BAB 3

1111 Words
~POV Author~ Ansel berlari, bersembunyi di tempat parkir SuperMart yang bersebelahan dengan kedai Bu Rena. Sumpah, itu cewek unik banget. Mengagumi kecantikan Naya juga sikapnya yang tak pandang bulu. Ansel masih saja berpikir, bahwa sebenarnya perempuan yang tak sengaja bertemu dengannya di taman tadi adalah salah satu fansnya. Ya, bisa jadi dia cuma so jual mahal aja. Ah, tapi buat apa? Ansel masih sibuk memikirkan apakah perempuan tadi benar-benar tidak tahu siapa dirinya atau tidak?! "Dik ... Kamu ini, sudah tau breaknya cuma sebentar. Masih aja kelayapan." Manager Ade menepuk pundaknya. Ansel terlonjak kaget, dia pikir pelanggan resto itu yang mengejarnya. Syukurlah, ternyata Manager-nya lah yang jauh-jauh datang dari rumah kontrakannya untuk mencari Ansel, karena ponakannya yang satu ini tak pernah bisa diam di lokasi. Ya, Manager Ade adalah paman sekaligus manager keartisan Ansel. Dia yang selama ini berperan besar dalam karir ponakannya. "Iya kan, tetep aja break juga namanya." Astaga ... Boleh tidak, sih, Manager Ade menoyor kepala Ansel sedikit saja? Kepala Manager Ade selalu dibuat pening karena Ansel selalu punya jawaban setiap kali dia tegur. Keduanya pergi menuju mobil Manager Ade yang terparkir tak jauh dari sana. Tak lupa, hodie jaketnya, Ansel tenggerkan lagi di atas kepalanya agar orang-orang tidak ada yang mengenalinya. Tak butuh waktu lama bagi Manager Ade untuk sampai ke lokasi syuting, sebab memang jarak gedung X dengan kedai Mari mampir tidak terlalu jauh. **** ~POV Author~ Sementara Naya, dia telah selesai membereskan kekacauan di kedai Bu Rena. Meski orang-orang yang tadi lari keluar kembali dan membayar, tetap saja, Naya akan membuat perhitungan dengan laki-laki yang menurutnya lebih cocok jadi perempuan itu. Naya pulang dengan membonceng Dinda naik motor skutik pink miliknya. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai ke rumah mereka. "Ayo, Kak, temenin Dinda nonton TV," rengek Dinda setibanya mereka di rumah. "Nanti, ya ... Kakak beresin rumah dulu." Naya harus mengajarkan adiknya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Menonton TV bukanlah hal yang baik menurut Naya. Dinda pun nurut, diam dan tidur di kamarnya. Tak terasa, malam telah menampakkan diri. Suasana terang di luar rumah, berganti gelap yang mengharuskan Naya menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Dinda. Selesai makan, Dinda kembali merengek untuk menonton TV. "Gimana kalo kakak temenin Dinda bobok sambil dibacain dongeng," ucap Naya. Mencoba membujuk adiknya lagi untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat. "Nggak. Dinda gak mau." Dinda menolak keras sembari bibirnya mulai bergerak kecil menyamping hendak menangis. Fiuh ... Untung besok Minggu! "Ya udah, oke. Ayo kita nonton TV." Pada akhirnya Naya mengalah. Dia mengikuti kemauan adiknya untuk nonton TV. Lagi pula malam Minggu seperti ini, Pak Leo dan Bu Rena sudah pasti pulangnya akan sangat larut nanti. Jadi tak apalah, Naya kali ini nonton. Aku hanya perlu menemani Dinda beberapa jam sampai dia tertidur, pikirnya. Naya menyalakan televisi dengan pikirannya yang masih tersangkut pada buku-buku pelajarannya. “Kakak. Ada pangeran!” Suara Dinda membuat Naya kaget. Buku pelajaran dan hal lain di otaknya sirna seketika saat matanya beralih ke layar televisi. Di sana, terdapat Ansel dengan perannya sebagai pangeran. Dia tengah memakaikan sepatu kaca pada seorang putri persis seperti dalam kisah Cinderella. "Itu pangeran yang sering kakak ceritain, kan?!" Dinda berucap dengan polosnya Hmm ... Sepertinya tidak asing, pikir Naya. "Iya, Sayang." Mengusap lembut puncak kepala adiknya yang menggemaskan itu. Pikirannya terus mencoba mengingat-ingat siapa sosok lelaki dalam TV itu?! Masa iya, aku kenal sama artis? Jangan lupakan bahwa Naya tak suka menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, jadi jangan harap dia bisa menonton TV seperti anak-anak seusianya. Dalam kisah Cinderella yang diperankan Ansel. Ending dari kisah itu adalah Pangeran mencium Cinderella tepat setelah memakaikan sepatu kacanya. “Oh, My God. Dia kan cowok yang tadi siang.” Naya teringat dengan lelaki yang tadi bertemu dengannya di taman. Jadi dia artis?! Melihat ending adegan yang membuat jantungnya sendiri ser-seran, Naya segera menutup mata adiknya. Dinda ga boleh liat beginian! “Aku masih bisa liat, Kak,” ucap Dinda dengan polosnya. "Ha?" Buru-buru Naya menarik tangannya dari mata Dinda, bersamaan dengan adegan ciuman yang sudah berganti dengan aneka tulisan yang bergerak ke atas. Karena gugup melihat adegan ciuman tadi, Naya sampai tak sadar bahwa jari-jarinya renggang saat tadi menutup mata adiknya. Ansel yang ciuman, Naya yang gugup. Maklum, ya ... Selama hidup dan menjadi remaja, Naya belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta, apalagi ciuman. Itu sesuatu yang langka dalam hidup seorang Naya. "B_buruan tidur. Udah malem, besok sekolah," ucap Naya gugup. "Kok sekolah? Besok kan hari Minggu," tukas Dinda. Huft ... Hanya akting loh padahal, tapi berhasil membuat Naya gemeteran sampai lupa hari. "Eh, iya. Tapi tetep, kita harus tidur awal biar besok bisa seger." Naya tak menyerah untuk membujuk adiknya tidur. **** "Akhirnya, aku menemukanmu. Bersediakah kamu menjadi ratu dalam hidupku?" Ansel berucap setelah memasangkan sepatu kaca di kaki Naya. Peris seperti dalam film yang Naya dan Dinda tonton semalam. Naya tersenyum, masih tak percaya pada apa yang terjadi saat ini. Matanya berkaca-kaca sebab tak bisa menahan haru. Akhirnya, hidupnya benar-benar ditemani seorang pangeran. Naya mengangguk disertai senyum yang tidak pudar dari bibit mungilnya. Ah, bahagianya ... Naya bahkan tak pernah membayangkan hal ini, bisa bersanding dengan seorang lelaki tampan dan terkenal seperti Ansel Mahardika ini. Padahal kemaren, Naya sudah berkata sinis dan bahkan jutek pada Ansel. Bahagianya hati Naya, memiliki pangeran nyata dalam hidupnya. Pun, pangeran di depannya benar-benar tampan, tak kalah dari pangeran-pangeran dalam film. Ansel bangkit dari posisinya yang sejak tadi berjongkok berada di depan Naya. "Kak Naya ...." Suara anak kecil membuat Naya menoleh ke kiri kanan. Ansel Mahardika yang sejak tadi membawanya dalam suasana romantis, seketika sirna di depannya. Yang terlihat hanya layar televisi yang masih menyala. Rupanya Naya ketiduran saat menemani Dinda nonton tadi. Alih-alih mengajak Dinda tidur, malah Naya duluan yang ketiduran. "Dinda udah ngantuk. Ayo temenin Dinda di kamar," ucap Dinda saat melihat kakaknya sudah seratus persen membuka mata. "Udah jam berapa sih, Dek?" Naya masih belum sepenuhnya sadar. Memang matanya sudah terbuka, tapi pikirannya masih terus memburu, ingin mengejar mimpi indahnya barusan. Mimpi tadi seolah sangat nyata baginya. Naya belum mau bangun dari tidurnya. Tapi Dinda .... Ah, gadis kecil menggemaskan ini berhasil membuat Naya mengorbankan sekilas mimpi indah yang tak ingin dia hentikan. Semoga saat tidur lagi nanti, mimpiku bisa berlanjut, batin Naya seraya mengekor Dinda ke kamar gadis itu. Mereka akan pergi tidur seperti biasanya di kamar Dinda. Mereka tidur bersama sampai orang tua mereka, Bu Rena dan Pak Leo pulang. Pak Leo dan Bu Rena sebenarnya pulang sejak jam enam sore, tapi karena sudah terbiasa, keduanya beristirahat dulu di kedai dan lalu pergi ke pasar membeli bahan untuk dimasak besok. Begitulah setiap hari, keduanya sampai di rumah setelah kedua anak mereka sudah terlelap dalam mimpinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD