Melepas Kepergiaan Suamiku
"Balqis ... Yusuf. Ayok, Nak, salim dulu sama Ayah. Ayah sebentar lagi mau tugas ke Kalimantan," ucap Ayla. Ibu dua anak yang juga istri dari seorang satuan pengaman perbatasan, Indonesia - Malaysia. Di Kalimantan Barat, tepatnya daerah Entikong. Ia Letnan Satu, Fawaz Omar Hisyam. Lelaki keturunan Arab, berkulit sawo matang dengan tubuh tinggi tegapnya.
Baik Balqis dan Yusuf nampak murung tidak seperti biasa. Padahal kedua anak itu sudah sangat sering ditinggal Ayahnya pergi, demi tugas. Tapi, baru kali ini tatapan mereka amat berat.
"Eeh, kok anak Ayah pada murung gini, sih?" Fawaz berjongkok menyamai tinggi kedua anaknya yang baru berusia enam dan lima tahun itu.
"Ayah di sini saja sama Aqis," pinta si bontot yang paling manja sedunia.
"Ha ha ... nanti kalau Ayah gak tugas, Ayah bakal nemenin Balqis dan Yusuf sepanjang hari," kata Fawaz berjanji.
"Beneran,ya, Yah?!" Gadis itu tersenyum bahagia sambil memeluk ayahnya begitu posesif.
"Sudah dong Aqis. Nanti Ayah ditinggal sama temen-temen Ayah," rayu Ayla lucu sekaligus miris. Ia memahami perasaan anak gadisnya itu.
"Biarkan saja, Bun kalau Ayah ditinggal." Yusuf nampak begitu kontra dengan kepergian ayahnya kali ini. Dalam lubuk hatinya, merasa ini adalah pertemuan terakhir dan ia akan berpisah lama dengan idolanya itu.
"Yusuf, " panggil Ayla dengan tatapan tak senang karena sikap anak pertamanya itu. Yusuf merengut dan langsung lari masuk ke kamarnya.
"Maaf,ya Sayang. Gara-gara aku Yusuf jadi marah sama kamu," sesal suaminya itu. Ia mengenggam tangan Ayla, wanita yang ia nikahi lebih dari delapan tahun belakang ini begitu erat.
Ayla hanya tertunduk pasrah. Bibirnya terus menguntai senyum ikhlas. Walau di hatinya selalu merasa berat tiap kali melepas Fawaz yang harus pergi tugas.
Tapi bagaimana lagi, ini adalah takdirnya sebagai istri salah satu dari anggota TNI AD. Ayla harus ikhlas melepaskan kepergian Fawaz, yang mungkin saja menjadi kepergian terakhirnya tanpa pernah kembali. Mengingat medan perbatasan sangatlah berbahaya.
Akan tetapi semua ini Ayla terima. Karena cintanya yang begitu besar kepada suaminya. Bahkan berbagai rintangan telah mewarnai tahun-tahun pernikahan mereka. Dimulai hubungan tanpa restu sampai masa di mana Ayla dianggap sulit memiliki keturunan.
Alhamdulilah, badai itu telah berlalu. Dan saatnya ia memetik manisnya kehidupan dengan suami dan anaknya. Ayla tak sanggup jika harus kehilangan salah satu dari mereka.
Ayla cuma bisa berharap suaminya itu selalu pulang dalam keadaan selamat. Setiap kali Fawaz pergi, hanya kembali Imam-nyalah yang selalu menjadi harapan Ayla. Hingga ia tidak putus berdoa kepada Sang Khalik. Meminta keselamatan sang suami sepenuh hati.
Ayla mendongak menatap lekat bola mata suaminya itu. Ia membelai pipi Fawaz. Ayla tahu suaminya bukan hanya miliknya seorang, tapi ia juga seorang patriot yang harus mengutamakan kedamaian negeri ini di atas segalanya. Dan Ayla bangga akanuef hal itu. Ia mencintai Fawaz apa adanya. Termasuk pekerjaannya yang membuat Fawaz terlihat begitu bahagia.
"Gak papa Sayang, nanti Yusuf juga berhenti kok ngambeknya," jawab Ayla agar Fawaz tidak perlu lagi mencemaskan anak pertama mereka.
*
Rencananya, Fawaz pergi dengan menumpangi mobil jeep temannya. Seorang Letnan Dua bernama Pierre Nasution, lelaki blasteran dengan kulit putih dan mata hitam pekat itu sebenarnya tak layak menjadi Satgas Pamtas. Ia lebih layak menjadi seorang model dinilai dari tinggi juga tubuhnya yang atletis.
Lelaki yang tujuh tahun lebih muda dari Fawaz dan dua tahun lebih muda dari Ayla itu sudah sampai di pekarangan rumah temannya.
Ayla melambaikan tangan ke Pierre yang masih setia duduk di bangku kemudi dan Pierre mengangguk sebagai balasannya.
Ayla memang sudah mengenal Pierre sebagai kenalan baru suaminya. Hanya itu dan tak lebih.
"Ya sudah Bun, Ayah pergi dulu,ya," ijin Fawaz. Ayla hanya mengangguk seraya mengambil tangan sang suami dan menciumnya patuh tanpa diminta. Dibalas Fawaz dengan mengecup hijab syar'i warna hitam yang Ayla gunakan. Pemandangan itu membuat batin Pierre bergejolak.
'Mas Fawaz dan Mbak Ayla begitu bahagia. Semoga kelak aku bisa mendapatkan istri seperti Mbak Ayla,' harap Pierre dalam hati.
"Eh kenapa bengong?" tegur Fawaz sambil terkekeh geli . Ia memang akan berubah menjadi lebih jail kalau sudah sama teman-temannya. Maka dari itu si-introvert Pierre dan Si-friendly Fawaz bisa langsung akrab walaupun baru beberapa kali bertemu.
"Eh Mas. Sudah di sini saja," sahut Pierre basa-basi.
"Iyahlah, makanya jangan melamun saja. Gak lihat kan kalau aku sudah sampai. Lagian, kamu lagi melamunkan apa, sih?" selidiknya lagi ingin tahu apa yang ada di pikiran temannya itu. Meski Pierre tidak pernah cerita hal pribadi.
"Ahk, enggak kok. Bukan apa-apa," tolak Pierre halus.
*
"Usia kamu sudah berapa, Pier?" tanya Fawaz saat mereka masih di jalan. Pierre tersenyum tipis.
"Dua puluh lima tahun," jawabnya singkat.
"Dua puluh lima tahun! Dan kamu masih saja sendiri. Kamu tahu, sewaktu usiaku dua puluh empat tahun aku sudah menikah dengan mbakmu itu," tutur Fawaz pongah. Pierre masih diam, wajahnya datar nampak seperti orang yang tidak pernah merengguk rasa bahagia. Dan itu semakin membuat Fawaz penasaran.
"Benar kamu belum ada calon?" lanjut Fawaz.
"Belum, Mas."
"Emm ... Memangnya seperti apa kriteriamu?"
Fawaz pikir, mungkin ia bisa mengenalkan Pierre pada Zulaekah, adiknya yang bontot. Pierre merenung, jika membicarakan kriteria wanita idamannya, jujur ia belum memilik gambaran untuk itu. Kehidupan pribadinya yang terlalu complicated membuat ia enggan bermimpi karena hanya takut mimpi itu tak akan pernah menjadi kenyataan.
Pierre hanya bisa tersenyum seraya menggeleng lemah untuk jawaban pertanyaan Fawaz.
"Hhah! Yakin kamu bahkan gak tahu wanita seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi bidadari di rumahmu?" sarkas Fawaz.
"Aku sungguhan Mas. Aku bahkan belum memikirkan hal itu." Jujur Pierre dengan nada berat. Sebenarnya ia juga merasa terganggu terus sendiri.
"Kamu normal kan?" selidik Fawaz sambil melihat Pierre dari atas sampai bawah.
Kini, Pierre tertawa keras. "Jelas saja. Itu tidak perlu Mas Fawaz ragukan!"
Pierre jadi sering tertawa jika ia sedang bersama Fawaz dan itu berkat Fawaz. Fawaz bisa mengeluarkan sosok lain dalam diri Pierre, yaitu ia yang periang.
"Terus," balas Fawaz yang belum puas. Tepatnya ia sedang menyelamatkan posisinya jika seandainya Pierre belok seperti dugaannya.
"Aku hanya tidak punya waktu untuk memikirkannya," desis Pierre serius. Fawaz mengeryitkan alis.
"Gak punya waktu, tapi kan kamu punya mata." Fawaz sibuk bergerutu.
"Oke kalau begitu aku tanya. Apa menurutmu mbakmu itu cantik?"
Karena tidak ada lagi wanita dewasa disekitaran mereka akhirnya Fawaz membawa Ayla sebagai perbandingan. Jujur Fawaz merasa Ayla adalah wanita tercantik. Matanya jernih dan bibirnya mungil. Menjadikan ia terlihat lebih muda dari usianya. Siapa pun ... siapa pun laki-laki pasti akan merasa tertarik dengan miliknya itu. Dan hanya Fawaz lah yang beruntung mendapatkan keindahan itu.
Pierre menyinggulkan senyum miring. "Cantik," kutipnya sambil membelokkan kemudi.
"Hanya itu?" sahut Fawaz semakin bingung.
"Lalu harus apa lagi?" Pierre malah balik bertanya seraya menengok ke arah Fawaz.
"Betul juga sih, apa lagi, istriku memang cantik dan ingat dia sudah punya aku!" tekannya.
"Tapi kamu tahu, selama beberapa hari ini aku bermimpi Ayla menangis seraya memegangi papan nisan yang basah dengan air matanya. Aku takut itu sebuah pertanda," cicit Fawaz. Ia memang tidak pernah menceritakan mimpi ini ke Ayla. Karena takut wanita itu kepikiran.
Lagi Pierre menengok, kali ini dengan pelototan matanya ketika mendengar hembusan putus asa yang keluar dari bibir temannya itu.
"Mas kan pernah bilang padaku. Jika maut, jodoh dan rejeki sudah digariskan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Jadi mungkin saja semua itu tidak benar. Lagipula kan mimpi hanya bunga tidur," ujarnya mencoba menghibur.
"Kamu benar," lirih Fawaz meski kesedihan masih ia rasakan. Tetapi seharusnya juga ia bisa mengambil sikap seperti Pierre percaya akan takdir serta ketentuan Yang Maha Kuasa. Fawaz merasa malu, bahkan Pierre yang baru belajar islam lebih mengamini hal itu ketimbang dirinya.
"Lalu bagaimana jika saatku telah tiba?" Rasa takutnya berpisah dengan keluarga kecilnya yang membuat Fawaz pendek akal seperti ini.
"Hm ...."
Pierre pun tidak bisa menjawab. Ia tahu banyak sekali kejadian yang bahkan gak bisa mereka percaya bisa terjadi. Misalkan seperti tiba-tiba kecelakan lalu meninggal detik itu juga. Dan itulah maut. Tidak ada yang tahu kapan akan terjadi.
Tanpa Pierre sadar, Fawaz terus memperhatikannya.
"Jika itu terjadi, maukah kamu merawat istri dan anakku?" lirih Fawaz penuh harap.
Mata Pierre membulat "Maksud, Mas?" desaknya. Fawaz kembali duduk menghadap jalan.
"Seperti yang kita tahu. Alam akan selalu menyimpan misterinya. Memang sebagai manusia kita tidak boleh berburuk sangka. Tapi kamu pernah dengarkan yang dinamakan firasat.
Sebuah rasa yang tiba-tiba hadir begitu saja."
Pierre memberhentikan mobilnya sesaat. "Tapi Mas tahu itu tidak mungkin," tampiknya.
"Kenapa, karena kamu non muslim? Bukankah kamu bilang sebentar lagi kamu akan masuk islam?" celetuk Fawaz. Kali ini ia sangat serius memintanya.
"Iyah cuma ... ."
"Dan Ayla jawabannya. Ia sangat pintar. Ia bisa membimbingmu. Gak ada aturan yang mengharuskan seorang lelaki harus memiliki power lebih dalam rumah tangganya. Karena seorang suami juga manusia biasa. Bisa salah dan bisa benar. Lagipula rumah tangga bukan tempat untuk saling adu kekuatan, justru dibutuhkan kerja sama yang baik antara suami dan istri agar bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah," simpulnya.
"Aku cuma gak berharap itu terjadi, Mas. Semoga kita bisa kembali dengan selamat," ujar Pierre. Meski ia tahu, sepertinya Fawaz masih memikirkan hal tersebut.