“Pertemuan kita kini karena disengaja dan makin tak menentu.”
*
Bukan hal baru lagi jika keberadaan Dewa menguarkan aura yang gelap dan berpotensi untuk membangkitkan kekesalan orang-orang saat menatapnya. Seperti sore ini misalnya, saat Gio menatapnya keki setengah mati.
“Tolong kalo lo nggak punya kegiatan, jangan jadiin tempat gue buat nongkrong.”
Dewa menatap sejenak pada kakak sepupu dari pihak ibunya tersebut, lalu memilih untuk tidak mengacuhkan Gio dan kembali fokus pada game di layar ponselnya.
“Ngapain lo ke sini?”
“Numpang ngadem.”
“Apartemen lo kurang adem?” tanya Gio dengan nada datar.
“Hm,”gumam Dewa dengan mata masih menatap lurus kepada benda pipih persegi empat tersebut.
Gio mendengus jengkel, tapi ia tetap membiarkan Dewa menguasai sofa di ruangannya.
“Pinjem mobil, Bang,” kata Dewa setelah mereka lama berkutat dengan kegiatan masing-masing.
“Mobil lo ke mana?” tanya Gio.
“Bengkel,” jawab Dewa singkat.
“Bukannya baru lo service minggu kemarin?” tanya Gio.
“Hm,” gumam Dewa.
“Terus kenapa di bengkel lagi?”
“Ada cewek tol0l yang sok-sok-an mau nyetir mobil,” jelas Dewa.
Gio mengernyitkan dahinya sejenak. “Nabrak elo?” tanyanya.
“Hm.” Dewa bergumam lagi. Kekesalan kembali terlihat jelas pada wajahnya saat Dewa membayangkan bagian belakang mobil ringsek akibat ditabrak dari belakang.
Seketika Gio langsung terbahak. Membuat Dewa melemparkan tatapan datarnya kepada pria itu.
“Hati-hati, Lo,” pesan Gio.
“Kenapa?”
“Jatuh cinta.”
“Lo salah minum obat?” tanya Dewa.
Gio menggeleng. Kemudian kembali terbahak sebelum dengan sisa tawa yang masih melekat sempurna ia mengatakan, “Dari yang udah-udah, nih ya.” Gio menatap Dewa lama. “Gue ramal elo bakalan berjodoh sama si cewek itu. Yang nabrak elo.”
Dewa mendengus. Tidak tertarik.
Kemudian pintu ruangan Gioterbuka, seseorang masuk. Aga lebih tepatnya. Pemilik AA corp dan sahabat sialan Gio.
“Nah ini contohnya,” ujar Gio sambil mengarahkan kedua tangannya untuk menunjukkan Aga.
“Apa?” tanya Aga datar.
Dewa ikut menoleh, lalu kembali melihat Gio ketika pria itu berkata, “Cinta mati sama cewek tol0l yang nabrak mobilnya.”
“Lo ngatain bini gue?” salak Aga.
“Nope,” jawab Gio.
Dewa masih menatap datar pada Gio. Kemudian bangkit dari sofa dan berjalan ke meja kerja Gio. Berdiri di hadapan abang sepupunya itu dengan raut wajah datar dan menganggukkan singat kepada Aga, menyapa pria itu.
“Jadi lo bisa pinjamin gue nggak?”
Gio menggeleng. “Beli baru,” suruh Gio. “Jangan kayak orang susah.”
“Mobil lo banyak,” jawab Dewa. “Daripada jadi panjangan, mending gue pake.”
“Motor lo juga ada.”
“Males,” kata Dewa. “Lo nggak tahu kalo gue harus bawa-bawa miniatur dari desain yang lo minta setiap dua menit sekali.”
“Mobil lo ke mana?” Aga ikut bertanya.
“Penerus takdir elo ini anak.” Gio yang menjawab pertanyaan Aga. “Mobilnya ditabrak sama cewek.”
Aga hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Tidak banyak berkomentar lagi dan memilih untuk menghempaskan dirinya di sofa yang tadi ditempati oleh Dewa.
“Gue mau pake Rubicon,” kata Dewa final. Dia tidak butuh balasan iya dari Gio. Karena Dewa hanya memberitahu bahwa setelah dari sini ia akan mengambil mobil Jeep Wrangler Rubicon milik Gio yang baru beberapa waktu yang lalu dibeli oleh pria yang saat ini menatapnya galak tersebut.
Setelah berpamitan ala kadarnya, Dewa melesat menuju rumah Gio. Mengambil mobil abangnya dan menjadikannya sebagai milik sendiri.
*
“Nyet gue miskin,” rengek Dewi. Mereka sedang berjalan di lorong gedung yang menjadi tempat mereka menimba ilmu. Sejak mentrasferkan seluruh isi atmnya kepada makhluk bernama Dewa Prasetyo, Dewi tidak berhenti menggumamkan hal yang sama.
“Terus salah gue?” balas Anye. “Salah nenek gue?”
Dewi mendengus. “Ntar gimana gue bayar uang kuliah?”
“Kerja,” jawab Anye.
“Gue nggak punya keahlian apa pun.”
Anye berhenti berjalan dan melihat Dewi dari ujung kaki hingga ke kepala. “Bener juga,” katanya. “Nyari beasiswa juga lo nggak akan bisa pasti.”
“Maksud lo gue b**o?” Dewi mulai kesal.
Anye tertawa tanpa suara.
“Jual aja rumah elo,” saran Anye.
Dewi langsung menatap Anye, kemudian menggeleng. “Never in million time,” jawab Dewi. “Gue kerja aja.”
“Bagus anak muda,” ucap Anye sambil menepuk bahu Dewi. “Aku suka semangatmu,” ujar Anye dengan nada mengejek.
Dewi sudah akan berjalan lagi ketika matanya terpaku pada satu hal. Tas ransel yang saat ini sedang dipakainya persis sama dengan tas ransel yang melekat di punggung seseorang. Ratu lebih tepatnya. Manusia satu itu selalu menjadi primadona kampus. Hanya saja entah kenapa semua yang dia gunakan selalu memiliki kesamaan dengan Dewi. Awalnya Dewi tidak mempermasalahkan hal remeh tersebut, tapi Ratu pernah menghina style berpakaiannya dan beberapa minggu kemudian saat apa yang dipakai Dewi jadi tren fashion, Ratu mengikutinya tampa ampun. Dan orang-orang mulai membicarakan mereka, menilai Ratu lebih baik hanyak kerana wajahnya lebih cantik dari Dewi.
“Nyet, pinjem gunting.”
“Mau ngapain lagi, Lo?” tanya Anye sambil mengikuti arah tatapan Dewi. Kemudian menghela napas bosan. “Jangan lagi deh, Wik.”
“Kesel gue,” jawab Dewi. “Kemarin dia ngeliat gue remeh banget, sekarang ngikutin lagi.”
“Biarin aja sih,” suruh Anye. “Elo nggak mati ini diikutin sama dia.”
Dewi mendengus. “Ntar orang-orang bakalan ngomongin kalo gue ngikutin style-nya dia.”
“Nyatanya kan enggak,” balas Anye.
“Nah itu, nyatanya enggak,” sahut Dewi. “Makanya kesel gue.”
Anye tetap berjalan tanpa menyadari kalau Dewi malah berhenti di samping Ratu dengan sebuah sebelah tangan memainkan gunting.
"Berhenti ngikutin style gue." Dewi mendesis sambil memotong tali tas ransel Ratu sehingga benda malang tersebut melorot dari bahu indah Ratu.
"Lo gila!” teriak Ratu membuat semua pasang mata di lorong tersebut langsung terarah kepada mereka. “Tas gue, Sialan.” Ratu mengumpat murka.
Dewi membalas tatapan Ratu sama berangnya. “At least kalo elo plagiat gue, nggak usah bilang ke cecunguk-cecunguk elo kalo gue yang ngikutin gaya, Lo,” desis Dewi.
Dewi baru akan berkata lagi saat ponselnya bergetar di dalam kantong celana, lalu ketika melihat sederet angka yang tidak dikenalinya itu, Dewi memilih untuk kembali melemparkan tatapan kesalnya kepada Ratu.
Namun sekali lagi ponselnya bergetar oleh nomor yang sama. Menahan kejengkelannya di tenggorokan, Dewi mengusap layar handphone dan berkata, “Siapa in….” Perkataan Dewi belum sampai ke ujung ketika suara berat di ujung sana hanya mengucapkan satu kalimat sebelum memutuskan sambungan telepon.
“Ke rooftop. Sekarang!”
“Sial,” umpat Dewi. Kemudian dia mengambil langkah mundur untuk kemudian ditarik kembali oleh Ratu.
“Mau ke mana, Lo?” tanya Ratu
“Neraka,” jawab Dewi. “Kenapa? Mau lo ikutin juga?”
“Ganti tas gue,” tuntut Ratu.
Dewi melirik tas Ratu yang sudah digenggamnya. “Gue ganti kalo elo udah berhenti ngikutin gue,” jawab Dewi sebelum melangkah menuju tangga yang berada di ujung lorong ini.
*