MCKR 26 – Insiden Pulpen

1052 Words
Haura memandang laki-laki yang bernama Anjar tersebut sebentar lalu menaikkan bahunya, dia memang tidak mengingatnya. “Ah, mungkin saya salah,” kata Anjar sambil tersenyum. “Boleh kita masuk? Kita udah telat loh,” kata Haura kepada Anjar. Anjar tersenyum, “Oh, iya, silakan. Untuk akhwat silakan ikut teman saya ini, namanya Rizka. Rizka tolong jamu tamu-tamu kita ya?” kata Anjar. “Baik, Kak,” kata Rizka. “Dan yang Ikhwan bisa langsung ikut dengan saya,” kata Anjar. Lalu mereka pun langsung berpencar. Anjar terus memikirkan Haura. Dia seakan pernah melihat Haura namun dirinya tidak tahu pernah melihat Haura di mana. *** Haura merasa gerah sekali, ingin rasanya dia membuka kerudungnya namun, setiap dia ingin melepaskannya, Samantha terus menerus menghalanginya, bukan hanya Samantha, Albie juga seakan terus mengawasi Haura. Setelah acara sambuta-sambutan selesai, selanjutnya semua peserta lomba pun langsung pergi ke ruangan lomba masing-masing lomba. Lomba memanglah dibagi dua sesi. Sesi pertama untuk 5 lomba pertama dan sesi kedua untuk 5 lomba selanjutnya. Haura pun memasuki sebuah ruangan yang bertuliskan lomba menulis puisi. Di dalam ruangan, Haura diminta untuk mengisi daftar hadir, mengambil kocokan dan diberikan kertas folio juga sebuah pulpen merek standar. Setelahnya, Haura pun duduk di tempat yang sudah disediakan sesuai nomor urut registrasi. “Sekarang kalian sudah boleh membuka gulungan kertas kocokan itu. Di dalam kertas tersebut ada tema-tema islami yang harus kalian gunakan untuk mengikuti lomba ini. Adapun alasan kami memberikan tema secara tiba-tiba adalah karena kami ingin semua peserta jujur sehingga tidak ada yang sudah membuat dari rumah dan menghafalkannya. Karena pada kasus-kasus sebelumnya ada yang seperti itu, karena sudah disebutkan temanya, dia buat di rumah, itu pun dibuatkan oleh orang lain, lalu dia hafal, dan di sini dia hanya tinggal menuliskan puisi tersebut. Bukankah itu curang? Itulah sekali lagi alasan kami membuat peraturan seperti ini.” Terang seorang Juri yang ada di ruangan tersebut. Haura mengerucutkan bibirnya, “Bukannya ini itu kayak nyusahin?” gerutunya dalam hati. Haura mana berani mengatakan hal itu. Dia sangat tahu kalau kedatangannya dan teman-teman itu mewakili sekolahnya jadi dia harus bersikap sopan. Selanjutnya, Haura pun membuka gulungan kertasnya. Kemudian, Haura pun langsung mendapatkan tema yang sangat membuat dirinya tercengang, “Tentang Memaafkan.” Haura langsung terdiam begitu saja dia tentu bingung mengenai apa yang harus dia tulis sekarang. Dirinya merasa sangat bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dia tulis. Waktu pun terus berlalu, 30 menit berlalu dan Haura belum menulis satu pun kata di kertasnya. Dia pun ingin menyerah namun dia pun memilih untuk mencoba terlebih dahulu. Setidaknya kalau dia tidak sampai selesai menyelesaikan puisinya, dia bisa menulis judulnya. Tentang memaafkan. Haura mencoba mencoret-coret pulpennya namun tidak mau menyala. Haura pun langsung mendongak dan mencoba mencari panitia. Pulpen yang digunakan harus berwarna biru, jadi dia tidak bisa menggunakan pulpen yang ada di dalam tasnya. “Aku harus mencari panitia,” kata Haura. Haura pun langsung keluar dari ruangan meninggalkan peralatan tulisnya. Dia mencoba mencari panitia. Namun, sesampainya di depan kelas, Haura tidak menemukan ada satupun panitia. “Kenapa kamu ada di luar?” tanya seseorang. Haura menoleh. Dan di sana, dia pun bertemu dengan Albie dan Anjar. “Kak, aku nggak ada pulpen buat nulis,” kata Haura kepada Albie. Albie pun langsung mengeluarkan pulpennya dan menyerahkannya kepada Haura. Namun, sayangnya pulpen itu pulpen warna hitam. “Harusnya pakai tinta warna biru,” kata Haura. Anjar pun langsung memberikan pulpen berwarna biru kepada Haura, “Apa di dalam tidak ada panitianya?” tanya Anjar. “Kayaknya mereka lagi pergi.” Jawab Haura. “Lanjutkan lombamu, Ra,” kata Albie. Haura terdiam sebentar. Dia tidak tahu apakah dia bisa melanjutkan lomba atau tidak namun yang jelas dia tidak memiliki ide sedikitpun akan tema itu. “Saya tinggal dulu. Saya harus mencari panitia yang lain,” kata Anjar. “Terima kasih pulpennya,” kata Albie. Haura melotot pada Albie. Padahal yang harusnya mengucapkan terima kasih adalah dirinya. Dirinya memang sadar kalau Albie tengah mengejeknya karena tidak mengatakan terima kasih kepada Lalu Anjar pun pergi, kini giliran Haura dan Albie yang ada di sana. “Kak, aku nggak mau lanjut,” kata Haura. “Kenapa?” tanya Albie yang bingung. “Aku nggak ada bayangan sama sekali.” Terang Haura. “Kamu pasti bisa. Kamu narasikan masa lalumu saja. Lalu kemas pakai bahasa yang puitis,” kata Albie. Haura terdiam. Dia jadi semakin yakin kalau Albie Sudha mengetahui masa lalu Haura yang begitu memilukan. “Kak …” kata Haura. “Udah, sana masuk. Kamu datang ke sini untuk lomba bukan untuk merengek,” kata Albie. Haura pun langsung menunduk dan langsung berbalik dengan sangat lesu. Dia harus menulis apa? Batinnya terus meronta-ronta. Siswa waktu tinggal 40 menit lagi. Haura pun langsung terdiam, dia tidak memiliki waktu menggambar seperti anak-ana lain pada umumnya. Seketika Haura teringat kepada apa yang telah dikatakan oleh Albie. Dia pun langsung teringat pada masa lalunya. Seketika dia pun mendapatkan ide yang bagus dan segar untuk membuat puisi tersebut. Haura merasa sangat senang. Namun, karena dia membuatnya dengan menggunakan hati dan juga membuatnya deengan beban masa lalu yang sangat berat, akhirnya Haurapun mulai menitikkan air matanya. *** Seusai mengikuti lomba cipta puisi selanjutnya Haura pun mengikuti lomba menulis cerpen. Di mana dirinya sudah berjanji pdaa Albie untuk engikuti dua lomba tersebut. Aturan main lomba ini tdak jauh berbeda dnegan menulis puisi karena peserta juga diminta untuk mengambil kertas kocokan yang berisi tema. Lagi, Haura pun diberikan sebuah kertas kecil berisi tema. “Memohon Ampunannya.” Gumam Haura. Haura seketika terdiam. Laam sekali, dirinya tidak tahu haru membuat apa. Namun, laugi-lagi Haura pun teringat kembali kata-kata yang dilontarkan oleh Albie kepada dirinya yang meminta kepada Haura untuk menuliskan apa yang telah Haura alami. Kadag, imajinasi emmang suka hadir di saat yang tidak tepat. “Haura …” gumam Haura kapada dirinya sendiri. “Lo pasti bisa,” kata Haur.a Haura pun langsung menutup matanya, berdoa, dan langsung menuliskan apa yang ada di dalam kepalanya. Diaharus bisa berkonsentrasi dengan baik. Dan benar saja karena tekat Haura yang sangat kuat sehingga Haura pun akhirnya bisa menulis kalimat dni kalimat kertas folio di atas mejanya engan baik. “Ayo, sedikit lagi.” Gumam Haura. Haura tidak lagi memperhatikan teman-temannya yang ternyata sudah selesai dan maju satu persatu untuk memberikan hasil pekerjaan mereka masing-masing. Lagi … Haura keluar lomba paling terakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD