Chapter 2

1466 Words
Angel sontak menjauh sambil bergidik ketika Rangga memuntahkan kopi bikinannya, menatap ngeri pada orang yang hari ini resmi menjadi bosnya itu. Nyali Angel menciut saat si bos baru itu menatapnya tajam. Sumpah demi cita-citanya menemukan pangeran Charming, ini kali pertama Angel merasakan grogi. “Kamu pikir saya nenek moyangmu diberi kopi pahit begini?" gertak Rangga galak. Angel sempat terperanjat beberapa detik, lalu kembali memberikan senyum sopannya—dengan sangat terpaksa. Dalam hati, dia terus merutuk pria di depannya ini. “Ini orang, kenapa marah-marah mulu dari tadi? Baru juga hari pertama gua kerja sama dia, udah beberapa kali hampir jantungan karena bentakannya.” “Mohon maaf, Sir. Saya membuatnya sudah sesuai interupsi Sir sendiri,” jawab Angel lembut. Angel melirik dari ujung matanya, pria itu tak berucap, tapi tatapannya seolah ingin menelan orang. “Sing tenang, woy! Kelihatan banget kurang jatahnya. Keruh gitu mukanya, Bung.” “Anda meminta saya agar membuat kopi seperti biasanya, Sir,” lanjut Angel karena gak ada respons. “Kalau begitu, kenapa kopinya malah datang untuk me-ra-cu-ni saya? Ini bukan selera ke-bi-a-sa-an saya, kamu tahu?” Angel sontak menggeleng yang malah membuat Rangga semakin marah. Menyadari kesalahannya, Angel kembali menunduk. Dengan sehati-hati mungkin, dia mencoba menjawab, “Mohon maaf, Sir. Karena biasanya, kopi seperti itu yang selalu dipinta pak Bagas---“ Rangga bangkit dari kursinya sambil menggebrak meja, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, menatap nyalang ke arah Angel. “Sa-ya Rang-ga, bu-kan Ba-gas-ka-ra.” “S--saya tahu, Sir. Ma---” “Jangan mentang-mentang saya ponakannya, selera kami itu sama, ya!” “Ya mana gua tahu, Bahlul. Emang gua cenayang bisa tahu selera lu.” “Kenapa masih berdiri di sana? Cepat bikinkan saya kopi lagi!” titah Rangga—lagi-lagi mengagetkan Angel yang tengah asik menggerutu. Angel terpejam selama 2 detik, bersyukur, ternyata gumamannya tak didengar pria PMS ini. “Baik, Sir. Kalau boleh tahu, kopi seperti apa yang anda inginkan?” Angel meringis melihat respons bos barunya. “Kenapa wajahnya semakin keruh? Salah apa lagi gua?” “Jadi kamu gak tahu selera kopi saya seperti apa?” desis Rangga rendah. Angel menggeleng sambil tersenyum canggung. Ada rasa tak nyaman saat mendengar pertanyaan pria itu, hatinya terus menerka. Kenapa raut wajahnya berubah sendu? Apa dia sudah tidak diperhatikan istrinya di rumah? “M—mohon maaf, Sir. Saya belum menerima data kebiasaan anda sehari-hari di kantor. Saya akan pastikan untuk mendapatkan dan mempelajarinya hari ini juga.” Rangga mengembuskan napasnya kasar, bahkan rambutnya sudah berantakan karena diacak-acak oleh tangannya sendiri. Berjalan ke arah jendela berkaca besar yang menampilkan pemandangan kota. Di belakangnya, Angel menggeleng—merasa kasihan, padahal dia sangat tampan, apa lagi saat rambutnya sudah acak-acakan begitu, lebih manly. Hanya, sayang sekali saat ini dia tengah merana karena urusan rumah tangganya. “Eh, kenapa gua jadi sok ikut campur urusan dia?” “Maaf, Sir. Apa saya boleh keluar sekarang?” “Hmm..” “Saya boleh bertanya kopi apa yang ingin ....” “Cari tahu sendiri! Bukankah kamu sangat pintar?” potong Rangga. “Maaf, Sir. Saya undur diri.” “Tunggu! Buatkan saja teh persis seperti kesukaan ibumu.” “Baik, Sir.” Angel membuang napasnya saat sudah di luar ruangan. “Tunggu! Buatkan saja teh persis seperti kesukaan ibumu. Apa-apaan? Labil banget!” “Saya masih mendengar nya!” Mata Angel melotot lalu buru-buru pergi setengah berlari. Apa bos barunya memasang telinga di dinding? Kenapa merinding sekali? .................. “Argh! Akhirnya beres juga.” Tubuh Angel meliuk ke belakang, tangannya merentang ke atas, menggeliat untuk merenggangkan ototnya yang terasa kaku. “Pantesan saja perutku berisik, sudah waktunya maksi ternyata,” gumam Angel saat melihat jam di tangannya. Mengambil ponselnya dan memeriksa apa ada pesan masuk untuknya, terlebih dia memang tengah menunggu kabar dari seseorang yang sampai saat ini belum memberinya kabar—Giorgio, pacarnya. Angel mendengus, apa dia masih marah juga? “Ck, lupakan dulu! Saat ini perutku lebih penting dari perasaan,” sungut Angel entah pada siapa. Kedua jempolnya tengah aktif mengetikkan sesuatu. [Jass, maksi yuk. Kerjaan lu udah kelar, ‘kan?] Tak lama pesan masuk. [Wait a five minute, please! Nanggung kerjaan gua.] [Ok.] Mungkin lebih baik dia ke ruangan Jasmine sambil nunggu gadis itu selesaikan pekerjaannya. Angel bangkit dan siap berbalik, tepat saat kedua matanya menangkap pintu kayu besar berwarna coklat di depannya. Beberapa detik memperhatikan pintu itu dengan seksama, yang berada di balik pintu itu—lebih tepatnya. Setelah dia menyediakan teh tubruk sesuai pesanan si boss, pria itu belum lagi memanggil dan memerintah dirinya kembali. “Apa gua harus minta izin dulu, gak, ya, atau pergi aja langsung?” gumam Angel ragu. Biasanya, bossnya yang dulu selalu keluar 15 menit sebelum waktu istirahat tiba. Jadi dirinya tak perlu repot-repot berpamitan untuk istirahat. Namun, sekarang dia harus bagaimana? Kenapa pria PMS itu belum keluar juga? Apa dia gak lapar? “Apa mungkin dia tidur, ya?” Kembali pikirannya bermonolog. “Ck, biarin aja kali! Lagian sepertinya pria itu sedang ingin sendiri.” Merasakan apa yang dialami boss barunya, Angel memilih pergi tanpa berpamitan. Nasib mereka sama, bertengkar dengan pasangan, tetapi, Angel tak terlalu menganggap berlebihan sehingga melupakan kesehatannya. Tangannya sudah siap menekan tombol lipt, tapi langsung menggantung di udara. Berbalik badan, kemudian diam. “Apa pria itu bertengkar karena kesalahpahaman waktu itu?” gumam Angel khawatir. Buru-buru melangkah, kembali ke ruangan boss barunya. “Masuk!” Terdengar suara dari dalam setelah dia mengetuk pintu. Terpesona! Pemandangan yang pertama kali Angel lihat saat masuk adalah sosok bossnya yang tengah serius berkutat dengan beberapa kertas dengan gaya yang sangat casual. Lengan kemeja yang sudah digulung sampai siku—tak ada dasi yang melingkar di lehernya, bahkan dua kancing kemeja pria itu sudah terbuka. Memancarkan kesan manly tapi santai, tampan serta seksi. “Ada apa? Kenapa malah geleng-geleng kepala?” Angel terperanjat saat mendengar suara Rangga. Merutuki pikiran kotornya yang entah dari mana hinggap ke kepalanya. Tak ingin memperlihatkan kegugupannya, Angel berpura-pura memeriksa jam di pergelangan tangannya. “Ini sudah waktunya makan siang, Sir.” Baru saja Rangga akan menjawab, ponsel Angel berbunyi tanda ada pesan yang masuk. “Siapa itu?” selidik Rangga. Matanya menyipit karena Angel tak langsung membukanya, melainkan disembunyikan di balik tubuhnya. “Mungkin dari teman saya, Sir.” “Periksa!” “Baik, Sir.” Angel mengangguk seraya memeriksa pesan tersebut. [Jel, gua udah beres. Yok, gua tunggu.] Dengan cekatan Angel membalas. [Jass, tunggu gua 5 menit!] “Dari siapa?” Angel mendongak. “Teman saya, Sir.” “Siapa?” Rangga semakin menyipitkan matanya. “Jasmine, Sir. Teman satu kantor saya.” “Laki-laki atau perempuan?” Hah? Angel melongo tak percaya dengan pertanyaan bossnya. “Mohon maaf, Sir. Namanya Jas-mine, bukan Karmin.” Rangga melotot galak. “Kamu pikir saya tuli. Saya dari tadi sudah mendengarnya dengan jelas.” “i***t ini ...! Memangnya ada pria yang bernama Jasmine?” batin Angel merutuk manusia datar, dan galak ini tanpa henti. Kenapa tadi dia sempat simpatik pada pria PMS ini? Menyesal tidak langsung pergi saja tadi. “Pe-rem-puan, Sir. Jika anda ingin mengetahui data---“ “Kirim pesan apa dia?” Dih, kepo! “Mengajak saya makan siang, Sir.” “Baiklah, saya ikut makan siang dengan kamu.” Rangga mengambil dasi, ponsel serta jasnya, sedang Angel masih mematung tak mengerti. Apa maksud pria ini? “M—maaf, Sir. Kami hanya akan makan di kantin kanto---” “Ini!” Rangga mengambil tangan Angel dan meletakkan dasinya di sana. “Pakaikan!” What? .... Manusia gila! Jantung Angel berdetak hebat, bahkan dia yakin jika Rangga mendengar detak jantungnya saat ini. Apa lagi posisi pria itu sedikit membungkuk, sehingga wajah mereka hampir sejajar. “Kenapa malah melotot, ayo pasangkan!” paksa Rangga tak mau dibantah. Dengan tangan bergetar, Angel akhirnya menuruti perintah Rangga. Jantungnya terus bertali gelonjantan, apa lagi posisi mereka saat ini terbilang dekat, dan otomatis aroma parfum yang dikenakan pria ini sepenuhnya masuk ke dalam indera penciumannya. “Jantung gua! Tolongin jantung gua!” racau Angel dalam hati. Angel dan Rangga menoleh bersamaan saat mendengar benda terjatuh dari arah pintu. Di sana, di balik pintu ruang kerja Rangga yang sedikit terbuka, terlihat Jasmine yang menatap mereka syok—bahkan suara tadi itu ternyata ponselnya yang terjatuh dan masih teronggok di dekat kakinya. Hek! Angel menghampiri Jasmine buru-buru, tak mau jika sahabatnya salah paham dan menuduhnya yang tidak-tidak. “Gua berani sumpah, Jass, itu gak seperti yang lu lihat!” ucap Angel panik. Sementara itu, wajah Rangga sudah merah padam dengan napas tersendat, bahkan bibirnya sudah mengap-mengap mirip ikan kehabisan air. “Jass.” “Tunggu. Itu boss baru kita kenapa?” tunjuk Jasmine ke arah Rangga. Angel ikut menoleh, dan seketika dirinya menjerit, berlari menghampiri boss barunya yang tengah gelagapan karena tercekik dasinya sendiri. “Good, triple awasome. Pertama kalinya hari kerja gua begitu mengagumkan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD