My Soul Is You - 7

1575 Words
Dengan mata memicing tajam, Hasta memerhatikan dua sosok yang tengah duduk bersisian dengan kepala yang kompak menunduk, meski sesekali mencuri pandang satu sama lain.  Mengela napas panjang, pria yang tengah menggendong gadis kecil yang sejak tadi sibuk menjilati es krim hingga beberapa menetes dikemeja yang dikenakannya. Meski begitu, ia tak ambil pusing.  "Nana, Sayang, sini sama aunty ya?" Walau Hasta tak keberatan, tapi tidak dengan Calya yang diam-diam, terus memerhatikan meski di bawah tatapan pria yang tengah kesal padanya dan Arya. Mengerjap, gadis kecil itu menatap sang Tante yang merekahkan senyuman manis penuh bujukan. Tapi hanya sekilas, setelahnya, Nana menggeleng dan bersandar nyaman di dad* Hasta, membuat sang Tante iri dalam hati. Karena belum pernah bersandar seperti itu. Si*lan, masa saingan sama ponakan sendiri? Keluh Calya dalam hati.  Suara kikikan yang mengusik pendengaran membuat Calya menoleh kearah samping, dan mendapati Arya yang ternyata tengah mentertawakannya. "Ck! Apanya yang lucu sih, Kak Ar?" Tanyanya dengan nada sewot. "Muka lo Cal, mupeng banget." Mendekatkan wajah ke telinga Calya, Arya berbisik, "dan yang pasti, gue tau, bukan es krim Nana yang bikin lo mupeng. Tapi gendongan Hasta yang bikin lo iri, iyakan?" Godanya dengan menjauhkan kepala lalu menaik-turunkan alis matanya dengan wajah menyebalkan. Mendengkus, Calya yang malu karena pikirannya bisa terbaca dengan jelas oleh Arya berusaha tak menanggapi godaan pria itu. Berdecak sebal karena diabaikan, Arya kemudian beralih pada Hasta yang masih mondar-mandir sembari menggendong Nana. "Ini sidangnya udah kelar kan? Gue mau bobo siang, mengurangi kerutan di wajah yang bisa mengusik ketampanan." "Ck! Gue belum selesai." "Ah, elah, apalagi sih, Has? Lo harusnya sungkem sama gue, ucapin makasih karena lagi-lagi bisa lepasin lo dari kencan buta yang tak diharapkan. Ini kenapa malah gue di sidang begini coba? Air s**u mau dibalas sama air kelapa?" "Tuba Kak Ar, bukan kelapa." Koreksi Calya dengan wajah jengah. "Ck! Enakan kelapa Cal. Nanti kasih jeli, biar ada yang bikin geli pas dimulut." "Ini bahas apa sih?" Menggaruk kening, Calya menggeleng heran, sebelum perhatiannya teralihkan pada suara ponsel yang mengusik pendengaran. Meneguk ludah kelu, Calya meringis saat mendapati nama sang Kakak yang tertera dilayar. "Hayo loh, bapak macan nyariin anaknya pasti. Bae-bae diterkam," Arya yang kepo ternyata ikut mengintip siapa yang menelpon Calya.  "Ish, Mas Ar, kepo." Menjauhkan wajah Arya dengan satu telapak tangannya, karena tangannya yang lain sibuk mengangkat panggilan dari sang Kakak. Calya berusaha untuk mengais ketenangan. "Halo? Iya Kak Bas?" Mengabaikan Arya yang misuh-misuh, Calya fokus mendengarkan apa yang Bastian sampaikan.  "Kamu di mana, Dek? Kok belum balik? Nana udah waktunya tidur siang. Dia nggak rewel?" Alih-alih menjawab, Calya mencuri pandang pada sosok keponakannya yang tengah memainkan bakal janggut Hasta sembari tergelak geli. "Nggak kok Kak, dia anteng." "Tapi Nana harus tetap tidur siang. Kalau nggak, nanti malamnya suka rewel, kasihan Wening." "Iya, ini aku ajak balik, udah dulu ya, bye!" Tak menunggu jawaban dari Bastian, Calya sudah lebih dulu mematikan sambungan. Tak ingin mengundang kecurigaan sang Kakak.  "Kenapa? Bastian nanyain Nana?" Tanya Hasta yang mendapati wajah resah dari Calya. "Hm ... Iya, aku harus balik, Nana udah dicariin bapaknya. Aku titip bentar ya Kak, mau ganti baju dulu." Karena tak mungkin Calya pulang dengan daster dan roll rambut yang masih bergelantungan di kepalanya. Bastian bisa curiga dan tak segan menginterogasinya. Sepeninggal Calya yang berderap menuju kamar mandi untuk berganti baju. Arya bangkit dari duduknya dan mendekati Nana yang sudah tampak kepayahan menahan kantuk. Kepalanya bersandar lunglai dibahu Hasta.  "Sini gantain, biar gue yang gendong," ucap Arya yang mengajukan diri, ia sudah mengulurkan tangan tapi Hasta menolaknya. "Nggak perlu, nanti nangis kalau dipindah." "Lo udah cocok punya anak Has, tinggal nyari yang cocok buat jadi emaknya aja." Kikik Arya yang menutupi mulutnya dengan punggung tangan. Tak ingin mengusik Nana yang mulai memejamkan mata.  Mendengkus, Hasta menatap sebal sahabatnya. "Lain kali, jangan bawa-bawa Nana, Ar. Lo mau dicincang Bastian?" "Gue nggak tau, Has, seriusan." Ucap Arya sembari mengangkat jari telunjuk dan tengahnya hingga membentuk huruf V, "kan lo tau, muka gue masih kayak roti keinjek, jadi gue minta Calya buat gagalin kencan buta lo, tapi nggak tau dia ajak Nana juga." "Lo gue telepon susah banget tadi." "Ya maaf, gue lagi mandi kembang, biar nggak kena si*l lagi." "Ck! Ngapain sih gitu-gituan." Arya baru saja membuka mulut, bersiap menjawab ucapan Hasta, tapi terinterupsi oleh suara Calya. "Yah, udah keburu tidur si bocil."  "Biar aku yang bawa mobil, anterin kalian pulang." "Nggak usah Kak, bisa kok nanti aku dudukin dikursinya Nana." Sayangnya, Hasta bersikeras mengajukan diri untuk mengantar pulang. Membuat Calya akhirnya mengalah. Sementara Arya hanya bisa menonton diam-diam, perdebatan dua orang layaknya pasangan muda yang tengah memperdebatkan anak mereka. "Ar, gue anterin Calya dulu," pamit Hasta setelah menyerahkan Nana yang sudah tertidur digendongan Calya.  "Yaudeh, hati-hati lo semua."  Setelah kembali seorang diri di dalam apartemennya, Arya bersiap menyeret langkah menuju kamar untuk tidur siang. Dia harus menjaga elastisitas kulitnya agar tak kalah kenyal dan lembut seperti milik Nana. Sayangnya, baru saja membuka pintu kamar, ponsel yang berada di dalam saku celana berdering dan berhasil menginterupsi pergerakannya. Arya nyaris mengump*t saat melihat siapa yang menghubungi dan merusak rencananya untuk tidur siang. Tante Salma. Astaga! Untuk apa wanita yang sudah berjasa melahirkan sahabatnya ke dunia itu menghubunginya? Atau jangan-jangan, apa yang Arya takutkan selama ini akan benar-benar terjadi? Jangan bilang, gara-gara dia bantu Hasta lolos dari kencan buta yang wanita paruh baya itu rencanakan, Arya kemudian dikutuk sebagai hukuman? Menggaruk kepalanya yang tak gatal, Arya berusaha mengendapkan rasa gugupnya. Sebelum kemudian mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Tan?" Sapanya ramah dengan nada antusias yang berlebihan. "Ih ... Tumben telepon aku, kenapa Tan? Kangen ya, lihat makhluk tampan berkeliaran di depan mata Tante? Selain wortel, wajah tampan aku memang bagus untuk kesehatan mata." Di seberang sambungan, Salma membalas tak kalah ramah, "Ar, bisa ketemu nggak? Tante mau ngobrol-ngobrol sama kamu." Tanyanya langsung, mengabaikan ocehan Arya sebelumnya. M*mpus! Ini pasti ngobrol bukan sembarang ngobrol. Kalut Arya yang menggaruk pelipis dengan gusar. "O—oh, boleh dong, kapan ya Tan?" "Besok ya, nanti Tante kirim alamat restoran tempat kita ketemu." Tertawa kering, Arya menganggukkan kepala, sebelum kemudian meringis saat sadar, jika pergerakannya itu tak akan terlihat. "S—siap Tan," berbasa-basi beberapa saat, sambungan telepon itu akhirnya berakhir.  Mengela napas panjang, Arya mengetuk-ngetuk kepalanya pada daun pintu, "duh, gue nggak bakal dikutuk jadi batu kan ya? Gara-gara bantuin Hasta gagal kencan?" Ringisnya ngeri, "gue harus bisa bernegosiasi sama Tante Salma nih," kembali sibuk pada ponsel, Arya mencari sesuatu yang kira-kira bisa ia bawa sebagai buah tangan saat bertemu dengan Ibu dari sahabatnya nanti. ***  Bastian yang sebelumnya duduk nyaman di sebuah sofa, segera bangkit, saat mendapati sang adik yang sejak tadi ditunggui, akhirnya muncul bersama sang putri. Tapi, keberadaan sosok lain di belakang keduanya membuat satu alis matanya terangkat. "Bawa Nana ke atas, Wening sudah menunggu di sana." Mengangguk patuh, Calya tak lekas pergi. Ia mengalihkan pandangan pada Hasta terlebih dahulu. "Makasih udah anterin Kak." "Hm, nanti aku minta orang bawa mobil kamu ke sini." Sejujurnya, Calya masih ingin berbicara lebih banyak. Sayangnya, tatapan penuh selidik yang sejak tadi dihunuskan sang Kakak kearahnya, membuat gadis itu tak nyaman. Dan membuatnya memilih untuk segera beranjak, sembari membawa sang keponakan yang sudah tertidur pulas dalam gendongannya. Sepeninggal Calya, Bastian mengayunkan langkah untuk mempertipis jarak dengan sahabatnya. "Jadi, kenapa lo bisa bareng Calya dan Nana?" "Mereka berkunjung ke tempat gue." Hasta terpaksa berbohong, karena jika sampai Bastian tau yang sebenarnya, pria itu bisa murka. Hasta tak masalah menghadapi kemarahan sahabatnya, tapi dia tak mau jika sampai Calya pun ikut terkena imbasnya. Mengerutkan kening, Bastian tampak termenung sejenak. Saat meminta izin membawa Nana pergi tadi, Calya memang tak memberitahukan tempat tujuannya. Gadis itu hanya berkata, ingin mengajak Nana jalan-jalan.  Ck! Dasar, ujung-ujungnya pergi ke tempat Hasta ternyata. Apa perasaan adiknya masih tak juga padam untuk sahabatnya itu? Bastian bukannya menentang rasa suka yang Calya miliki untuk Hasta. Hanya saja, dia tau betul, jika sang adik bukan tipe yang sahabatnya suka. Dia hanya tak mau adiknya mengalami patah hati berkepanjangan karena cinta sepihak yang sudah berjalan begitu lama. Jika sebelumnya Bastian bersikap santai akan perasaan Calya untuk Hasta. Tapi sekarang, dia mungkin harus memperjelas semuanya. Tak mau sang adik memupuk harap yang cukup sulit untuk diwujudkan.  "Lo lagi nginep di rumah ortu?" Hasta berusaha mengalihkan pembicaraan dan mengangkat pembahasan lain pada Bastian. "Iya, tapi sore juga udah balik. Bentar lagi nyokap sama bokap pulang katanya." Menganggukkan kepala, Hasta melirik penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya, "oke, kalau gitu, gue pamit dulu ya. Harus balik buat awasi kafe." "Nggak mau mampir dulu?" "Nggak, makasih, mungkin lain kali." Tak lagi memaksa, Bastian menganggukkan kepala. "Oke, hati-hati, Bro!" Melambaikan tangan singkat, Hasta berlalu pergi dari kediaman keluarga Pradipto. Mengela napas panjang, pria itu akhirnya sudah berada di dalam mobil. Keningnya mengernyit saat menyadari, jika belum dapat telepon dari sang Mama. Apa kegagalan kencannya belum sampai ditelinga wanita paruh baya itu? Tapi ... Rasanya mustahil. Mengedikkan bahu, Hasta memilih tak ambil pusing dan mengendarai mobilnya. Di sepanjang perjalanan, Hasta tengah memutar otak, bersiap menghadapi amukan sang Mama karena dia lagi-lagi membuat ulah dengan rencana perjodohan yang berkahir kacau. Meski begitu, Hasta tetap waspada, kalau-kalau, sang Mama masih belum menyerah dan kembali menyusun rencana yang sama. Sayangnya, fokus Hasta terpaksa buyar, saat dari arah berlawanan, tiba-tiba saja ada seseorang yang menyongsong mobilnya. Dengan cepat, pria itu berusaha mengerem meski sulit dan tetap menghantam sosok asing yang kini tampak tersungkur di depan mobilnya. "Astaga!" Jantung Hasta rasanya meluruh ke dasar perut, mendapati dirinya baru saja menabrak seseorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD