Di Mana Suamiku?

1768 Words
Pierre kembali ke barak setelah malam begitu larut. Saat ini ia sudah bisa jauh lebih tenang. Berada terus dalam bahaya, membuat Pierre bisa menertralkan perasaan takutnya dan fokus pada tujuan utama. Hal yang mesti ia lakukan, yaitu cepat melaporkan hilangnya Fawaz. Jujur, dalam hatinya terselip harapan besar jika Fawaz masih bisa selamat. Menyakini keajaiban membawa temannya kembali ke hadapannya. Dan mereka bisa pulang bersama-sama. Pierre mengangkat alat komunikasi itu. Digoyangkan sebentar. Setelah yakin tidak rusak, ia mulai memakainya dan berharap kali ini direspon. "Halo ... halo. Dengan Letnan Dua Pierre. Saya ingin melaporkan, bahwa Letnan Satu Fawaz menghilang di titik kordinat 10.3 arah timur." Nafasnya masih tak beraturan. Malah ia juga merapatkan netranya karena rasanya hal itu masih menyesakkan rongga d**a juga tidak bisa diterima oleh nalar. "Halo, halo ... ada yang mendengar?" ulang Pierre. Suaranya mendapat tanggapan, sepertinya ada seseorang yang mencoba mengangkat panggilan. "Halo dengan Sersan Mayor, Irsyal," jawab Irsyal. Ia adalah sahabat Fawaz sekaligus bawahan Pierre. Ialah yang seharusnya bertugas bersama Fawaz tetapi karena Irsyal sakit, ketika baru sampai di sini, sedang Fawaz membutuhkan rekan yang kuat, jadilah Pierre dan ia bertukar peran. Irsyal menjaga daerah yang lebih dekat dengan jalan bersama Bima, sesama Letnan Dua. "Halo Mas Irsyal, ini aku Pierre. Mas Fawaz menghilang, Mas," ucapnya lagi sambil melap keringat yang menetes dari dahinya. Irsyal yang berada di seberang telepon jadi berdiri. "Apa kamu bilang?!" Ia membentak dengan amarah. Kenapa ini bisa terjadi dan kenapa harus Fawaz? Ia sadar, jika Fawaz sampai tidak bisa ditemukan. Semua orang akan tau, dirinya dan Pierre bertukar lokasi. Tentu itu bukan hal yang bagus untuk kariernya. "Bagaimana bisa?!" Walau jabatan Pierre lebih tinggi tetapi secara usia, ia jauh lebih muda ketimbang Irsyal dan sejak dulu, Pierre tidak pernah menunjukkan kekuasaan. Maka dari itu Irsyal dengan mudah menekannya. Pierre tidak bisa lagi mengelak dari pertanyaan- pertanyaan menyudutkannya. Bahkan jika semua kesalahan berusaha ditimpakan kepadanya. Pierre merasa dirinya pantas mendapatkan itu semua. Kata cacian terlontar dari mulut Irsyal. Tapi anehnya Pierre tidak sakit hati. Ia malah memasukkan kata-kata itu ke palung sukmanya dan malah ikut menyalahkan diri sendiri. *** Pencarian dimulai. Semua regu disatukan guna membantu pencarian Fawaz, rekan kerja yang sudah seperti keluarga sendiri. Sepanjang mencari, Pierre sama sekali tidak dilibatkan. Ia terus mendapat tatapan sinis dari yang lain. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?" Marah Irsyal lagi sembari mencengkram kerah baju Pierre. Dia marah bukan cuma untuk Fawaz. Tapi buat dirinya sendiri. Tapi apa Irsyal bisa mengatakan itu di sini dan dalam kondisi seperti ini? Tidak! Dan opsi menyalahkan Pierre nyatanya membuat ia merasa lebih baik. Pierre terdiam dengan tatapan nanar. Ia tidak ingin mengatakan bahwa sebelumnya ia juga sudah menelpon pusat. Hanya saja, tak ada yang menanggapi permohonannya. Dari jauh, Bima melirik Pierre dengan perasaan gelisah. Ia takut seandainya Pierre mengatakan yang sebenarnya kalau dirinya sempat menerima panggilan itu. Bima yakin, Pierre mengenali suaranya. Bisa di musuhi dengan yang lain seandainya saja Pierre berkata yang sejujurnya. 'Tidak, orang londo itu tidak akan pernah berani buka suara. Aku yakin itu,' senandika Bima dalam hati. "Sudah ... sudah." Yunus datang menengahi. Bukannya karena ia juga tidak marah pada Pierre. Tetapi, saat ini yang terpenting adalah terus melakukan observasi hutan demi menemukan Fawaz secepatnya sebelum hari berganti malam. Ia takut jika bintang-bintang itu sudah mencabik tubuh Fawaz tanpa tersisa. Yunus menatap Pierre penuh kebencian, dalam hati ia merasa apakah semua ini memang kesengajaan dari Pierre agar ia bisa naik jabatan dengan mudah? Entah, hanya Pierre yang mengetahui niatannya. Kebetulan posisinya sebagai bawahan Fawaz membuatnya dengan mudah dicurigai siapa pun. Pierre menarik bajunya dan membetul kan lencana miliknya. Melihat itu, Irsyal melerai pegangan dan terdiam. Dia tidak menyangka, satu gerakan Pierre sudah mampu menyadarkan posisinya. 'Mas Bima sejak tadi memperhatikan aku.' Suara hati Pierre. Meski diam, tapi bukan berarti ia tidak sadar pandangan orang terhadapnya. Ia tahu kenapa Bima terus menatapnya, tak lain karena Bima takut Pierre bilang kepada semua orang tentang kejadian yang sebenarnya dan sayangnya ia bukan anak kecil yang suka mengadu. Apalagi sesuatu yang tidak mendasar dan minim barang bukti. Pierre bukan orang bodoh yang menjerumuskan dirinya makin dalam dikabut prasangka. Baginya diam adalah solusi. Bicara saat ini, cuma akan menimbulkan kesitegangan sesama regu. Sedang, pencarian Fawaz masih jadi yang utama. Dan di mata Pierre, Irsyal begitu karena dia sangat menghormati Fawaz. Pierre tidak mengambil tindakan tegas dan mencoba memaklumi sikap Irsyal itu. Tatapan kecewa begitu terasa, resah dan gelisah kehilangan sahabat terdekat yang membuatnya gelap mata. Bagi Pierre, Irsyal adalah orang yang tidak bisa menutupi suasana hatinya. Ia terlalu ekspresif dan sebenarnya itu tidak begitu baik. Ia bisa langsung marah hanya dengan melihat satu sisi tanpa mengonfirmasi keabsahannya. Sedang Yunus, orang yang paling dituakan. Sifatnya tegas dan tidak mudah percaya pada orang lain. Lagipula Pierre tidak tertarik membuat ia percaya padanya. *** Praangg!! Ayla terjongkok seraya membersihkan pecahan piring. Tapi tiba-tiba saja pecahan piring itu melukai tangannya "Auuww ... ." ringisnya seorang diri. Ia merasa ada sesuatu hal yang terjadi. Namun.., buru-buru Ayla tepis. Ia tidak mau berburuk sangka akan takdir. Lagipula mempercayai firasat seperti itu bukanlah gayanya. Ia hanya percaya pada takdir Allah yang maha kuasa. "Ya Allah, lindungilah suami hamba," harapnya, bergumam penuh kesungguhan. Lantas ia memandangi foto suaminya yang masih memakai seragam. Dalam foto itu Fawaz terlihat sangat gagah juga berwibawa. Membuat sudut bibir Ayla terangkat sebab mengagumi suaminya. "Bunda ... Bunda," teriak Yusuf baru pulang sekolah TK. Karena TK-nya dekat, anak itu sudah bisa pulang-pergi sendiri tanpa dijemput. Ayla langsung menyerahkan tangannya untuk disalimi Yusuf. Bunda, Kenapa. Kok piringnya pecah?" tanya Yusuf. Ayla tersenyum. "Tadi Bunda gak sengaja mecahin. Ya udah Abang sekarang ganti baju, kita sebentar lagi mau siap-siap makan," titahnya sambil terus mengelus surai Yusuf, anak pertamanya yang begitu mirip dengan Fawaz. Sebelum itu, Yusuf mencengkram baju Ayla. "Bun, tadi di sekolah Bu Guru tanya apa cita-cita aku. Aku jawab, aku mau kayak ayah, Bun. Bisa melindungi negara ini dengan kekuatan dan keberanian." Yusuf berucap bangga seraya menaiki tangannya yang ceking. Tingkahnya membuat Ayla terkekeh dan menutup mulutnya dengan telapak. "In Syaa Allah, Nak. Abang Yusuf bakalan bisa menjadi seperti ayah," katanya meski sebenarnya dalam hati, Ayla kurang setuju. Ia sendiri tidak mampu membayangkan seandainya Yusuf pergi ke daerah rawan bahaya, bisa semenderita apa dirinya memikirkan keadaan Yusuf di sana. Seperti yang diketahui. Tidak ada satu pun ibu yang akan kuat melihat penderitaan anaknya. Walau belum tentu itu terjadi, tapi hati Ayla kini merasa sangat merana sampai ia gak mau membayangkannya. "Ya sudah kalau gitu Abang mau ganti baju dulu,ya, Bun. Sekalian lihat kamar adek." Yusuf adalah anak yang penyayang. Meski baru berusia enam tahun. Tapi ia sudah menunjukkan gelagat tanggung jawabnya sebagai seorang kakak. Salah satunya dengan mengasihi Balqis tanpa diminta. Yusuf bahkan tak segan membantu Ayla menjaga adik perempuannya itu. Karena kata Ayahnya, lelaki sejati adalah pria yang bisa diandalkan. Dan ia ingin menjadi anak lelaki yang bisa berguna untuk sang ayah. "Terima kasih,ya, Sayang!" tanggap Ayla bahagia. Cukup kehadiran Balqis dan Yusuf sebagai pelipur lara ketika kegundahan demi kegundahan menyapa jiwanya. Ayla sudah merapikan tatanan meja makan. Lantas ia berniat memanggil kedua buah hatinya untuk makan. Tapi tiba-tiba saja ponselnya berdering. "Ahk, ada telepon." Ia menyeritkan alis ketika melihat ponsel Fawaz lah yang menghubunginya. "Mas Fawaz sudah bisa telepon aku?" girangnya. Buru-buru Ayla mengangkat. Sebelum orang yang di seberang telepon bicara. Ia sudah mengungkapkan ke rinduannya "Assalamuaikum, Sayang. Aku kangen. Aqis dan Yusuf juga rindu kamu. Rindu ayahnya," cicitnya membuat Yunus, orang yang sebenarnya lagi menelpon jadi terdiam. Ia menelan ludah kasar sambil memberikan ponselnya pada Irsyal. Rasanya ia jadi tidak kuasa memberi tahu berita buruk ini pada Ayla. Setengah hari mencari tanpa ada satu pun jejak membuat mereka putus harapan. Apalagi daerah ini masih begitu banyak hewan liar. Kecil kemungkinan untuk Fawaz selamat. Irsyal menerima ponselnya dengan bergetar. Ia juga tidak mampu untuk berkata. Lidahnya keluh dan suaranya parau karena sesenggukkan. Ia jadi menatap Pierre yang saat itu cuma diam dan tatapannya kosong. "Kau saja. Kau,'kan yang membuat semua ini terjadi," ucapnya mendendam. Pierre menerima dengan pasrah. "Ha ... halo, Mbak." Suaranya kaku. Ia sendiri belum menyiapkan mental untuk berbicara pada Ayla. "Eh," Ayla merasa malu. Ia menutup mulutnya spontan. "Mas Fawaz ke mana, Pier?" tanyanya yang cukup mengenali suara barito milik Pierre. Ayla juga agak heran, untuk apa Pierre yang malah menelponnya dengan ponsel Fawaz? "Mbak ... aku ingin memberi kabar tentang Mas Fawaz." Saat itu ketakutan Ayla sudah mulai terasa, menjalar hingga jantunganya berdetak tak karuan. Tanpa sadar matanya jadi berkabut. Tapi ia mencoba tegar supaya bisa mendengar penjelasan Pierre. "Ada apa dengan Mas Fawaz, Pierre?" desaknya karena Pierre justru terdiam. "Mas Fawaz ... Mas Fawaz." Pierre menatap lainnya. Mereka terlihat sudah putus asa. Tapi tidak dengannya. Ia yakin, ini bukanlah saatnya untuk Fawaz pergi ke alam baka. Selama ia tidak melihat mayat Fawaz, Pierre menolak untuk mengatakan abang angkatnya itu gugur di medan perbatasan. Tapi Ayla juga harus tahu keadaan ini. Maka, ia berkata. "Mas Fawaz saat ini tidak bisa kami temukan. Tapi aku berjanji akan mencarinya untukmu," ucapnya tanpa sadar ia merasa begitu peduli dengan Ayla dan tidak ingin wanita itu sampai cemas. Ayla tergugu dengan pernyataan Pierre. Apa maksudnya, mengatakan kekasih hatinya tidak bisa ditemukan. Ia jadi mencengkram ponsel begitu geram. "Maksud kamu apa Mas Fawaz tidak bisa ditemukan?" Tanpa sadar suaranya meninggi. Ia tidak melihat jika di sampingnya ada Yusuf dan Balqis yang sedang bergandengan dan menatap sang ibu keheranan. Sungguh, Ayla bukan orang yang bisa berteriak sekeras ini. Suaranya selalu melembut. Tetapi Yusuf cukup mengerti, ia mendengar nama ayahnya disebutkan. Mungkin karena ia yang terbiasa mandiri. Jadinya Yusuf lebih dewasa dari usianya. Setidaknya reaksi bundanya mengatakan ada yang tidak baik terjadi pada ayahnya. Sang abang jadi menangis seraya sesenggukkan, sedang Balqis hanya menatap kakaknya dan ibunya bergantian. "Abang kenapa, sih?" celotehnya. Ketika itu Ayla menengok ke anak-anaknya. Ia menyeka air mata kasar dan berusaha tersenyum ke arah Balqis meski bibirnya gemetar. "Pierre, apa yang terjadi sama Mas Fawaz?" Ia melunakkan ucapan tapi juga sangat berharap Pierre mengatakan sejujurnya. Sungguh, tidak mengetahui kabar tentang suaminya jauh lebih buruk ketimbang ia tahu yang sebenarnya. Minimal dengan tahu apa yang terjadi. Ayla bisa berdoa tepat sasaran. Bukan seperti ini, menerka-nerka hingga rasanya jantungnya mau meledak. "Mas Fawaz ... Mas Fawaz!" Pierre terisak. Ia ingat kembali kejadian kemarin. Ia bisa katakan kalau Fawaz adalah sosok laki-laki sejati. Dalam kesulitan dirinya tidak sedikit pun gentar. Berbeda dengan dirinya yang justru kabur begitu saja. "Waktu itu Mas Fawaz dikepung oleh babi hutan. Aku berusaha menyelamatkannya. Tapi Mas Fawaz meminta aku untuk pergi." Pierre luruh, Keningnya mencium tanah dengan tangisnya pecah. Ia sadar betapa piciknya dirinya yang mau saja diselamatkan Fawaz tanpa memikirkan keselamatan sahabatnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD