My Soul Is You - 2

1913 Words
Entakan suara keras musik, kian membuat semua orang berseru dan bersemangat meliukkan tubuh di dance floor. Sayangnya, hal itu tak berlaku bagi gadis bersurai hitam sebatas bahu yang lebih memilih meneguk minumannya secara perlahan, sembari duduk di kursi bar, mengamati kehebohan teman-temannya. Menggelengkan kepala, ia meneguk sisa cairan yang rasanya seperti membakar tenggorokan, tapi tak membuatnya kapok untuk memesan satu gelas lagi pada sang bartender yang dengan sigap tengah meracikan minuman untuk para pelangg*n. "Oy! Cay! Dari tadi di sini mulu. P*ntat lo nggak keram?" Dengan napas yang sedikit terengah-engah, usai menggila di dance floor tadi. Wanita berambut merah yang diikat menjadi ponytail itu mengejutkan Calya. "Ck! Ngagetin aja lo!" Alih-alih meminta maaf, gadis itu tergelak. Memanggil sang bartender dan memesan minuman untuk memulihkan tenaganya. "nyebur sana, sama anak-anak. Daripada bengong sendirian. Kesambet tau rasa lo." "Kalau aja nggak gue usir tiap cowok yang ngajak kenalan. Lo nggak akan liat gue sendirian." "Ya, terus? Kenapa lo usir mereka?" "Malas," mengedikkan bahu tak acuh, Calya menjawab. Sebelum kemudian mengucap terima kasih pada bartender yang sudah menyuguhkan minuman pesanannya. "Ck! Coba dulu kali. Ya ... Setidaknya, jadi temen ngobrol kek. Jangan baru say hi udah lo bikin good bye!" Menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, Calya tak mengindahkan celotehan temannya. "Gue cabut." Usai menghabiskan minumannya yang memang digelas kecil dalam satu tenggak, Calya berpamitan. "Lah, cepet amat? Ya ampun Cal, please deh, masih sore udah mau cabut?" "Masih sore? Ngomong-ngomong ini udah jam satu dini hari." "Nggak usah sok ya, Cal. Biasa lo balik pas matahari mau jinjit ngasih tau pagi." "Kali ini nggak deh. Ngantuk berat gue. Tolong sampaikan maaf ke anak-anak, gue balik duluan ya." Usai membayar semua minuman yang dipesannya, Calya mencangklong tas ke bahu kirinya. Sebelum kemudian, mengangkat tangan kanan, dan melambai singkat pada temannya yang hanya bisa mencebik sebal, karena tak bisa menahannya lebih lama, Calya berlalu pergi. Sesampainya di dalam mobil. Calya mengela napas. Menyugar rambut, gadis itu mulai menyalakan mesin dan melajukan kendaraannya.  Setelah berkendara beberapa lama, Calya memarkirkan mobilnya. Alih-alih menuju rumah agar bisa melemparkan diri ke atas tempat tidur, meluruhkan rasa lelah yang mulai merongrong tubuh. Calya justru mengendarai mobilnya ke sebuah tempat yang sudah jarang ia datangi. Sebuah kafe milik salah seorang sahabat kakaknya. Dan dimiliki sosok yang sejak dulu mengusik hatinya.  Calya pikir, perasannya sekadar cinta m*nyet yang nantinya akan sirna dengan berjalannya waktu. Sayang, sekali pun terus ia pungkiri. Perasaan itu masih saja menggebu-gebu. Dia bukannya tak berusaha. Bahkan, demi meluruhkan rasa pada sosok cinta pertamanya itu, Calya mencoba menjalin hubungan dengan beberapa pria. Sayangnya, tak ada yang langgeng. Tak sampai sebulan, ia sudah merasa bosan dan jenuh.  Mengelabui perasaan sendiri benar-benar melelahkan. Pada akhirnya, Calya menyerah. Dia ... Tak bisa lagi berpura-pura, karena rasa yang dulu tetap bercokol dan mengakar kuat. Lalu sekarang apa?  Menggigit kuku jempol, Calya mengela napas panjang. Sebelum kemudian melipat kedua tangannya di atas setir mobil dan meletakkan kepalanya di sana. Mengistirahatkan diri sejenak, dari berbagai hal yang kini merumitkan pikiran. Tubuh Calya berjengit, saat suara ketukan pada jendela mobilnya tertangkap pendengaran. Menegakkan tubuh, gadis itu sempat ketakutan, jika yang melakukannya adalah orang yang berniat buruk padanya. Tapi ... Menyadari siapa yang berdiri di samping mobilnya membuat Calya segera membukakan kaca jendela. "Kak?" "Ngapain di sini?" Membenahi rambut, Calya berdeham, "aku—" "Kamu minum?" "Hah?" Mengerjap, Calya tak sempat menyelesaikan ucapannya karena Hasta, sosok yang terus bergentayangan di benaknya, kini berdiri di samping mobilnya. "Ayo masuk." "A—aku ... Sebaiknya pulang. Mungkin lain kali. Tadi itu ... Mau mampir ke kafe Kak Hasta. Tapi aku lupa kalau sudah tutup." Tersenyum canggung, Calya ingin sekali membenturkan kepalanya di setir mobil dengan keras. Kesal karena memberi alasan konyol. Sudah tau kafe Hasta hanya beroperasi sampai jam sembilan malam. Dan sekarang pukul satu dini hari. Jadi alasan yang baru saja ia sampaikan terlalu mengada-ada. Tapi mau bagaimana lagi? Calya panik karena tertangkap basah oleh Hasta. Semoga saja, pria itu tak berpikiran jika dirinya adalah seorang penguntit. Mau dikemanakan harga dirinya yang selalu dijunjung tinggi itu? "Turun, aku nggak kasih izin kamu pulang dalam keadaan seperti sekarang?" Mengerutkan kening, Calya tampak tak mengerti dengan apa yang Hasta maksudkan? "K—keadaan ... Yang bagaimana?" "Kamu abis minum. Jadi rawan berkendara sendirian." Terkekeh, Calya menggeleng kecil. "Astaga Kak, aku nggak selemah itu. Buktinya, aku bisa sampai sini kan? Jadi, nggak ada masalah kalau melanjutkan perjalanan menuju rumah." Dengan wajah datar, Hasta tak membalas. Pria itu justru membukakan pintu mobil Calya dan bersikeras meminta gadis yang merupakan adik dari sahabatnya itu keluar. "Turun," ucapnya bak sebuah titah yang tak bisa terbantahkan. Mengela napas, Calya meraih tas miliknya dan turun dari mobil. Mengekori Hasta yang berjalan lebih dulu dengan kedua tangan yang tersembunyi di dalam saku celana. Si*lan! Bahkan, hanya dengan hal kecil seperti itu saja, Hasta tampak s*ksi di mata Calya. Dan, oh ... Lihat punggung itu? Rasanya, dia ingin berlari dan memeluk pria itu dari belakang. Menyandarkan kepala di punggung tegap yang begitu sandaranable. Menggeleng-gelengkan kepala, Calya berusaha mengusir suara-suara yang mengerubunginya saat ini. "Berhenti berpikir kotor!"  Plak! "Astaga!" Hasta yang baru saja membalik tubuh, tampak terkejut mendapati Calya yang menampar wajahnya sendiri. "Cal, kamu kenapa?" Mengerjap, Calya tak hanya ingin menampar dirinya sendiri. Tapi juga menghilang dari hadapan Hasta detik ini juga. Si*lnya, ia tak memiliki kemampuan semacam itu. Tertawa hambar, Calya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah sembari menggeleng. "Nggak kok Kak, tadi ada nyamuk." Meski tampak tak yakin, Hasta akhirnya mengangguk dan membukakan pintu untuk gadis itu. "Masuk," ucapnya sembari berdiri di sisi yang tak menghalangi Calya. Menggumamkan terima kasih, Calya mengusap belakang lehernya untuk mengaburkan kegugupannya sembari berjalan masuk. Berdiri canggung, ia memerhatikan Hasta yang baru saja menutup pintu.  Hasta mengajak Calya ke ruang kerjanya yang berada di lantai bawah. "Aku buatkan minum dulu. Kamu duduk aja." "Ng—nggak usah Kak. Aku sudah terlalu banyak minum sampai perutku kembung." "Justru itu, karena kamu terlalu banyak 'minum', aku harus membuatkan sesuatu." Menyadari pesan tersirat dari yang Hasta ucapkan. Calya hanya bisa mengangguk kaku. Membiarkan tubuh tinggi dan tegap Hasta menghilang usai melewati pintu keluar. Mendudukkan diri di sofa panjang yang berada di ruangan Hasta. Calya menyandarkan punggung sembari mengela napas panjang. Menatap langit-langit ruangan, gadis itu memijat pangkal hidungnya.  Astaga ... Bagaimana bisa? Jika sebelumnya, Calya dibuat frustrasi karena terus teringat Hasta. Tapi sekarang, ia justru terdampar di ruangan pria itu. Suara keriuhan hujan yang menghantam atap membuat Calya menegakkan tubuh dengan cepat. Bangkit dari duduknya, gadis itu berderap menuju jendela. Menyingkap tirainya, hingga bisa menangkap keberadaan hujan yang tampak deras di luar sana.  Oh, apalagi ini? Selain terjebak Hasta, ia juga harus terjebak hujan begitu? Menyugar rambut dengan gerakan frustrasi, Calya mengela napas panjang. Baiklah, yang perlu ia lakukan hanya berkendara hati-hati. Di saat dini hari disertai hujan yang mengguyur dengan lebat. Entah berapa lama Calya berdiri sembari memandangi hujan dari jendela. Karena, kesadarannya baru kembali saat mendengar suara pintu terbuka, mengalihkan atensinya pada sosok yang membuat jantungnya berdegup kencang hanya dengan bersitatap. "Hujan," lapor Hasta yang sejujurnya ... Sesuatu yang tak perlu, karena beberapa saat tadi, sebelum pria itu masuk ke dalam ruangan ini, Calya tengah meratapi nasibnya dengan memandangi guyuran hujan lebat di luar sana. "I—iya Kak." Mengangguk kaku, Calya beranjak dan kembali ke tempat duduknya dengan Hasta yang tengah menata apa yang pria itu bawa. Tak sekadar minuman pereda mabuk, tapi juga sebuah sup yang masih mengepulkan uap panas. Di tambah buah pisang dan satu teko air putih. Bagaimana mungkin pria itu berpikir, perut Calya masih memiliki tempat untuk semua itu? "Habiskan, walaupun nggak sampai hangover, tapi tetap saja, lebih baik kamu redakan mabuk kamu. Karena besok pagi, bisa saja bikin kondisi tubuh nggak enak." Mengucap terima kasih, Calya mulai meminum dan menyantap apa yang sudah Hasta siapkan untuknya. Sejenak, keduanya terjebak bungkam. Hanya keriuhan hujan di luar sana yang mengoyak sepi diantara mereka. Selagi menunggu Calya menyelesaikan makan dan minumnya, Hasta memilih memainkan ponsel. Mengendapkan rasa gugup, Calya berdeham. Mencuri pandang pada sosok rupawan yang duduk di sampingnya. "K—Kak Hasta, habis dari mana? Kok ... Baru balik dini hari?" Usai kalimat itu terucap, Calya mengigit bibir bawahnya, menyesal bertanya seperti itu. Dia takut jika Hasta menilainya sebagai seseorang yang terlalu ingin tau urusan orang lain. Beruntung, alih-alih terganggu atau sebal. Hasta menjawab dengan santai. "Dari rumah ortu. Tadinya disuruh nginep. Tapi nggak bisa karena ada banyak pekerjaan." Mengacak rambut, Hasta mengela napas. Saat mengigat kembali wajah memerah sang Mama yang marah karena dia sudah mengacaukan rencana wanita paruh baya itu dalam kencan perdana yang di susun untuknya. Seperti yang Hasta duga, semua kekacauan yang ia dan Arya perbuat akhirnya sampai ditelinga sang Mama. Ia bahkan di interogasi jauh lebih lama. Termasuk menanyakan kebenaran akan aduan tentang dirinya yang menjalin hubungan dengan seorang pria. Hasta membantah. Dan terpaksa mengakui kalau itu sekadar akal-akalannya saja agar terlepas dari kencan buta rancangan sang Mama. Hasta pikir, Mamanya akan menyerah dengan kejadian itu. Tapi justru merasa lebih tertantang dan menyiapkan kencan buta lainnya untuk Hasta. Hal yang membuat pria itu pusing. "Kak?" Suara Calya menyadarkan Hasta dari lamunannya. Mengerjap, ia bergumam untuk melempar tanya tanpa kata untuk Calya. "A—aku sudah selesai. Terima kasih untuk semuanya. Aku pamit pul—" "Kamu masih mau pulang padahal tau di luar hujan?" Tak membiarkan Calya menyelesaikan ucapannya, Hasta bersedekap tangan.  "T—tapi ... Aku harus pulang. Ini sudah malam—oh, bukan, bahkan nyaris pagi." "Ya, dan kamu tau. Selain faktor kamu mabuk meksipun tidak parah, lalu di tambah hujan di tengah malam, belum lagi kemungkinan kamu mengantuk saat berkendara, itu jelas sangat berbahaya." "Tapi Kak, aku—" "Tidur di sini?" "A—apa?!" Beruntung, suara hujan sedikit menyamarkan pekikan yang baru saja Calya lakukan. Dia tebelelak tak percaya. Bahkan ingin sekali rasanya mengorek telinga dengan jari kelingking, sekadar memastikan, jika pendengarannya tak bermasalah. "Ini sudah larut malam, dan hujan makin deras. Terlalu bahaya kalau kamu memaksa pulang. Jadi sebaiknya, menginap di sini. Soal mobil, nggak perlu khawatir, aman kok." Mobil mungkin aman. Tapi jantung Calya bagaimana nasibnya? Berdeham, Calya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, sebelum kemudian merapatkan duduknya dengan Hasta. "Memangnya ... Tempat tidurnya muat?" Mengangguk santai, Hasta menjawab pertanyaan Calya. "Tentu saja, ukurannya king size, luas kok." Mengigit bibir bawah, dengan memainkan jari di atas pangkuan. Calya tak tau bagaimana mendeskripsikan keadaannya saat ini. Apa sebuah musibah? Atau justru berkah? "Sudah, sebaiknya istirahat sekarang." Melarikan pandangan sejenak pada penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya, Hasta menemukan jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Waktu benar-benar berjalan begitu cepat. "B—baiklah," bangkit dari duduknya. Calya mengulum senyum, berusaha tak memperlihatkan wajah antuasiasnya. Karena itu jelas akan memalukan. Hasta mengangguk dan membereskan peralatan makan yang tadi Calya gunakan. Meletakkannya di atas baki, pria itu berdiri. "Selamat tidur, kalau butuh sesuatu telepon aja ya." Mengerutkan kening, Calya dilanda kebingungan. "T—telepon?" Kenapa dia harus menelpon Hasta jika membutuhkan sesuatu? Bukankah, tinggal membangunkannya, karena pria itu tidur di sampingnya? "Iya, atau kamu mau turun ke bawah buat bangunin?" "T—turun ke bawah?" Mendengar Calya yang mengulang beberapa ucapannya membuat Hasta ikut dilanda bingung. "Iya, kan aku tidur di sini. Jadi kalau kamu butuh sesuatu yang nggak tau, tinggal telepon. Jadi nggak perlu repot-repot turun ke lantai bawah dan bangunkan aku di sini." Jika ini dunia kartun, pasti sudah ada batu besar yang menimpa kepala Calya saat ini juga. Astaga ... Ini benar-benar memalukan! Bisa-bisanya berpikiran jika mereka akan tidur bersama. Di mana Calya bisa menemukan obat pereda rasa malu?   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD