2nd Teen - Kinkaku Temple

1397 Words
             Keesokan harinya, Miyuki telah menjadikan kunci itu sebagai kalung yang dipakainya kemana-mana sambil berharap akan menemukan tempat yang dimaksud si buku. Hiruk pikuk para murid di sekolah itu membuatnya melupakan apa yang telah dibacanya semalam.             Ia masuk ke kelas dan melihat kerumunan anak-anak kelasnya yang sedang asyik mengobrol dengan seru. Setelah meletakkan tasnya, ia menghampiri kerumunan itu dan berusaha mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. “Yuki-san*, apa yang sedang kalian bicarakan ? Sepertinya seru sekali.” tanyanya pada seorang gadis berkacamata.  “Oh, kau tidak tahu ? Akhir pekan ini kita akan berdarmawisata !” jawabnya dengan semangat. Bola mata Miyuki langsung membesar. “Maji de ??? Ke mana ?” Miyuki pun langsung berubah menjadi sangat antusias juga. “Belum tahu. Semua masih berdiskusi kira-kira kita akan berdarmawisata ke mana. Berita ini juga sebenarnya masih belum pasti. Sakisaka-san mendengarnya saat lewat di ruang guru.” lanjut Yuki. “Eee...kukira sudah jelas.” balas Miyuki dengan kecewa dan kembali ke tempat duduknya.             Bel berdering dan semua murid telah duduk di tempatnya masing-masing. Seorang guru pria mengenakan setelan jas berwarna kelabu masuk ke dalam ruangan. Setelah memberi salam, ia berdeham sebentar dan memandang ke seluruh bagian kelas dengan tersenyum. Semua perhatian tertuju padanya karena mereka telah menebak apa yang akan disampaikan wali kelas mereka untuk rapat pagi rutin itu.           “Nah, anak-anak. Ada hal yang akan sensei*  sampaikan pada kalian. Sesuai jadwal pembelajaran kita, maka akhir pekan ini kita akan berdarmawisata untuk mengerjakan laporan sejarah.” katanya kemudian. Semua anak-anak bersorak riang hingga wali kelas mereka harus kembali berdeham keras agar mereka kembali tenang. “Kita bukan pergi untuk bermain, anak-anak. Ada tugas dari sensei Moritaka agar kalian membuat sebuah laporan tentang tempat bersejarah yang akan kita datangi.” lanjutnya sambil memandang mereka tajam. Sensei Moritaka adalah guru sejarah mereka yang terkenal dengan ketegasannya. Sebuah tangan mengacung ke udara. “Sensei, kita akan berdarmawisata ke mana ?” tanya salah satu anak laki-laki yang duduk di sudut. “Kyoto. Kita akan pergi ke Kinkaku-ji.” jawab wali kelas mereka dengan tenang. Terdengar kembali hiruk pikuk para murid. Ada yang berbisik seru dan sangat berantusias, ada juga yang sepertinya bosan dengan tempat yang akan mereka datangi.             Kinkaku-ji atau lebih dikenal dengan kuil Kinkaku adalah kuil yang cukup terkenal di Kyoto karena bangunannya yang terbuat dari emas murni. Seluruh lapisan dinding dan lantainya kecuali lantai satu, semua berlapis emas. Tatanan tamannya juga sangat indah dan menjadi salah satu tempat pariwisata bagi para turis.             Miyuki juga sangat berminat untuk pergi ke sana karena ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bangunan yang terbuat dari emas.   ***                       Akhir pekan yang mereka nantikan akhirnya tiba. Pagi itu, semua anak-anak kelas tiga dari Hoshi Gakuen telah berkumpul di depan sekolah. Tiga buah bus besar telah menanti mereka. “Miyuki ! Kau ke mana saja ? Sudah seminggu aku tak melihatmu dan kau juga tak menghubungiku !” Kenichi berjalan menghampirinya dengan muka kesal. Miyuki menoleh padanya dan ada seraut perasaan bersalah. “Aa...ah Ken-chan...gomen, aku benar-benar lupa.” kata Miyuki dengan suara kecil. Karena telalu semangat untuk berdarmawisata, ia sama sekali lupa untuk menghubungi pacarnya itu. “Geez...padahal kau yang kemarin minta ketemu, malah kau lupa !” sungut Kenichi dan ia berbalik untuk kembali ke kelompoknya. “Eee, jangan marah ya, Ken-chan...” bujuk Miyuki sambil bergelayut manja di lengan Kenichi.             Mereka berbicara lama hingga akhirnya para guru memberi tahu bahwa mereka akan segera berangkat. Miyuki kembali ke bus kelasnya, begitu juga Kenichi. Dalam waktu lima belas menit, bus telah berangkat menuju Kuil Kinkaku.             Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, mereka telah sampai di Kinkakujimae*. Pemandangan di sana benar-benar membuat mereka terpana. Pepohonan yang beraneka ragam warnanya membentang dari kanan-kiri mereka. Para guru pembimbing langsung menuntun mereka masuk ke dalam.             Hanya dalam beberapa saat, Miyuki telah ikut dalam rombongan kelasnya yang masih sibuk mendengarkan guru pembimbing mereka menjelaskan sejarah kuil itu. Ia dapat melihat teman-teman sekelasnya yang sibuk mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru sambil terus berjalan.            “Jadi, Kuil Kinkaku dibangun pada tahun 1397 sebagai villa peristirahatan bagi Shogun Ashikaga Yoshimitsu.” jelas guru itu dengan singkat. Miyuki hanya memicingkan matanya tanpa berusaha mencatat apa yang dikatakan pembimbing itu. “Shiba, kau tidak mencatat apa yang kukatakan ? Ini masih termasuk tugas sejarah.” tegur pembimbing itu pada Miyuki. Rombongan itu langsung berhenti berjalan. “Tidak, sensei. Saya sudah tahu sejarah Kuil Kinkaku.” jawab Miyuki dengan cuek. Semua mata memandangnya dengan tidak percaya karena selama ini predikat 'gadis nakal' sudah melekat pada dirinya. Melihat pandangan seperti itu dari berbagai penjuru, Miyuki dengan sebal menarik napas panjang.            “Kuil Kinkaku sebenarnya adalah sebuah villa yang dibangun oleh Kitsune Saionji, seorang pejabat tinggi pada tahun 1220-an dan dinamakan Kitayamaden. Kuil ini kemudian dibeli oleh Shogun Ashikaga ketiga, Yoshimitsu pada tahun 1397. Tiga tahun setelah Yoshimitsu berkuasa, ia memerintahkan untuk memperbaiki Kitayamaden dan menatanya. Ia juga meminta bagian dinding luarnya dilapisi dengan emas yang kemudian dikenal dengan nama Kinkaku. Kuil ini kemudian diubah menjadi Kuil Buddha Zen setelah kematiannya. Lalu, pada dini hari 2 Juli 1950, kuil ini dibakar oleh seorang biksu kurang waras yang berusaha bunuh diri setelah membakar kuil.” kata Miyuki dengan satu tarikan napas. Semua teman sekelasnya melongo kagum. “Kau belajar ?” heran guru itu. “Saya hanya membaca sejarah saja, sensei.” jawab Miyuki dengan cuek.             Tanpa berkata apapun lagi, guru itu membiarkan Miyuki yang sibuk memandang sekeliling dengan semangat. Ia mengagumi tempat itu. Tamannya sangat indah karena antara jalan setapak dengan danau dan taman sekitarnya dibatasi oleh pagar bambu. Pohon-pohonnya juga dibentuk dengan rapi dan indah. Bahkan ada air terjun buatan di salah satu sisinya.             Setelah penjelasan yang panjang lebar mengenai sejarah Kuil Kinkaku, mereka diberikan waktu bebas untuk melihat-lihat kuil emas itu. Miyuki dengan cepat berlari kecil untuk melihat kuil itu lebih dekat karena letaknya yang berada di pinggir danau. Tidak berapa lama, Yuki datang dan menghampirinya. “Aku tidak menyangka bahwa Shiba-san tahu banyak mengenai sejarah.” katanya dengan tersenyum. Miyuki menoleh padanya dan tertawa santai. “Aku hanya kebetulan suka membaca buku yang menarik minatku seperti itu.” jawabnya. Miyuki sebenarnya tidak menyangka bahwa ada yang akan mengajaknya bicara. Biasanya selalu dia yang bertanya pada orang-orang. “Eh, apa itu kunci rumah ?” Yuki mulai memperhatikan untaian berkilau di leher Miyuki. “Ooh, bukan. Ini hanya kunci misterius yang kutemukan. Karena suka bentuknya dan takut hilang, kujadikan liontin kalung.” kata Miyuki dengan tenang. “Shiba-san ternyata orang yang ramah ya.” senyum Yuki. Miyuki terpaku dan ada secercah kebahagiaan di hatinya. Ia tersenyum pada gadis itu. “Panggil saja aku Miyuki.” katanya kemudian. Yuki tersenyum membalasnya.             Tidak berapa lama, datanglah tiga orang gadis dari kelas sebelah. Gaya mereka juga cukup mencolok. Mereka memandang sebal pada Miyuki. “Heee ? Ada perempuan murahan si Shiba. Kau ternyata ikut juga ya darmawisata ini ? Kukira kau pergi dengan cowok-cowok lagi.” cibir salah satu dari mereka yang berambut cokelat. Miyuki hanya memandang mereka dengan dingin dan tidak menjawabnya. Yuki sudah memandang mereka dengan cemas. “Jangan hiraukan mereka, Yuki. Cuma pengacau dari kelas sebelah.” kata Miyuki pada teman barunya itu. Tiga gadis itu memelototinya dengan tidak percaya. Hanya satu diantara mereka yang Miyuki kenal, Kiriko Hazui. “Ternyata 'wanita nakal' sepertimu bisa punya barang bagus juga ya ?” mata Kiriko menangkap kilauan kalung yang dipakai Miyuki. Sebelum Miyuki sempat menutupinya, tangan Kiriko lebih cepat menyambar kalung itu dan menariknya kuat hingga terlepas dari leher Miyuki. Gadis itu memegang sekeliling lehernya yang memerah. Wajahnya memandang sebal pada tiga gadis di depannya. “Kembalikan padaku, Kiriko.” kata Miyuki dengan tenang. Matanya mulai membara. Kiriko nampaknya senang sekali berhasil memancing kemarahan Miyuki.  “Ambil saja sendiri kalau kau mau~” lanjutnya dan ia dengan tiba-tiba melempar kunci itu ke danau kuil Kinkaku ! Miyuki membelalak tak percaya dan berlari ke pinggir danau. Tangannya meremas ujung pagar bambu dengan geram. Dengan cepat gadis itu menoleh tajam pada Kiriko dan kawan-kawannya yang telah tertawa puas. Yuki memandang mereka dengan ketakutan.             Tiba-tiba, Miyuki melompati pagar bambu itu dan melompat ke dalam air sebelum Kiriko sempat pergi meninggalkan mereka. Sontak, semua yang ada di sana menjerit kaget dan mengerumuni sekeliling danau. “Miyuki !!!” teriak Yuki dengan panik. Guru pembimbing pun dengan cepat berusaha memanggil bantuan. *********************************************************************************** *    - san adalah kata sapaan yang digunakan untuk menghormati orang lain. *    guru *    Depan Kuil Kinkaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD