Hasta terhenyak dengan jantung yang berdegup kencang. Menggedor dad* hingga terasa menyesakan. Meneguk ludah kelu, pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. Mencari tau keadaan seseorang yang baru saja tertabrak mobil miliknya. Sungguh, dia berusaha mengerem sebisa mungkin, sayangnya, sosok itu tetap tertabrak mobilnya.
"Astaga!" Terbelalak, Hasta menemukan seorang wanita yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Membuatnya segera menghampiri. "Nona? Anda bisa mendengar saya? Nona?" Tak ada pergerakan, wajah pucat itu tetap diam dengan mata terpejam.
Bangkit dari posisi berjongkoknya, Hasta membuka pintu mobil bagian penumpang yang berada di belakang. Sebelum kemudian kembali ke posisi wanita asing yang kini dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sedikit kepayahan, Hasta akhirnya berhasil mengangkat tubuh wanita itu, memindahkannya ke dalam mobil miliknya. Setelah memastikan wanita itu dalam posisi aman, ia segera kembali menuju pintu bagian kemudi. Berusaha secepat mungkin membawanya ke rumah sakit terdekat.
Entah harus bersyukur atau tidak, karena keadaan jalan yang tengah sepi, membuat Hasta tak dipusingkan dengan orang-orang yang mungkin akan mengerubunginya dan menuntut pertanggungjawaban karena sudah mencelakai orang lain. Meski jika harus jujur, pria itu merasa tak bersalah. Karena wanita asing itu yang tiba-tiba menghambur kearah mobilnya.
Setelah berkendara beberapa lama, mobil milik Hasta akhirnya terparkir di sebuah rumah sakit. Bergegas keluar, pria itu kemudian turun dan menuju pintu belakang. Mengangkat tubuh yang tampak lunglai di dalam pelukannya.
Di koridor rumah sakit, Hasta berderap cepat, mencari pertolongan. "Suster! Tolong, Sus!" Sembari menggendong wanita asing itu ala bridal style, Hasta mencegat salah seorang Suster yang tengah melintas. Dengan sigap, wanita itu segera memanggil rekannya yang lain untuk memberikan pertolongan. Dan tak lama, sebuah brankar dorong akhirnya datang. Membuat Hasta segera meletakkan tubuh wanita yang sejak tadi dalam gendongannya ke atas sana.
Menyeka peluh yang membasahi kening serta leher dengan punggung tangan, Hasta mengikuti para petugas yang mendorong brankar yang di tempati wanita asing itu.
"Maaf, anda tolong tunggu di luar dulu ya, Pak." Cegah salah seorang suster saat Hasta hendak ikut masuk ke dalam ruangan.
Mengangguk, Hasta meringis sembari mengucap maaf, sebelum kemudian berbalik kearah kursi tunggu. Mengela napas panjang, pria itu mendudukkan diri di sana dengan pandangan yang terarah pada ruang pemeriksaan yang baru saja di tempati wanita yang tak sengaja menjadi korbannya. Oh, tunggu, sejujurnya, di sini dia yang berposisi sebagai korban. Sayangnya, tetap saja, ia yang akan dimintai pertanggungjawaban dan di nyatakan bersalah.
Dengan kedua lengan yang bertumpu pada paha, Hasta menundukkan kepala sembari mengacak rambut. Entah berapa lama ia harus menunggu proses pemeriksaan wanita itu? Padahal tadinya, dia sudah harus sampai di kafe miliknya untuk mengurusi berbagai laporan dan pekerjaan lain yang terpaksa terbengkalai.
Suara ponsel yang berteriak tak sabaran membuat Hasta menegakkan posisi duduknya. Merogoh saku celana, ia mengerutkan kening mendapati nama Arya yang tertera dilayar.
Menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan, Hasta baru saja menempelkan ponsel pada telinga kanannya saat suara memekakkan mengusik pendengaran.
"HAS, EMAK LO DOYANNYA APAAN?"
Menjauhkan sejenak ponselnya, Hasta berdecak, sebelum kemudian menempelkan lagi ditelinga. "Apaan sih, teriak-teriak? Dan, ngapain tanya-tanya kesukaan nyokap gue?"
"Heh! Tatakan gelas, lo nggak tau kan, kalau gue lagi kelabakan sekarang?"
"Kelabakan kenapa? Apartemen lo kebakaran lagi?"
"Dih, amit-amit. Sembarangan ya itu mulut, mentang-mentang udah lama nggak cium cewek."
"Heh, apa hubungannya?"
"Nggak ada, tapi gue coba hubung-hubungi sendiri. Ck! Has, ini gue lagi kelimpungan gara-gara nyokap lo ngajak ketemuan!"
Mendengkus, Hasta mengabaikan ocehan Arya yang tak akan menemui ujung, jika ia ladeni.
"Nyokap gue kenapa minta ketemu?" Tanyanya karena Arya belum menjawab hal itu sejak tadi.
Terdengar elaan dramatis yang Hasta tangkap, sebelum suara panik Arya kembali muncul. "Jadi, tadi, pas gue mau tidur siang untuk menjaga elastisitas kulit gue yang menjadi salah satu aset terpenting dalam ketampanan gue selama ini. Tiba-tiba terinterupsi sama telepon dari nyokap lo yang minta ketemuan sama gue!"
"Emang mau ngapain?"
"Yang pasti bukan ngajak arisan, apalagi ngegibah bareng buat bicarakan gosip artis yang lagi panas sekarang."
"Ck, iya Ar, gue juga tau. Makanya gue tanya. Kenapa—nyokap—gue—minta—ketemu—sama—lo?" Tanya Hasta yang berusaha keras menebalkan kesabaran dan menekan pada setiap kalimat yang penting agar Arya bisa fokus pada apa yang dia tanyakan.
"Ish! Masa lo nggak paham? Gue kan udah sering wanti-wanti masalah ini dari awal."
"Apaan sih? Serius, gue belum bisa nangkep pokok permasalahannya."
"Astaga ... Demi ketampanan gue yang semakin menghawatirkan. Lo belum paham juga?" Tanya Arya tak percaya, sebelum kemudian menarik napas panjang. "Jadi ya Has, kan lo tau, gue ikut terlibat, bahkan mungkin bisa dibilang sebagai dalang, atas kegagalan setiap kencan buta lo yang Tante Amel susun. Nah! Udah pasti, nyokap lo murka sekarang. Makanya, minta ketemuan sama gue."
Menganggukkan kepala, meski Arya tak bisa melihat pergerakannya. Hasta mulai paham hal yang menjadi ketakutan sahabatnya. "Terus, hubungannya lo nanyain apa yang nyokap gue suka apa?"
"Astaga Hasta ... Lo tuh ya, pengen gue tabok pake talenan bekas ngiris cabe tau nggak?"
Meringis, Hasta menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Hanya sebagai pengalihan atas ucapan Arya yang penuh dengan kekesalan.
"Gini loh, Has. Ini gue lagi terancam dilabrak sama nyokap lo gara-gara jadi biang kerok kehancuran kencan lo yang semuanya berakhir gagal. Tante Amel pasti murka, dan sekarang, dia mau buat perhitungan sama gue. Tapi supaya gue nggak ngibrit kabur duluan, jadinya pake bahasa halus, yaitu ngajak ketemuan buat ngobrol-ngobrol."
"Tenang aja Ar, nyokap gue nggak sebar-bar itu. Muka lo aman kok, nggak akan kena cakar atau bogeman. Paling di interogasi sampai frustasi." Karena itu yang sering Hasta alami.
"Tapi tetap aja Has, gue ngeri. Makanya mau bawa buah tangan sebagai sogokan."
"Hm ... Terserah lo sih, emang lo mau kasih apa sama nyokap gue?"
"Etdah, ulekan rujak, gue dari tadi nanya lo Has, apa yang nyokap lo suka? Ini kenapa malah balik tanya?"
Terkekeh karena merasa terhibur dengan kekesalan Arya, Hasta berdeham, berusaha mengenyahkan rasa geli yang menggelitik dirinya. "Iya, maaf, gue kurang fokus." Menggaruk kening, Hasta kemudian tampak berpikir, apa yang sekiranya sang Mama inginkan untuk sekarang?
"Has? Oy? Lo lagi bertelur apa gimana? Apa pingsan di tempat nih bocah? Kok nggak ada suara-suara?"
"Ck! Sabar Ar, gue lagi mikir."
"Oh, lagi mikir, bilang dong! Gue kira lo pingsan."
Mengabaikan celotehan Arya, Hasta akhirnya berhasil mengingat sesuatu yang sedang diinginkan sang Mama. "Gue tau, apa yang lagi nyokap pengen."
"Apaan?" Tanya Arya dengan nada tak sabaran di seberang sambungan.
"Pernah minta melon sama gue, katanya tiba-tiba pengen pas liat acara di TV. Cuma gue belum sempat beli karena cukup susah nyarinya."
"Astaga Has, melon doang? Serius? Lagian, lo ya, orangtua minta, mana cuma melon aja nggak dikasih. Nggak boleh pelit ih, nanti kuburannya sempit. Apalagi sama orangtua sendiri."
"Ck! Gue bilang belum sempat cari, bukannya nggak mau."
"Melon doang, elah, apa susahnya dicari? Kecuali nyokap lo minta telur dinosaurus, baru dah, lo puyeng nyarinya."
"Bukan gitu, masalahnya, yang nyokap gue pengen itu bukan melon biasa, Ar."
"Bukan melon biasa? Emang ada melon yang nggak biasa?"
"Ada, nyokap pengen melon Jepang, yang satunya kisaran harga dua juta."
"Buset, mahal amat?"
"Kan gue bilang tadi, bukan melon biasa. Gue sih nggak masalah sama harganya, cuma belum ada waktu buat nyarinya. Nah, berhubung lo mau kasih sesuatu ke nyokap, mending melon yang lagi dipengen aja."
"Yaudah deh, daripada gue dikutuk jadi uget-uget."
"Bagus dong, kan lo nggak bisa diem kayak uget-uget."
"Has, jangan sampe lo yang gue kutuk jadi gelandangan cinta."
"Berisik Ar, dah sana, cari melon yang satunya harga dua juta yang nyokap gue pengen."
"Dasar ya lo, sahabat nggak ada akhlak, penerus Bastian yang udah tobat karena punya pawang sekarang. Padahal gue susah begini karena bantuin lo."
"Kebaikan nggak usah diungkit-ungkit, nanti pahalanya di cancel."
"Au, ah, bye!" Sewot Arya yang menutup sambungan secara sepihak, membuat Hasta mendengkus meski dengan raut geli. Membayangkan sahabatnya yang tengah uring-uringan saat ini.
Bersamaan dengan itu, pintu ruang pemeriksaan yang sebelumnya tertutup rapat, kini terbuka, menampakan seorang pria paruh baya dengan jas putih dan sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya. "Keluarga pasien?" Tanyanya yang membuat Hasta yang sudah bangkit dan beranjak untuk mendekat terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk kaku.
Baiklah, Hasta memang bukan keluarga wanita asing di dalam sana, tapi sekarang, dia menjadi tanggung jawabnya.
"Pasien belum siuman, mungkin karena syok, tapi dari pemeriksaan, keadaannya cukup stabil dan baik. Hanya ada beberapa luka yang sudah diobati. Untuk memastikan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, agar bisa diketahui, apa ada luka dalam atau tidak."
Hasta mendengarkan dengan seksama, sebelum kemudian mengangguk, "terima kasih, Dok, dan ... Saya percayakan untuk apa pun penanganan yang terbaik untuk dia." Ucapnya yang kemudian terlibat pembicaraan beberapa saat dengan Dokter yang menangani wanita asing itu. Sebelum akhirnya, sang Dokter undur diri.
Sepeninggal Dokter, Hasta akhirnya mengayunkan langkah memasuki ruangan setelah mendapat izin. Pria itu berdiri di samping brankar perawatan. Menatap wanita yang bahkan namanya pun tak diketahuinya.
Mengela napas panjang, Hasta menyugar rambut dan mengusap wajah kuyunya. Tak menyangka akan mendapat peristiwa semacam ini. Ah, dia bahkan belum mengabari siapa pun. Termasuk Arya yang tadi menghubunginya. Tak mau membuat panik, Hasta akan menangani ini sendiri.
Suara rintihan membuat Hasta tersentak dari lamunan yang sempat menyeretnya. Mengerjap, pria itu menundukkan pandangan, hingga tatapannya bersirobok dengan netra hitam yang kini menyorotnya penuh kebingungan.
"H—hai, gimana keadaannya? Apa ada yang sakit?" Hasta selalu payah berinteraksi dengan orang baru, termasuk saat ini, dia merasa begitu kaku dan bingung sendiri, bagaimana harus bersikap di depan wanita asing yang terlibat kecelakaan dengan mobilnya dan sekarang telah sadarkan diri?
"Saya panggilkan Dokter, tunggu sebentar." Meski tadi diberitahu jika keadaan wanita itu baik-baik saja, dan disarankan untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh untuk mencari tau apa ada atau tidaknya luka dalam. Tapi Hasta rasa, ia perlu memanggil Dokter untuk memeriksa wanita itu lagi, yang kini sudah sadar.
Baru saja Hasta hendak mengayunkan langkah, pergerakannya tertahan, saat sebuah tangan menyentuh pergelangan tangannya. Menolehkan kepala, ia dapati wanita itu yang membalas tatapannya.