“Antara aku yang ingin atau sudah dituliskan. Tapi tatapmu membuatku yakin bahwa aku ingin, meskipun membuat bingung.”
*
"Apa?”
Dewa tidak perlu membuka matanya untuk mengetahui pemilik dari suara yang saat ini mengalun masuk ke gendang telinganya.
"Beliin gue kopi sedikit gula."
"Astaga!" Dewi spontan berteriak. Jauh-jauh ia menaiki anak tangga untuk sampai ke sini, pria menyebalkan yang sedang berbaring di atas bangku panjang di depannya ini menyuruh Dewi untuk membelikan kopi?
Huh. Yang benar saja.
"Tiga puluh dua juta."
"Sialan."
Dewa membuka matanya. Lalu menatap Dewi yang berdiri di depannya. "Mulai sekarang ngumpatin gue bayar dua juta."
"Kambing."
"Tiga puluh empat juta."
"Gue nggak ngumpat,” erang Dewi. “Astaga.” Dewi berdecak. “Cuma nyebutin nama hewan!" Sekali lagi ia berkata tanpa menyadari nada yang digunakannya tergolong tinggi untuk disebut bicara santai.
"Tiga puluh lima juta."
"Kopi tanpa gula." Dewi mengatakannya dengan nada kesal. Lalu ia membelakangi Dewa dan melangkah pergi. Hanya saja sebelum mencapai pintu yang menghubungkan ujung tangga dengan bagian rooftop tersebut, ia kembali berbalik dan mengulurkan tangan kepada Dewa.
Dewa mengangkat sebelah alisnya.
“Duitnya,” kata Dewi malas. “Gue udah miskin berkat seseorang.”
Dewa mengambil dompetnya, lalu mengeluarkan selembar uang seratusan dari dalam sana dan memberikannya kepada Dewi yang langsung pergi setelah menyambar uang dari tangan Dewa.
*
“Di rooftop.” Dewi berbicara sambil mengapit handphone dengan bahu dan telinganya. Satu tangannya sibuk membuka pintu, sementara yang lainnya tengah memegang segelas kopi pesanan Dewa.
“Lo ngapain di rooftop?” sembur Anye. “Lima menit lagi kelas Pak Richard udah dimulai, Bego.”
Dewi baru tersadar akan hal itu. Membuat gerakan tangannya pada handle pintu berhenti begitu saja. Napasnya masih tersenggal-senggal sebenarnya, dua kali naik turun tangga untuk sampai ke lantai sembilan ini bukanlah hal yang mudah. Dan lift gedung ini memilih untuk rusak disaat-saat genting seperti ini.
Rasanya seperti semesta sedang melakukan konspirasi agar Dewi memperoleh kesulitan.
“Nyet, bilangin gue masih di toilet, sakit perut, menstruasi, apa aja,” suruh Dewi. “Bentar lagi gue ke sana.”
“Buruan.”
Lalu sambungan telepon terhenti bertepatan dengan Dewi yang berhasil mendorong pintu terbuka. Dengan langkah tergesa ia segera kembali ke tempat Dewa hanya untuk mendapati bangku panjang itu sudah kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Dewa di sana.
Dewi menggertakkan giginya. Entah kenapa kekesalan langsung menguasai dirinya. Dewi memanggil nama Dewa sekali. Lalu karena tidak ada sahutan, ia berteriak lantang. Mengumpati nama Dewa dengan seluruh jajaran hewan serta sebuta buruk yang ia hapal di luar kepala.
"Dewa sialan. Kambing. Monyet. Bapaknya kamvret. The King of the Bastard."
Dewi menarik napasnya dalam-dalam, berusaha untuk menormalkan kembali jalur napasnya yang tersiksa karena lari-larian dan juga menyuarakan lantang umpatannya. Kemudian ia terlonjak kaget karena suara Dewa terdengar begitu dekat dengan dirinya.
“Empat puluh lima juta,” ujar cowok itu dengan santai.
“Anjir.” Dewi spontan mengumpat lagi.
“Empat puluh enam juta.”
Dewi melayangkan tatapan membunuhnya kepada Dewa. Sementara cowok itu membalas tatapan Dewi dengan alis yang diangkat sebelah.
“Terserah, Lo,” kata Dewi sambil menyerahkan kopi yang ada di tangannya kepada Dewa. Berikut dengan uang kembaliannya yang entah berapa rupiah. “Gue nggak peduli lagi sama ancaman elo. Bodoh amat kalo lo mau laporin gue. Silahkan laporin.”
Kemudian Dewi membalikkan badannya ketika suara Dewa terdengar dan membuatnya menghentikan langkah.
“Halo, selamat siang,” mulai Dewa. “Saya ingin membuat laporan.”
Dewi masih berdiri di tempatnya, menunggu ucapan Dewa dengan perasaan takut yang mulai menjalari. Sambil meremas kedua tangannya, Dewi menggigit bibirnya kuat. Suatu kebiasaan yang tanpa sengaja terbentuk saat ia merasa gugup ataupun takut.
“Seseorang menabrak mobil saya, apakah hal ini bisa diurus polisi?”
Tangan Dewi meremas semakin kencang. Gigitan pada bibirnya pun semakin kuat. Namun ia tidak menyadarinya sama sekali. Walaupun kini kulit bibirnya yang tipis sudah terluka dan mengeluarkan darah.
Yang menjadi fokus Dewi adalah suara Dewa yang menyebutkan polisi. Polisi. Sesuatu seperti itu membuatnya mengingat penjara. Satu-satunya tempat di atas dunia ini yang tidak ingin terdengar oleh telinganya pernah ada. Bayangan jerusi besi itu membuatnya tidak bisa bernapas dengan benar. Terlebih dengan hal mengerikan yang pernah ia alami di dalam kerangkeng besi tersebut.
Dewi memutar tubuhnya. Tidak pernah memperkirakan bahwa langkahnya akan tertatih-tatih saat ingin mencapai Dewa. Sama sekali tidak pernah mengira kalau ia akan tersandung oleh kakinya sendiri.
Dewa menatap Dewi yang tersungkur di depannya. Dahinya berkerut sejenak, tapi ia kembali bersuara, “Kejadiannya kemarin ….”
Ucapan Dewa terhenti ketika Dewi meraih ujung jaketnya untuk bangkit. Dengan tangan bergetar, tangan perempuan itu mencengkram erat bagian depan jaket Dewa.
“Ja-ngan,” kata Dewi terbata. “La-porin gue.”
Dewa menunduk untuk melihat wajah Dewi yang mendongak di depannya. Wajah yang tadinya kesal setengah mati terganti oleh raut pucat pasi. Dewa terdiam di tempatnya. Gadis itu benar-benar ketakutan.
Dewa bertanya-tanya, apakah polisi semenakutkan itu untuk banyak orang?
Sekarang sudah bukan zamannya lagi bisa menakuti-nakuti seseorang dengan polisi.
“Please,” ucap Dewi memohon. “Jangan laporin gue.”
Dewa masih bergeming.
“Please,” mohon Dewi dengan ketakutan yang menguasai kedua matanya. “Gu-e nggak akan ngumpatin elo lagi,” kata Dewi. Matanya menghindar untuk membalas tatapan Dewa yang terasa dingin. “Gue nggak akan teriak di depan lo.” Dewi kembali melanjutkan ucapannya.
Hanya saja Dewa masih tetap mematung dengan handphone yang masih berada di telinga. Bahkan samar-samar, Dewi bisa menangkap suara seseorang dari seberang sana. Menanyakan tentang kelanjutan ucapan Dewa.
“Please.” Dewi memohon lagi. “Lo bebas nyuruh-nyuruh gue. Gue pembantu lo sampai utang gue lunas.”
“Lo,” ucapan Dewa terputus. Matanya menatap wajah Dewi dalam-dalam.
Karena Dewa tidak melanjutkan kalimatanya, Dewi kembali memberanikan diri untuk kembali menfokuskan matanya pada Dewa. Namun yang tidak pernah disangkanya adalah bahwa pria itu telah menunduk sehingga ketika Dewi membalas tatapan Dewa, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti meter saja.
Dewa tidak pernah selinglung ini. Ia selalu menyadari apa saja yang ia lakukan, kecuali yang satu ini. Karena justru mata terbelalak Dewi-lah yang membuatnya tersadar kalau Dewa baru saja menempelkan bibirnya dengan bibir gadis itu.
Namun untuk kejadian berikutnya, Dewa berani bersumpah bahwa itu ia lakukan dengan kesadaran penuh di dalam kepalanya.
“Kenapa berdarah?” bisik Dewa sambil mengusap lembut ujung bibir Dewi dengan ibu jarinya.
*