Aku udah bilang kamu tak perlu menikahiku. Aku memilih pergi saja.
Evan menatap kertas bertulis tangan yang ditempel di pintu sambil menyentak napas kuat. Dadanya bergemuruh hebat seakan mau meledak. Ia menarik kertas itu lalu merobeknya hingga menjadi kepingan kecil.
"Sial! Liat aja, kamu pasti akan menyesal melakukan ini padaku!"
Wajah Evan perlahan mengendur saat bayangan gadis berwajah anggun singgah di benaknya. Kenapa perjalanan cintanya yang tak mudah harus berakhir seperti ini? Mendapatkan Tari bukan hal yang mudah.
Butuh waktu lama bagi Evan sampai sahabat sedari kecilnya itu mau dijadikan pacar. Lalu, ia harus bersabar membujuk sang ayah agar mau merestui pernikahannya. Akhirnya mau merestui, tapi tak sudi datang menyaksikan hari bahagianya.
Evan maklum. Tari memang bukan gadis sepadan untuknya, begitu kata ayah. Sementara sang nenek, satu-satunya yang mau menerima Tari, juga tak bisa menyaksikan ijab kabulnya karena mendadak ada urusan bisnis di luar negri.
Itu tak membuat Evan kecewa. Ia tetap sangat bahagia karena akan menikah dengan gadis pilihan hatinya. Setelah menjajak satu perempuan ke perempuan lain, menidurinya hingga membuatnya bosan, akhirnya ia jatuh hati pada Tari. Gadis itu sangat sulit ditaklukkan. Membuat penasaran.
Gadis yang tak mau disentuhnya sebelum dihalalkan.
Namun kini, setelah dengan susah payah mendapatkan Tari dan akhirnya berhasil mengantongi restu ayah walau masih terlihat tak rela, musibah malah datang menerjang.
Dasar gadis sialan! Tangan Evan mengepal di sisi tubuhnya. Lalu sambil menggeretakkan gigi, ditunjukannya tangan itu sekuat tenaga ke dinding. Tubuh Evan perlahan merosot ke bawah. Matanya yang tadi menatap nyalang kini terpejam. Ia gigit bibir kuat-kuat.
Seakan teringat sesuatu, Evan bangkit dengan cepat. Ia harus segera menemukan wanita itu lalu menyeretnya ke hadapan Lestari, menyuruh gadis penuh kebusukan itu menjelaskan semuanya dengan detail.
Saat melewati ruang tamu yang telah sepi, ia menyentak napas. Tangannya menjabak rambut. Bodoh. Kenapa tadi ia menikahi wanita jahat itu? Hanya agar ia dicap bertanggungjawab oleh teman-temannya? Setelah dipikir ulang, menurutnya, keputusannya tadi adalah hal yang bodoh.
Bagaimana jika Tari semakin marah karena ia telah menikahi Ivy si gadis menyebalkan?
Evan menuju pintu keluar sambil mengumpat. Kakinya yang melangkah tergesa menginjak kulit jeruk. Tubuh lelaki bertubuh tinggi itu bergoyang ke kanan lalu terbanting, membuat kepalanya yang terbentur cukup keras berdenyut sakit. Evan memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terus merebah di lantai yang licin dengan remah-remah makanan di sekelilingnya.
"Lestari," gumamnya. Lalu matanya terpejam bersamaan dengan suara sang adik yang menyeru namanya dengan panik.
"Kaak! Kak Evaan!"
***
Ivy menyandarkan tubuhnya yang terasa tak bertenaga di sofa empuk. Jantung dan napasnya berpacu cepat. Keringat dingin terasa membanjir di seluruh tubuh. Walaupun sudah mencurahkan isi hatinya pada Liana, ia tetap tak merasa lebih baik.
"Sudah pulang?"
Ivy terlonjak, membuat wanita berumur 50-an yang berjalan ke arahnya mengernyit heran. Ivy perlahan mengangguk. Wanita yang tak lain ibu dari kekasihnya itu, segera duduk di sampingnya.
"Iya, Tante. Begitu acara selesai, aku langsung pulang." Dustanya. Bu Desi mengangguk, tangannya meraih gelas di meja lalu memberikannya pada Ivy yang telah dianggapnya seperti anak sendiri.
"Kamu sakit? Tante sangat cemas. Reyhan juga pasti akan cemas melihatmu sepucat ini."
Ivy memandang Bu Desi yang terlihat begitu khawatir lalu menggeleng cepat. Ia hanya syok karena sesuatu yang terjadi belum lama ini. Ia telah menikah. Bukan dengan Reyhan yang selama ini dipujanya, tetapi dengan lelaki asing dan terlihat begitu pemarah. Yang benar saja. Bu Desi pasti kaget sekali jika sampai tahu. Lebih baik sembunyikan saja dulu.
Ivy menatap perempuan bertubuh tambun di hadapannya cukup lama. Lalu ia mengangguk mantap. Semoga ayah yang sangat ia sayangi maupun ibu tiri yang dibencinya setengah mati itu, tak memberitahu Bu Desi yang mudah sekali cemas. Kesehatannya mulai menurun akhir-akhir ini.
Ivy lagi-lagi mengangguk, mencoba meyakinkan pada diri sendiri bahwa fakta ia telah menikah tak akan pernah diketahui Bu Desy maupun Reyhan. Ia akan menjelaskan pada ayah yang sebenarnya terjadi lalu memohon agar menyembunyikan pernikahannya dari siapapun. Juga menyuruh ayah membujuk ibu tirinya agar bungkam.
Lalu tentang Evan ....
Ivy mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari telunjuk, sesekali mengernyit. Ah, sudahlah, kenapa harus memikirkan lelaki pemarah itu? Masa bodoh dengan Evan. Toh, lelaki itu tak tahu siapa dia sesungguhnya juga rumahnya. Jadi, anggap saja kejadian tadi hanya angin lalu. Ya, hanya angin lalu atau mimpi yang sangat buruk.
***
"Ya, hallo, Sayang?" ucap Ivy antusias sambil meloadspeaker HP-nya kemudian meletakkan benda pipih itu ke meja rias. Tangannya sigap mengambil pelembab lalu mengoleskan tipis ke wajahnya.
Ivy memandang ke arah cermin di mana bibirnya tengah melekuk senyum.
"Lima menit tak keluar juga, aku pergi."
Ivy tertawa kecil. Pacarnya itu memang suka merajuk. "Aku segera keluar, kok. Tenang aja, Sayang!"
Ivy mengusap gambar telepon warna merah di HP lalu kembali merias wajah. Ia meraih lipstik lalu mengoleskan ke bibir mungilnya, menggerak-gerakkannya dan sesekali tersenyum lebar.
"Sudah cantik," gumamnya senang.
Ting Nung!
Benar-benar cowok tak sabaran. Ivy menatap bayangan tubuhnya di cermin lalu menyambar tas, meraih HP, kemudian melangkah cepat melewati ruang tamu yang berantakan.
Ivy tertawa kecil saat HP dalam genggamannya kembali berbunyi. Benar-benar cowok tak sabaran. Ia mematikan benda itu lalu meraih gagang pintu.
"Terlalu lama," gerutu Reyhan saat melihat Ivy keluar dengan senyum terkembang.
Mendapati wajah Reyhan yang cemberut, ia tertawa kecil. "Biasa, pacarmu ini kan cewek. Yang, apa aku udah cantik?" Ivy tersenyum menggoda.
"Kamu selalu cantik," sahut lelaki tegap berkulit cokelat itu sambil memerhatikan penampilan Ivy yang terlihat anggun dengan dres hampir menyentuh mata kaki berwarna biru langit. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai, melambai ke sana-kemari dipermainkan angin malam yang dingin.
"Jika aku cantik, kenapa tak segera menikahiku?" Ivy memandang sang kekasih penuh harap. Wajah gadis itu langsung berubah saat Rey balas memandang, seolah meminta pengertiannya.
Tentu saja, Ivy mengerti. Kekasihnya sedang kesulitan uang. Bu Desi sakit-sakitan. Belum lagi, lelaki itu harus membiayai adiknya yang sedang kuliah. Ivy harus sabar menunggu pinangan itu tiba.
"Setelah adikku lulus, aku akan melamarmu. Aku sudah mengatakannya berkali-kali padamu, kan?"
"Baiklah. Baiklah. Aku tau, Sayang." potong Ivy. Ia selalu tak suka pertengkaran.
"Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?" tanya Ivy sambil mengikuti langkah Rey menuju halaman rumahnya yang sepi di mana mobil diparkir lalu tatapannya lurus ke jalan raya. Ia menelan ludah saat melihat sejoli yang berjalan sambil bergandengan tangan.
Kapan aku bisa seperti itu dengan Kak Reyhan, melakukan semua hal tanpa takut dosa? Mata Ivy berkaca-kaca.
Berbeda dengan beberapa mantannya yang sesekali menggenggam tangannya atau mengecup ringan keningnya, Reyhan tidak demikian. Dosa, katanya. Ivy pernah nyeletuk, "Pacaran juga sebenarnya dosa." Namun Reyhan hanya menanggapinya dengan senyum.
Apa sebenarnya Reyhan tak benar-benar mencintainya? Ivy menggeleng. Masa tak cinta tapi memacarinya.
Mencoba membuang kesedihannya, Ivy segera masuk, membanting tubuhnya di kursi dan menatap keluar. Reyhan menggeleng seraya tersenyum kecil, lalu mengemudikan mobil membelah jalanan yang ramai. Ivy segera keluar begitu mobil berhenti. Keduanya berjalan bersisian menuju warung makan Padang yang sejak dulu menjadi langganan mereka.
"Duduklah."
Reyhan menarik kursi ke belakang lalu menuntun Ivy duduk. Ditatapnya gadis itu lembut kemudian berjongkok dan mengeluarkan kotak merah dari saku celana hitam pendeknya. "Ulurkan tanganmu."
Ivy menatap Reyhan terkesima. Apa ia sedang berhalusinasi? Segera tangannya menepuk-nepuk wajah. Reyhan masih tersenyum lebar.
"Aku sudah memikirkannya semalaman. Kita memang tak akan segera menikah, tapi paling tidak, kita bertunangan dulu. Apa kamu setuju?"
Ivy mengerjap. Rasa haru yang menyelinap ke dalam benak membuat matanya berkaca-kaca. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, Reyhan melakukannya. Tidak masalah tak segera menikah. Yang penting, ia dan Reyhan terikat dulu.
Ivy menganggukkan kepala lalu mengulurkan tangan. Dadanya berdebar saat ia melihat Reyhan membuka kotak cincin, menampakkan benda kecil dengan mata berkilauan.
Namun, belum sempat cincin itu tersemat di jari manis Ivy, tiba-tiba HP di saku celana Reyhan berbunyi, membuat cowok itu kembali menutup kotak perhiasan. Dengan penuh pengertian, Ivy memandang Reyhan, lalu perlahan mengangguk, memberi isyarat agar Reyhan segera mengangkatnya.
"Baiklah. Aku segera ke situ."
Ivy memandang sang kekasih cukup lama. Kening gadis itu mengerut. Sepertinya, ia mengenali suara itu. Begitu tak asing. Mungkinkah ....