya dan ibunya, kedua wanita itu adalah yang terpenting di hati Biani saat ini. Tak lama kemudian, mobil Bian terparkir di depn rumah, dan saat masuk ke rumah, ia melihat ibunya yang sedang memasak. Bian jadi enggak enak sama ibunya, ia langusng menghampiri wanita itu. “Bu, Ibu tinggal di sini bukan untuk masak, jadi biar Bian aja, mending Ibu istirahat, duduk aja, Bu.” Bian langsung mengambil alih pekerjaan ibunya, tetapi Lastri kekeuh ingin tetap memasak untuk Bian. Lastri tersenyum tipis. “Bian, kan Ibu memang sering masakin kamu, seharusnya ini kan tugas istri kamu, tapi karena dia enggak ada, jadi ibu yang menggantikan dia, udah enggak apa-apa, mending kamu mandi, ganti baju, habis itu makan, pasti capek kan habis kerja,” ucap Lastri dengan senyuman yang mengembang. Bian mengangguk dan langsung ke kamarnya, terkadang Bian bertanya-tanya dalam hatinya, apa Freya bisa menjadi istri dan ibu yang baik seperti Lastri. Apa wanita yang dipilih oleh Bian adalah wanita yang salah? Banyak hal yang selalu Bian pertanyakan dalam hatinya, tiga tahun pernikahan dengan Freya, ia merasa tidak benar-benar menikah, ia merasa peran Freya sebagai istri itu tidak ada. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Bian pun langsung ke meja makan, wanginya masakan Lastri sangat menggunggah selera, hal ini adalah hal yang tidak pernah Freya lakukan selama 3 tahun mereka menikah. Setelah selesia makan, mereka tidak langsung beranjak dari tempat itu, Lastri ingin mengobrol banyak hal dengan Bian. “Apa kamu bahagoa menikah dengan Freya? Apa tiga tahun ini kamu merasakan kalau Freya adalah istri yang tepat?” Pertanyaan itu tiba-tiba terucap dari mulut Lastri, dan Bian saya bingung dengan perasaan yang ia rasakan sendiri. Bian langsung tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Bu, Bian cinta Freya, dan sebaliknya, kami saling mencintai, jadi enggak ada alasan Bian enggak bahagia sama pernikahan ini.” Lastri kemabli berucap. “Cinta saya tidak cukup untuk sebuah pernikahan. Dalam menjali pernikahan itu harus ada saling komunikasi satu sama lain, sedangkan kalian? Sibuk masing-masibg, lebih tepatnya Freya yang terlalu sibuk, Ibu mau kamu mendapatkan istri bukan Cuma yang pintar cari duit, tapi pintar menjadi istri yang baik, ibu tidak melihat istri yang baik dalam diri Freya. Kamu menikahi wanita yang bukan mau masuk ke duniamu, tapi dia punya dunia sendiri, dunia kalian berbeda, jadi kalian susah untuk menyatu. Kamu bisa bilang bahagia, tapi sorot mata kamu memancarkan kebingungan, kamu itu anak Ibu, Yan, sudah seharusnya Ibu paham dengan kondisi anaknya.” Bian menggeleng. “Freya itu istri yang baik, Bu, dia memang pekerja keras, dia wanita yang memiiliki karir yang bagus, di kantor jabatan dia tinggi, bahkan gaji Freya lebih tinggi daripada Bian, jadi dia belum bisa melepaskan itu semua, aku yakin kalau udah saatnya, dia pasti akan melepaskan dunianya dan ikut ke dunia Bian, sebagai suami aku harus tetap mendukung yang terbaik untuk istrinya, dari awal sudah ada kesepakatan hal itu. Bian mohon, Ibu untuk mengerti kondisi ini.” Lastri menghela napas. “Itu sebabnya, Ibu mau kamu menikah dengan wanita penurut, bukan penentang seperti dia. Istri yang taat, bukan istri yang pekerja keras. Kalau dari awal kamu setuju biar ibu yang carikan calon untuk kamu, pasti kamu sudah menikah dengan menantu idaman dan juga istri idaman.” Sekarang Bian hanya bisa terdiam, ia tidak tahu harus menjawa apa, karena ia sudah kehabisan kata-kata untuk membela istri yang sangat ia cintai, tapi bukan menantu idaman menurut versi ibunya, akhirnya Bian pun memutuskan untuk membawa pikir pekas makan itu ke wastafel, kemudian segera mencucnya, setelah itu ia langsung ke kamar untuk mengecek tugas mahasiswanya, ini jauh lebih baik, daripada ia terus bersama ibunya yang terus memojokkan Freya, tapi sebelum berlalu, ia menoleh dan berkata kepada ibunya. “Bu, saat aku mengucapkan ijab qabul, bukan hanya kelebihan Freya yang harus aku kerima, tetapi juga kekurangannya. Mau bagaimana pun kondisi Freye, dia tetap istri yang sangat aku sayangi, untuk masalah anak, biar takdir yang bekerja. Jadi, aku minta tolong banget sama Ibu, tolong jangan buat Freya merasa tidak nyaman dengan kehadiran Ibu di sini, jangan memaksa Freya untuk menjadi istri idaman menurut versi terbaik Ibu, karena setiap manusia punya versi terbaik menurut versi masing-masing. Aku enggak berniat meyakiti hati Ibu, aku Cuma ingin melindungi istriku karena itu memang tugas seorang suami. Permisi, Bu.” Bian langsung ke kamarnya dan meninggalkan sang hanya bisa diam membisu. *** Freya dan Marsha setelah pulang kantor tidak langsung pulang ke rumah, lebih tepatnya Freya yang mengajak Marsha untuk nongkrong, ia rasanya malas sekali pulang kalau masih ada ibu Bian. Bagi, Freye, itu sangat menyebalkan, selalu menuntut Freya untuk memnjadi sempurna menurut versinya, dia lupa bahwa setiap manusia itu punya standarnya masing-masing. Melihat keadaan Freya yang seperti sekarang membuat Marsha tidak ingin buru-buru menikah, ia harus mencari bukan hanya si laki-laki yang bisa mencintai dan menerimanya, tetapi mertua yang baik yang bisa menganggap menantu seperti anak sendiri juga, peran mertua memang tidak bisa dipisahkan karena bagaimana pun, orang tua dan mertua adalah akan terus hadir kehidupan anak-anaknya, itu adalah hukum alam. “Fre, lo yakin enggak mau pulang malam ini? Atau mau nginap di tempat gue? Gue sih enggak masalah, Fre, tapi jangan sampai karena lo enggak pulag, image lo sebagai menantu akan semakin buruk, dan mertua lo yang kolos itu akan semakin enggak suka sama lo, lo enggak mau kan, kalau itu semua sampai terjadi?” Ucapan Marsha ada benarnya, pikiran mertuanya Freya akan semakin mengada-ngada, bisa saja dia berpikir kalau Freya menginap di tempat laki-laki lain, namanya juga pikiran kolot orang tua. Freya menghela napas panjang, ia juga malas pulang karena ujung-ujungnya bakal berdebat lagi, Freya juga sampai kapan mertuanya akan tinggal di rumah mereka. “Kenapa sih, Bian enggak suruh aja ibunya pergi, gue malas banget kalau ada ibu di sini, sumpah. Pikirannya kolot banget, dia bilang kalau istri itu lebih baik di rumah, ngurus rumah, anak, dan suami. Yang kerja biar suami aja, padahal gai gue sama Bian aja, masih gedean gaji gue, terus yang namanya suami istri harus segera punya anak. Yang tahu deh kenapa mertua gue itu enggak open minded.” Marsha terkekeh pelan. “Gue rasa ibunya Bian itu Cuma mau anaknya diperlakukan sebagai seorang suami sih, bukan hanya di ranjang yang lo puasin, tapi dari berbagai faktor, kayak lo masakin dia makanan kesukaan dia, terus lo pijitin badan suami lo pas pulang kerja, atau hal-hal sederhana lainnya lah. Sekarang gue tanya, selama 3 tahun ini lo pernah masakin Bian atau lo pernah pijitin badannya Bian?” Freya menggeleng. “Senin sampai jumat, gue kerja dari pagi sampai malam, weekend biasanya gue gunain waktu buat tidur sampai sore, dan Bian enggak pernah protes tuh kalau gue kayak gitu, dia malah santai aja kalau gue tidur, dan dia yang masak.” “Nah, lo itu jauh dari karakter menantu idaman banget, setiap orang tua apalagi ibu, selalu ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, bukan hanya istri dalam status, tapi istri yang benar-benar istri, jadi jangan salahkan ibunya Bian kalau dia selalu mendesak lo untuk menjadi yang lebih baik, dia hanya ingin anaknya bahagia hidup sama lo.” Freya mengernyit. “Emang Bian enggak bahagia hidup sama lo?” “Udah sana, mending lo pulang, tunjukin ke mertua lo kalau lo bisa juga jadi istri dan menantu yang baik.” “Malas.” “Sebenarnya lo sayang enggak sih sama Bian?” Freya mengangguk cepat. “Sayanglah, kalau enggak sayang enggak mungkin gue mau pacaran sama dia bertahun-tahun terus nikah sama gue.” “Nah, mending sekarang lo pulang, sebelum mertua lo minta Bian nikah lagi karena lo enggak bisa jadi istri yang baik, dengan tipe Bian yang penurut, bisa aja dia enggak bisa nolak permintaan ibunya.” Mendengar hal itu Freya langsung berpikir lagi, kenapa Freya tidak berpikir sampai sana? “Ya udah sekarang gue pulang.” Freya langsung beranjak dari tempatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD