First Kiss?

1144 Words
"Maaf, boleh saya cek undangannya?" tanya salah seorang staff berseragam lengkap, menahan salah satu tamu yang hendak melewati pintu. Zayda terkejut, mendadak diberhentikan dan mendapat pertanyaan semacam itu jelas saja membuatnya tersentak kaget. Semua mata memandang ke arahnya. "Undangan?" ulangnya. "Benar, nyonya. Perlihatkan undangan terlebih dahulu baru kami berikan akses agar dapat masuk," kata mereka. Butuh waktu hingga beberapa saat bagi Zayda menyadari ada yang salah di sini. Tidak biasanya seseorang ditanyai undangan ketika berkunjung ke sebuah hotel, kecuali tengah berlangsungnya suatu acara khusus. Zayda mulai paham situasi yang ia hadapi. Staff masih menunggu jawaban dari Zayda. Sementara di satu sisi bukan hanya undangan, gadis itu sama sekali tidak tahu menahu soal apapun karena ia datang diperintah oleh seseorang. "Astaga, Kalvin Dirgantara!" pekiknya, sedikit mengumpat dengan suara pelan. Wajah cantik itu spontan berubah kesal, nampak frustasi menahan luapan emosi yang memuncak di dalam d**a. Semua hal yang dilakukan oleh Kalvin Dirgantara bukan hanya sekadar aneh, namun tidak bisa ditebak dan penuh kejutan. Ini adalah tugas pertamanya sebagai asisten dosen sejak kesepakatan yang dibentuknya bersama Kalvin siang tadi, tetapi Zayda sudah mengutarakan begitu banyak keluhan. Sekarang bagaimana mungkin ia bisa bertahan? "Gue harus gimana lagi udah gak tau," desahnya, spechless dan putus asa menatap keramaian yang ada. "Kalvin Dirgantara orang paling nyebelin seantero duniaaa!" teriaknya, lepas. Zayda menyimpulkan ini adalah ulahnya si Kalvin, sebab pria itu pasti sudah tau kalau hotel ini tidak beroperasi sementara waktu. Namun, bukannya mengatakan informasi sepenting itu ia meminta Zayda datang tanpa persiapan apa-apa. Membawakan sesuatu yang ditolak olehnya saat Zayda memberi opsi dikirim melalui email saja. Tugas perkuliahan milik teman-temannya menjadi umpan empuk keisengan Kalvin padanya. "Gue gak tau apa yang ada dipikiran orang itu," gerutu Zayda, "Perasaan kerjaannya nyusahin doang. Bener-bener!" Mau tidak mau Zayda harus terusir dari tempat itu dikarenakan tidak masuk ke dalam daftar tamu. Namun belum ia meninggalkan lobby, seseorang memanggil namanya dengan sedikit berteriak. Nada bariton yang Zayda kenal. Merdu, bagai lantunan melodi pembawa kedamaian. "Pak Kalvin?" cicit gadis itu, menyebut nama yang hari ini sukses membuatnya begitu muak. Kalvin yang masih mengatur napas akibat berlari menatap Zayda dengan bingung. "Kenapa keluar lagi, Za? Saya udah nunggu kamu daritadi loh. Hampir sejam saya di bawah cariin kamu." Zayda mengangkat alis, memandang Kalvin dengan sinis. Sudah repot-repot kemari dan Kalvin malah mengkritik waktu kedatangannya yang terlambat? "Bapak kira saya yang mau pulang gitu aja?" ketus Zayda, melirik tajam. "Tuh, lihat! Saya gak bisa masuk, Pak. Katanya bukan tamu undangan, jadi yaudah saya pergi." Kalvin terbelalak, menepuk jidatnya. "Astaga!" Gadis bertubuh mungil itu memutar bola mata, terlihat malas. Reaksi Kalvin sangat terlambat baginya. Zayda sudah lebih dulu menahan malu karena ulang si dosen rese ini. Menyadari Zayda yang enggan berbicara padanya membuat Kalvin merasa tak enak. "Sorry. Masuk dulu, mau?" tawarnya. "Orang gak diundang kok mau masuk, yang ada diusir lagi gue," gerutu Zayda, berbisik sepelan mungkin. Gadis itu masih kecewa karena kelalaian Kalvin membuat moodnya memburuk. Sembari memberikan paperbag, Zayda berpamitan. "Saya mau pulang aja, Pak. Nih, yang Bapak minta. Di dalam tas ini udah ada laptop sama tugas-tugas anak kelas." Kalvin menerima paper bag itu dengan enggan, tangannya terulur ragu. "Sorry, Za." Katanya. "Sekali lagi saya minta maaf. Karena kesibukan schedule saya kamu yang harus repot datang ke sini. Saya benar-benar gak punya waktu free selain di acara makan malam ini, Za," lanjut Kalvin. Zayda tidak mengerti untuk apa penjelasan panjang lebar tersebut. Entah sebagai penyesalan atau karena merasa kasihan padanya. Yang jelas, Kalvin mengatakan alasannya terpaksa meminta bantuan Zayda karena esok hari ia sudah harus menghadiri pertemuan ikatan dokter di luar kota. Melihat Kalvin yang begitu diliputi penyesalan membuat Zayda luluh. "Its okay, Pak. Saya cuma kaget aja tadi. Sekarang udah gak apa-apa." "Makanya saya traktir. Mau, ya?" Kali ini Kalvin sedikit memaksa. "Sebagai permintaan maaf saya, tolong jangan ditolak." "Saya gak diundang loh, Pak?" Zayda menyernyitkan dahi, bingung dengan tekad sang dosen yang memintanya hadir di pesta ini. Kalvin tersenyum tipis. "No problem. Yang punya pesta teman saya, saya yang urus," ujar pria itu percaya diri. Karena Kalvin kekeuh sampai menggandeng tangan Zayda yang semula berniat pulang, gadis itu mau tidak mau pasrah mengekori. Tangan keduanya yang bertaut mengundang perhatian banyak orang. "Vin, your girlfriend?" Pria berjas putih bertanya dengan tak sabaran. Memandangi Zayda yang bersanding di sebelahnya. Dosen sekaligus dokter muda itu melambai acuh, tak menjawab pertanyaan dari sang tuan rumah penyelenggara pesta malam ini malah asik berpokus pada Zayda yang merasa gugup diperlakukan berbeda. "Pak, saya di pojok aja duduknya," bisik Zayda. "Saya gak kenal siapa-siapa di sini, lebih nyaman ke tempat yang sepi." Permintaan Zayda itu membuat Kalvin merenung sejenak. "Kamu ke sini sama saya, Za. Masa saya biarin kamu sendirian di pojok?" bantahnya. Kalvin tiba-tiba menunjuk suatu arah. "Lagian gak baik ke pojok-pojok. Lihat, orang-orang di pojokan pada ngapain!" arahnya, menuntun sudut pandang Zayda. Gadis polos itu awalnya tidak mengerti ucapan Kalvin, sebelum ia terbelalak melihat aktivitas para tamu yang sedang bertukar liur. Saling b******u satu sama lain, tanpa keberatan atau canggung mereka melepas euforia romansa dengan leluasa. "Wanna try?" bisik Kalvin, suaranya mendadak serak. Zayda refleks terbatuk tanpa sengaja, menyembur wajah Kalvin dengan air putih yang baru diminumnya. "Pak, Ya Tuhan! Maaf!" Sosok berkulit putih dengan mata hanzel itu buru-buru membersihkan wajah sang dosen dengan tisu, sembari mengomel protes. "Lagian bapak aneh banget pertanyaannya!" "Lho? Pertanyaan aneh apanya, Za? Salah kalau saya tawarin makanan ke kamu?" Kalvin berujar memperjelas niat baiknya. "Kamu aja kali yang mikirnya kemana!" Matanya menyipit menyadari isi kepala Zayda. Melihat betapa tengilnya Kalvin membolak-balikkan suasana membuat Zayda bersidekap takjub. Orang ini sungguh manipulatif! "Omong-omong, melihat reaksimu tadi saya jadi penasaran," tukas Kalvin. Zayda diam, menunggu lanjutan kalimat yang terjeda dengan gelisah. "Kamu belum pernah ciuman, ya?" tebak pria berkacamata itu, menyunggingkan senyum tipis segaris. Pembahasan yang terlontar dengan mudahnya seolah mereka adalah teman lama. "Sorry, saya cuma bercanda," imbuh Kalvin kemudian. Takut kalau Zayda merasa tak nyaman karena rasa penasaran berlebihannya. "Gak usah terlalu dipikirin, Zayda. Anggap asbun aja." Namun pembahasan soal ciuman tak berakhir sampai di sana. Justru berlanjut semakin panas ketika Kalvin mengikuti permainan di pesta. Meriahkan ulang tahun sahabatnya, Kalvin dipaksa bermain truth or date. Permaianan jebakan gila! "Karena lo kalah dan memilih dare, gua tantang lo kiss seseorang di pesta gua ini!" kata pria yang Zayda ingat dikenalkan Kalvin sebagai si yang berulang tahun. Teman Kalvin yang lain, Zayda dengar namanya Kahfi menyahut penuh semangat. "Kiss siapa? Ngaco banget lo, dia gak punya pacar woi!" "Ada, yang tadi bareng ke sini!" balas pria ikal yang menjebak Kalvin dalam permainan, Erik. Teman SMA mereka. Semua mata terarah pada Zayda. Gadis itu merasa dunia berhenti kala mata Kalvin beradu tatap dengannya. Spontan Zayda menggeleng, menolak ide gila tersebut dalam kebisuan. Raut wajah Kalvin berubah dingin, pria itu melangkah maju menuju posisi Zayda berdiri. Tanpa mengucap kata apapun ia mendekatkan wajahnya ke wajah gadis yang mematung. "Sorry, Za," bisik Kalvin. Mendaratkan ciumannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD