BAB 2

1469 Words
~POV Ansel~ Aku barusaja break syuting di gedung X, seperti biasa, aku lebih suka pergi mencari angin daripadanya harus diam di lokasi. Hari ini, aku memutuskan untuk pergi ke taman dekat gedung X. Tapi baru keluar gedung tiba-tiba terdengar bisik-bisik suara perempuan yang kudengar menyebut namaku. Saat ku perhatikan penampilanku, aku baru sadar bahwa aku tak pakai masker ataupun topi. Masker ku bergelantungan di depan d**a, sementara topi yang biasa kubawa, entah dimana aku meninggalkannya. “Ansel Ansel ....” Suara bisik-bisik itu berubah menjadi teriakan yang sontak membuat aku berlari menghindar. Ya, mereka adalah fans garis keras yang ternyata ada di sekitar gedung. Aku terus berlari sebab kalau aku ladeni, bisa datang makhluk-makhluk lain yang sejenis dengan mereka. Aku pernah dengan senang hati menyambut mereka, tapi malah aku yang menjadi korban karena mereka tak mau antri. Mereka berebut untuk bisa mengambil kenangan lewat foto selfie bersamaku. Alhasil, aku yang jadi babak belur karena kesenggol ke sana kesenggol ke sini. Oh ya, perkenalkan aku Ansel Mahardika, aku lelaki yang pernah jatuh cinta dan pernah memiliki cinta. Tapi cinta pertama yang aku miliki, ternyata tidak mencintaiku dengan tulus, aku tak pernah ingin tau penyebabnya apa? Sebab saat itu, aku sedang memulai karir di dunia tarik suara bersama teman-teman grub band aku, The king. Boyband yang pernah meraih penghargaan sebagai boyband terfavorit di masanya. Tapi karena beberapa hal, aku memutuskan keluar dari grub band itu, dan memulai karirku sendiri di dunia akting. Alhamdulillah, karena aku memiliki tampang yang masuk dalam kategori ganteng, banyak orang yang mengidolakan aku dan mendukung semua langkah yang aku ambil. Menjadi aktor, bukanlah mimpi yang aku inginkan sepenuhnya. Tapi karena terlanjur masuk di dunia entertainment, aku jadi senang ketika aku melihat wajahku terpampang di banyak tempat. Kembali pada orang-orang yang saat ini mengejar ku, ternyata mereka adalah ibu-ibu berdaster dengan wajah yang masih segar untuk seumuran orang tua. Aih ... Bisa dikira mereka mengejar ku karena aku membuat masalah dengan mereka. Aku semakin bersemangat untuk mengambil langkah seribu, sebab tak ingin publik heboh kalau sampai muncul berita artis muda mengencani tiga wanita. Srak ... Saat melihat semak yang cukup rimbun di pojok taman, aku langsung melompat ke sana. Syukurlah, di bangku dekat semak yang menjadi tempat persembunyian ku, ada seorang gadis yang duduk dengan membaca buku. Gadis itu sama sekali tak terganggu dengan keributan dan ulahku yang melompat tepat di dekatnya. Sepertinya dia sedang belajar untuk ujian, makanya serius banget sampai tak menyadari keberadaanku di belakangnya. “Eh liat Ansel lewat sini, nggak?” perempuan yang tadi mengejar ku ternyata sudah sampai di tempat ini. Cepat juga mereka larinya. “Ansel? Ansel siapa, ya? Saya ga kenal,” jawab gadis yang mereka tanyai. Ya, gadis yang tidak ku tahu namanya itu menjawab demikian. Apa iya, dia tidak tahu siapa aku? Eh, tapi, kan dia bilang ga kenal. Emang aku sama dia belum kenal, tapi dia pasti tahu aku. Secara, aku, kan, artis. Aku memerhatikan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengejarku. Oh, astaga ... perut ketiganya buncit, artinya ketiganya sama-sama sedang hamil. Huft ... Untung aku bisa menghindar dari mereka, kalau tidak, aku bisa disangka anak dari bayi yang dikandung ketiganya. Bisa benar-benar berguncang dunia kalau sampai hal itu kejadian. Perempuan yang duduk dengan buku di depanku ini benar-benar menyelamatkan hidupku. Aku harus berterimakasih dan akan memberikannya imbalan dengan foto selfie nanti. “Masa, sih, ga liat? Orang tadi lari ke sini. Ya, kan?” salah satu diantara mereka bicara seolah meminta persetujuan pada temannya. “Iya, bener,” sahut yang lainnya kompak. Aku masih diam dengan tidak bergerak sama sekali. Aku tak boleh sampai ketahuan sama mereka. “Ya udah, yuk. Mending kita balik kelas aja. Kasian suami-suami kita nungguin.” Huft, akhirnya ... Hidupku selamat. Eh, tapi apa katanya tadi? Suami? Aish ... Jadi penggemar beratku kali ini adalah seorang ibu-ibu. Mulai sekarang, aku harus berhati-hati sebab penggemar dan idolaku sudah makin mendunia. Ketiga perempuan itu sudah pergi, aku memutuskan untuk keluar dari persembunyian ku, namun terlebih dahulu aku memakai masker dan hodie jaket yang aku kenakan. Untuk berjaga-jaga dari orang agresif seperti tiga perempuan tadi. Tap ... Aku melompat tepat di depan gadis yang sejak tadi membaca buku itu, dia sepertinya sudah akan pulang sebab buku yang tadi dia pegang sudah dia masukkan dalam tasnya. “Makasih, ya. Udah bantuin aku,” ucapku menunaikan niatku untuk berterimakasih dan memberinya imbalan selfie bareng setelah ini. Tapi sebelum melakukan itu, tentu aku harus melihat wajahnya untuk menilai apakah dia tipikal perempuan yang seperti umumnya atau tidak. Eh, tapi semua perempuan juga kalau sudah melihat wajahku sudah pasti histeris dan akan bertindak anarkis, persis seperti yang sudah-sudah. “Hmm ... Aku Cuma jawab seadanya. Aku ga tau siapa yang mereka cari.” What? Dia ga tau Ansel? Ansel Mahardika yang terkenal, apa iya dia tidak tahu? Mana jawabannya sangat jutek, belum aku ketahui dia jenis perempuan seperti apa? Eh, jawabannya sungguh membuat aku takjub dan terheran-heran. Aku memutuskan untuk memperkenalkan diri. Barangkali dengan begini, dia tidak menampakkan tampang jutek seperti ini. “Aku ....” “Aku harus pergi karena adek aku nungguin.” Belum juga memperkenalkan diri, dia sudah memotongnya, tidak sopan. Awas aja setelah liat muka aku! Aku membuka masker dan hodie jaket yang bertengger di atas kepalaku. “Tunggu! Aku masih mau ngomong sesuatu,” ucapku mengangkat wajahku tepat ketika masker dan hodie yang aku pakai sudah tidak lagi menutupi wajahku. Nah, ternganga, kan? Aku sudah menyangka akan seperti ini. Awalnya saja dia sok ketus karena belum melihat wajahku. Ya, aku sangat yakin semua orang pasti hafal dengan tampang baby face seorang artis terkenal, Ansel Mahardika. Aku tersenyum miring melihat ekspresi terkejutnya. “Aku buru-buru. Maaf,” ucapnya hendak berlalu. Apa? Lalu ekspresi tadi? Kenapa wajah dan cara bicaranya tidak bisa terbaca sama sekali. Ya, memang aku bukan seorang psikolog, tapi setelah sering berbincang dan dikejar-kejar perempuan, aku selalu benar ketika menebak tampang orang. Aku sungguh tak menyangka ada orang yang tidak mengenali aku di saat karirku sedang naik. “Ya udah, oke. Silahkan kalo emang sudah mau pulang,” ucapku pada akhirnya. Apa dia tak penah nonton TV? Aku masih belum percaya semu ini. Wajahnya dan bibir yang tanpa senyum saat menatapku tadi membuat aku sangat penasaran dengan perempuan itu. Ini menakjubkan! Aku memutuskan untuk mengikutinya diam-diam. Tentunya dia tak tahu itu, namanya juga diam-diam. Gadis itu masuk ke kedai makan dengan banner besar bertuliskan ‘Mari mampir’ Tentu, aku ikut masuk mengikutinya. Bahkan aku memberanikan diri menghampirinya. “Hai ... Sorry. Aku ga maksud ngikutin kamu, tapi ....” Kalimatku terhenti bukan karena aku gugup. Tapi aku tersadar bahwa aku melakukan kesalahan yang sama, aku lagi-lagi lupa memakai maskerku. Membuat seisi kedai langsung riuh begitu melihatku. “Eh, Ansel.” “Iya, Ansel. Itu Ansel Mahardika.” “Iya, bener.” Begitulah suara yang terdengar di telingaku. Namun, sudah kadung berhadapan dengan gadis ini, aku melanjutkan Kalimatku. “Aku Cuma mau bilang makasih,” ucapku lalu berlari keluar tanpa menunggu jawabannya. Ish ... Kali ini penggemarku menjadi bumerang karena aku harus berlarian ke sana ke mari sejak tadi. Aku bersembunyi di tempat parkir SuperMart yang bersebelahan dengan kedai Mari mampir. Sumpah, itu cewek unik banget. Aku masih terbayang wajah dan sikapnya. Dia sama sekali tak pandang bulu. Meski aku artis, tapi dia tidak seperti perempuan lainnya. Aku sangat tertarik untuk bisa kenal lebih jauh. “Dik ... Kamu ini, sudah tau breaknya Cuma sebentar. Masih aja kelayapan.” Tiba-tiba saja Paman Ade muncul, mengagetkanku. Aku hampir saja mau lari lagi, sebab aku mengira dia pelanggan resto yang masih mengejarku. “Iya kan, tetep aja break juga namanya,” jawabku santai. Paman Ade selalu saja galak kalau untuk urusan syuting. Padahal, waktu break adalah hal yang paling aku tak suka ketika di lokasi syuting. Bagaimana tidak, setiap kali break syuting, selalu saja ada yang mengacau waktuku. Ya, aku paling suka menyendiri. Tapi partner syuting yang seharusnya berada di tempatnya sendiri malah selalu datang ke tempatku. Entah, menawari makan atau berbasa-basi hal tak penting. Dan yang paling sering dia lakukan adalah menawari makan siang bareng. Cih, padahal dia tahu bahwa semua orang yang ada di lokasi syuting dapet jatah makan masing-masing. Jadi, satu-satunya cara menghindari makhluk satu itu, aku harus berkeliaran keluar lokasi syuting demi menyelamatkan diri dari sentuhan sok perhatian darinya. Jangan tanya namanya sama aku, biar author aja yang bilang, sebab menyebutkan namanya saja, bikin aku rasanya mau muntah. Hatiku didera gundah sebab rasa terpaksa yang mendominasi membayangkan lokasi syuting dengan perempuan yang selalu cari muka denganku di sana. Huft ... Bakalan ke neraka dunia lagi, aku. Jujur, aku masih ingin mengobrol dengan gadis yang tadi menolongku. Matanya bulat dengan pupil gelap yang meneduhkan. Tapi meski tatapannya meneduhkan, entah kenapa cara bicaranya malah berbeda, sinis dan tampak tak peduli sekitar. Dia seperti punya dunia sendiri, yang membuatku ingin masuk menjadi bagian di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD