Melarikan pandangan pada penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya, Hasta mengela napas. Sebelum kemudian meneguk minuman yang isinya sudah tinggal setengah gelas.
Sudah hampir sepuluh menit dia menunggu, sosok yang harus ditemuinya belum juga memunculkan diri. Jika saja tak mengingat wajah marah dan omelan panjang dari sang Mama yang akan ia dapatkan, maka Hasta tak akan pikir dua kali untuk beranjak pergi dari restoran yang menjadi tempat kencan butanya. Ya, siapa lagi dalang dari semua ini juga bukan wanita paruh baya yang sangat dicintainya itu?
Beralasan, Hasta tak juga bisa mengajak wanita pilihannya. Jadi sang Mama, mulai melancarkan aksinya untuk membuat daftar panjang kencan buta bagi Hasta bersama para wanita pilihannya.
Suara dering ponsel membuat fokus Hasta yang sebelumnya menatap pintu masuk, berharap wanita yang akan dikenalkan sang Mama segera memunculkan diri, agar ia bisa segera mengakhiri acara kencan buta ini. Beralih pada benda pipih yang tergeletak di atas meja dan terus berdering meminta perhatian. Meraihnya, Hasta mendapati nama salah satu sahabatnya.
Menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan, Hasta menempelkan ponsel ke telinga kanannya. "Ha—"
"Masih lama nggak sih?! Astaga Has, gue bisa lumutan ini."
"Orangnya belum datang, Ar."
"Ish! Belum apa-apa udah ngaret. Langsung blacklist dari daftar calon potensial buat lo. Pokoknya, kalau—"
"Mas Hasta?"
Ocehan Arya di seberang sambungan tak lagi Hasta dengarkan saat suara lain memanggil namanya. Membuat Hasta meletakkan atensi pada sosok yang kini berdiri di samping meja yang ditempatinya.
Menurunkan ponsel dari telinga kanannya. Tanpa mematikan sambungan, Hasta menganggukkan kepala, dan mempersilakan wanita yang tengah berdiri canggung itu untuk duduk.
"Maaf ya Mas, terlambat. Aku tuh galau mau pakai baju apa buat ketemuan sama Mas Hasta. Dari empat lemari baju yang aku punya, nggak ada yang cocok. Yaudah deh, akhirnya ke butik langganan. Cari-cari yang bagus, pas udah dapat, eh, malah diembat sama perempuan nyebelin. Untung aku hebat, jadi bisa menang dari dia. Tau nggak sih, Mas? Dapetin baju ini butuh perjuangan."
Menggaruk ujung hidung, Hasta hanya bisa meringis sembari menganggukkan kepala dengan kaku. Mereka bahkan belum berkenalan secara resmi tapi wanita di depannya sudah bercerita panjang lebar.
"Ekhm! Mau pesan apa? Dina? Itu nama kamu kan?"
"Iya, aku Dina." Menyelipkan anak rambut sebatas bahunya ke belakang telinga, wanita itu menatap Hasta dengan senyum malu-malu. "Mas Hasta, ternyata lebih ganteng dari yang di foto ya? Aku tuh tadinya malas banget disuruh Mami buat kencan buta kayak gini. Berasa nggak laku aja, Mas. Padahal ya, aku tuh banyak banget yang suka. Tinggal cap cip cup sambil merem juga langsung dapat. Tapi ya, aku tuh terlalu pemilih. Makanya jarang kelihatan gandeng pasangan. Wajar kan ya, Mas? Kalau kita memilih pasangan dengan banyak pertimbangan. Mas Hasta juga pasti begitu kan? Makanya masih sendiri. Berarti kita ada kesamaan loh, Mas." Dina terkikik sembari menutup mulutnya dengan punggung tangan.
Mengelus belakang leher, Hasta hanya bisa mengangguk. Dia bingung harus merespon seperti apa? Dan memilih memanggil pelayan, memesankan makanan untuk dirinya dan teman kencannya, hasil dari konspirasi sang Mama.
Sepanjang keduanya menyantap makanan. Wanita di depan Hasta tak berhenti mencelotehkan banyak hal. Dan Hasta, hanya bisa memberi tanggapan berupa anggukan kepala, senyuman kecil, atau kata 'ya', 'tidak', atau 'oh'.
Meletakan gelas di atas meja. Dina mengelap bibir dengan gerakan anggun. Dia tak menyangka jika pria yang menjadi teman kencan butanya begitu memesona. Astaga ... Selera sang Mami memang bukan kaleng-kaleng. Tau sekali calon mantu potensial dari segi fisik, maupun isi dompet. Dengar-dengar, selain memiliki restoran sendiri, Hasta juga putra tunggal salah satu pengusaha ternama.
Mengherankan, bagiamana mungkin pria potensial macam Hasta masih saja melajang? Bukankah akan ada banyak wanita yang mengantri untuk mendapatkannya? Oh, atau mungkin, Hasta yang terlalu selektif?
Astaga ... Dina melupakan satu hal, mungkin, memang sudah takdirnya Hasta bersanding dengan—
"Sayang!" Lengkingan suara yang mengusik pendengaran itu memutus lamunan Dina. Mengerutkan kening, wanita itu memperhatikan seorang pria yang tengah merengut masam.
"Mas, dia ... Siapa? Temannya Mas Has—"
"TEMAN?!" Jeritnya hingga beberapa pengunjung lain menoleh kearah meja mereka. Mungkin karena keributan yang ditimbulkan.
Berdeham, Hasta berusaha menguatkan diri. Dia tau, ini adalah hal gil*. Tapi mau bagaimana lagi? Jika bisa melepaskannya dari jeratan kencan yang tak diinginkan. Maka terpaksa ia lakukan. Meski mungkin, harus menebalkan muka agar terlihat meyakinkan.
Merubah ekspresi wajahnya, Hasta mulai mengikuti permainan. "K—kamu ngapain di sini?" Tanyanya tergagap, dengan raut terkejut seolah tertangkap basah tengah berselingkuh.
Tanpa dipersilakan, sosok itu menarik kursi di samping Hasta. Mendudukkan diri sembari bersedekap tangan. "Kenapa? Kaget aku di sini?"
"B—bukan begitu."
"Udah deh! Nggak usah beralasan." Ucap sosok di samping Hasta sembari mengibaskan tangan di depan wajah. "T—tega ya kamu lakukan ini sama aku? Kurangnya aku apa sih?" Menghambur ke pelukan Hasta dengan begitu tiba hingga Hasta nyaris terjengkang dari tempat duduknya. Ia mengenakan tetes mata yang sejak tadi digenggamnya. Lalu memasukannya lagi secara tak kentara ke dalam saku kemeja.
Melepaskan diri, dengan wajah berurai obat tetes mata. Ia menatap sengit wanita yang terbengong di depannya. "Kamu jangan mimpi ya, rebut cowok aku!"
"C—cowok kamu? T—tapi kan, kamu juga ... Cowok?" Dina meneguk ludah kelu. Seolah ada batu besar yang baru saja mengganjal tenggorokannya. Menggeleng tak percaya, wanita itu meletakkan atensi pada Hasta yang hanya bisa terdiam di tempat duduknya. "Mas, ini maksudnya apa?"
Menyugar rambut dengan gerakan frustrasi, Hasta menatap sendu Dina yang mulai ketakutan dengan isi pikirannya. Nggak! Nggak mungkin kan kalau Hasta ....
"Maaf Din, aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita ke tahap mana pun. Karena, aku ... Sudah memilki seseorang." Meraih tangan sosok di sampingnya, Hasta menguatkan diri, terlebih, melihat mata Dina yang sudah berkaca-kaca. "Dia ... Kekasihku."
SRAK!
Suara derit kursi yang terdorong kasar membuat perhatian tertuju pada Dina yang sudah bangkit dari tempat duduknya. "Aku nggak terima ya diperlakukan seperti ini!" Mencangklong tas mahalnya ke bahu kiri. Dina meraih gelas minumannya dan menyiramkannya ke wajah Hasta. "Dasar brengs*k!" M*kinya sebelum kemudian beralih pada sosok yang berada di samping Hasta. Meraih mangkuk berisi krim sup, Dina menumpahkan ke atas kepala pria itu yang menjerit hingga semua orang terkejut melihat kekacauan yang terjadi.
"Rasakan!" Sinis Dina sebelum akhirnya beranjak pergi dengan kemarahan yang menggebuk d*da.
"Anjir! Cewek gil*! Astaga ... Wajah tampan gue ternoda."
Meraih dompet dari saku celananya. Hasta memanggil pelayan dan meminta tagihan. Mengabaikan raut kepo tapi segan dari pelayan yang melayaninya. Hasta segera membayar semua makanan dan minuman yang dipesannya. Sebelum kemudian menarik pria di sampingnya untuk segera pergi. Mengabaikan setiap mata yang memerhatikan dan mengikuti keduanya dengan rasa penasaran yang bergentayangan di kepala.
Sesampainya di parkiran, Hasta segera masuk ke dalam mobil dan membanting pintunya hingga berdebum keras. Di kursi penumpang, sosok yang sejak tadi menggerutu ikut mendudukkan diri.
"Kalau si Dina ngadu ke Mama gimana, Ar?"
Arya yang tengah menarik beberapa lembar tisu dari kotaknya yang berada di atas pangkuan menoleh, "ya nggak gimana-gimana Has. Paling lo di coret dari KK." Jawabnya santai sembari mengedikkan bahu.
Berdecak sebal, Hasta ikut mengambil beberapa lembar tisu dengan gerakan kasar. Seolah menyalurkan rasa kesal yang tengah merongrongnya. "Lagian, lo bikin ide ekstrem banget tau nggak? Dan beg*nya gue yang mau-mau aja ikutin ide gil* lo ini."
"Heh, lo harusnya makasih. Gue udah bantu dengan sangat totalitas sampai diguyur krim sup. Untung aja udah nggak panas. Astaga, bisa meleleh kepala gue kalau itu sup masih ngepul."
Mengacak rambut, Hasta hanya bisa mengela napas. Sekarang, dia harus menyiapkan diri menerima amukan sang Mama. Sejujurnya, Hasta terpaksa melakukan hal ini. Dia sampai menyetujui ide gil* dari Arya demi menghindari perjodohan yang sang Mama susun.
Entahlah, bukannya tak mau mencoba. Tapi ... Hasta hanya tak ingin dipaksa. Kalau pun dia menginginkan seseorang menjadi pendamping hidupnya. Itu benar-benar dari hatinya. Karena sejak dulu, Hasta tak pernah coba-coba dalam menjalin sebuah hubungan. Terlebih, diusianya yang sekarang.
"Has, buruan cabut. Gue harus mandi kembang ini. Biar nggak kena si*l lagi."
Berdecak, Hasta akhirnya menyalakan mesin mobil dan menjalankannya menuju apartemen Arya. Dia tak mungkin kembali ke restoran dengan keadaan kacau seperti sekarang. Meski bisa saja masuk lewat pintu belakang. Tapi tak menjamin anak buahnya tak menangkap basah keberadaannya.
Sesampainya di apartemen Arya. Hasta langsung masuk ke dalam layaknya hunian sendiri. Dia bahkan mengabaikan sang tuan rumah yang misuh-misuh di belakang punggungnya. "Gue numpang mandi sekalian pinjem baju lo." Melambaikan tangan singkat tanpa menoleh pada Arya, Hasta sudah melenggang masuk ke dalam kamar sahabatnya.
"Punya sahabat dua biji, minim akhlak semua, heran! Untungnya, selain terlahir tampan, gue juga sabaran." Menggelengkan kepala sembari berdecak-decak. Arya mengempeskan tubuh lelahnya yang juga lengket terkena krim sup ke atas sofa.
"Has! Jangan lama-lama mandinya, nanti jadi putra duyung lo!" Melepas kemejanya dan kaus dalam hingga bertelanjang d*da. Arya menaikkan kakinya ke atas meja sembari disilangkan. Selagi menunggu, ia memilih menonton tv. Tapi suara bel mengusik pendengaran. Membuat pria itu akhirnya bangkit dari duduknya dan berderap menuju pintu. "Iye ... Bentar, astaga ... Nggak sabaran banget sih?" Omel Arya pada tamunya yang terus menekan bel tanpa henti. "Ini lagi jalan, oy! Lo pikir gue bisa terbang atau langsung nongol depan pintu?"
Membuka pintu apartemennya, Arya mengerjap, mendapati Bastian sebagai pelaku yang sudah mengusik ketenangannya. Tapi, perhatian Arya tertuju pada sosok mungil yang berada digendongan sahabatnya.
"Ar! Gue titip Nana bentar ya! Ada meeting dekat sini, gue nggak mungkin ngajak dia. Emaknya lagi diculik Calya. Mau ke rumah nyokap mepet waktunya. Jadi tolong jaga anak gue baik-baik ya. Jangan sampai lecet seujung kuku pun." Oceh Bastian panjang lebar dengan nada panik dan terburu-buru. Mengingat, meeting yang harus dihadirinya tinggal beberapa menit lagi. "Ini meeting harusnya besok, tapi tiba-tiba dimajukan. Mana gue udah iyain Wening buat dititipi Nana sebentar karena kerjaan gue lagi nggak padat. Eh, njir, ngapain lo nggak pake ba—"
"Siapa?" Dari arah belakang Arya, muncul sosok Hasta yang tengah mengusap rambut basahnya dengan handuk.
"Ayah!" Seru gadis kecil digendongan Bastian yang meronta-ronta sembari merentangkan tangan, menginginkan gendongan Hasta yang dengan sigap menerimanya.
"Nana kok gitu? Dady di depan mata diabaikan." Memberengut, Arya mendengkus saat Bastian mentertawakan sahabatnya yang diabaikan putrinya.
"Jangankan lo, gue aja kadang kalah saing." Menepuk-nepuk pundak Arya, Bastian mencoba memberi penghiburan. Karena putrinya memang cukup lengket dengan Hasta. Tak jarang, hal itu menimbulkan kecemburuan pada Bastian. "Eh, lo berdua abis ngapain hayo? Kok yang satu nggak pake baju, yang satu rambut basah abis keramas?"
"Lo ganggu kita yang lagi program kasih adek ke Nana—aduh! Heh, kok gue di toyor?"
"Lo jangan mencemari otak anak gue yang masih suci ya, Ar!"
"Heh, lo yang tadi mancing-mancing. Dasar bapak-bapak labil."
"Gue nanya!"
"Lo mancing!"
"Mancing tuh di rawa-rawa."
"Mancing ya di empang biar dapat banyak. Ngapain lo ke rawa-rawa?"
Memejamkan mata sejenak, Hasta menggeleng melihat tingkah kedua sahabatnya yang tengah memperdebatkan hal tak penting. "Bas, kalau nggak salah dengar, tadi lo bilang lagi buru-buru mau meeting. Dan lo Ar, buruan mandi sana. Aroma lo menggangu indra penciuman gue."
Mengerjap, Bastian berdeham. Dia kemudian mencium dan berpamitan pada putrinya. "Tolong jagain anak gue ya, Has. Jangan sampe masa depannya suram karena dijejali ocehan nggak berfaedah Arya. Sayang, Papa kerja dulu demi taman main pribadi kamu sama kalung berlian buat Mama ya." Menatap polos, Tiana menganggukkan kepala hingga dua kuncir rambutnya bergerak-gerak. "Ingat Ar, jangan racunin hal-hal aneh ke anak gue!"
"Astaga ... Ini manusia satu. Heh! Lupa lo waktu jadi gelandangan cinta, siapa yang jadi ibu peri baik hati yang memberi pertolongan?"
"Nggak baik kebaikan diungkit-ungkit, nanti pahala lo di cancel."
"Astaghfirullah ... Maafkan hamba, ini semua karena makhluk durjana yang memancing kekhilafan. Bibir seksi ini tak akan lagi mengungkit semua kebaikan yang sudah dilakukan."
Mendengkus, Bastian akhirnya beranjak pergi usai berdadah-dadah dengan sang putri yang anteng di gendongan Hasta. Mengabaikan Arya yang merengut masam padanya.