bc

Mrs Arlin

book_age16+
645
FOLLOW
3.8K
READ
possessive
contract marriage
family
mate
brave
self-improved
CEO
sweet
teacher
like
intro-logo
Blurb

Mrs.Arlin

Begitulah dia kerap dipanggil. Memiliki profesi selaku guru bahasa inggris dengan rupa yang menawan. Pintar, cantik dan elegan. Dia adalah incaran para kaum adam. Salah satu dari sekian banyak adalah Andrew Thompson.

Pria duda beranak 3. Panas, tampan dan penuh taktik. Oh jelas, Arlin enggan berurusan dengan pria duda. Sayangnya ia berhati lembut, gampang tersentuh oleh taktik licik Andrew terlebih dengan membawa ketiga anaknya.

Hanya kasihan. Begitu yang ia yakini awalnya. Pelan dan pelan, ia semakin masuk ke dalam permainan Andrew. Lantas, apa itu tidak bisa berubah menjadi cinta?

Picture by: pinterest

Font: Canva

chap-preview
Free preview
Prolog
“Selamat siang, Pak. Silahkan duduk.” Tubuhnya menegang. Bahkan masih sama saat ia telah duduk di kursi yang tersedia. Bibir pink merona itu tampak mengatakan sesuatu namun tidak menyerap ke telinga. Yang ia fokuskan hanyalah wajah perempuan itu saja. Cantik. Itu terlalu sederhana. Rambut lurus dikuncir satu, jatuh hingga ke pinggang rampingnya. Manik coklat tampak berkilau dalam bingkaian bulu mata lentik dan alis tebal. Hidung mungilnya menjulang tinggi dan lalu ia memiliki bibir kecil nan merah yang berkilau sehat. Aneh. Rasanya baru kemarin Andrew kesini, tapi kenapa baru melihat guru ini? Pertanyaan-pertanyaan akan eksistensi guru di depannya beradu bersama pujian yang hatinya luahkan. Ia telah melihat banyak perempuan cantik, tapi baru yang ini terasa menarik minatnya hingga ia tidak bisa menghentikan pandangan meneliti. “Jadi bagaimana, Pak?” “Hah?” Ia tersentak, tak mengerti pertanyaan yang terlontar padanya. Bibir tersebut terangkat, mencoba paham akan pria di depannya yang mungkin belum memahami inti pembicaraan. Suara lembutnya meluncur kemudian, menggetarkan pertahanan hati Andrew. “Begini, Pak. Sagara Thompson telah membuat masalah. Sebelumnya dia juga telah memiliki beberapa masalah, jadi pihak sekolah ingin memberikannya skors. Sebagai wali kelas saya ingin mengajak anda bekerja sama. Selama waktu yang ditentukan saya ingin anda mengirimkan guru bimbingan tambahan kepadanya. Apakah bapak setuju?” Andrew berdehem singkat, membasahi tenggorokannya lebih dulu sebagai terapi penenang hatinya yang bergejolak. Berada dengan jarak tipis dengan perempuan itu telah membuat jantungnya berdebar-debar, apalagi saat maniknya sejajar kepadanya. “Saya setuju. Saya akan mencari guru bimbingan dan memastikan dia belajar selama masa detensi.” “Terima kasih atas pengertiannya, Pak. Saya sendiri juga nantinya akan datang berkunjung untuk memeriksa.” Senyum manis mengakhiri pembicaraan. Kakinya tidak ingin beranjak. Sang guru juga tampaknya heran, jadi ia memberi sorot tanda tanya. Tiga menit berlalu akhirnya membuat Andrew merasa tertekan. Manik itu tampak sangat mempesona. Pertahanan hatinya benar-benar hancur. “Saya permisi.” Ia menggeser kursi. Sagara sudah menunggu di daun pintu. Tampak heran karena papanya diam saja bahkan meski mereka telah sampai di dalam mobil. “s**t!” Andrew memukul stir. Sagara terlonjak, berpikir sang ayah tengah dalam mood yang buruk. Eits, rasanya tidak mungkin karena rona merah menjalari pipi Andrew. Semakin jelas saat Andrew menjatuhkan kepala ke stir dan senyumnya tampak mengembang bagikan pria yang baru jatuh cinta. "Papa, kenapa?" Dia menggeleng, memastikan bahwa ia tidak mungkin jatuh cinta. Selama bertahun-tahun dia telah setuju menjadi duda. Setuju tidak ada nama perempuan lain menggantikan almarhuma istrinya. Perasaan tadi barangkali hanya terpesona sesaat. Benar, hanya sesaat. Namun hari berikutnya Sagara semakin pusing. Papanya terus menerus meminta informasi lanjut terkait wali kelas barunya. Ia enggan, tapi teror yang berlanjut bersama sogokan membuat ia pasrah. “Namanya Arlin Setiana Zahrenta. Dia guru baru di Cendikia yang memegang mata pelajaran bahasa inggris. Orang-orang biasa memanggilnya Mrs.Arlin. Ya bukan hal aneh sih kalau papa dag dig dug melihatnya, toh para pria di SMA juga begitu," jelas Sagara pada suatu sore. “Arlin.” Gumaman namanya saja telah membuat bibirnya tertarik ke atas. Damn! Apa yang terjadi pada dirinya? Semua ini di luar kendali. Wajah Arlin terbayang terus di benak setiap saat. Ia menjadi semakin gila karena efek yang di bawah bersama adalah debaran aneh di dalam sana. Apa benar dia jatuh cinta? Tapi bagaimana bisa? *** “Selamat malam, Bu. Maaf mengganggu waktu istirahat anda.” Bibirnya terangkat akan suara lembut yang langsung menyapa di seberang sana. “Selamat malam, Pak Andrew. Ada hal apa ya?” “Begini, Bu.” Andrew mendorong tangannya ke jendela kaca, menurunkan pandangan pada keindahan kerlap-kerlip kota yang menjulang tinggi. “Sagara beberapa hari belakangan ini tengah demam. Tapi dia terus bermain game dan mengabaikan perkataan saya. Kalau boleh saya ingin anda membantu menasihatinya. Kebetulan juga ada yang ingin saya bicarakan mengenai perkembangan yang dilaporkan oleh guru pembimbingnya.” Setelah beberapa bujukan akhirnya perempuan di seberang telepon setuju. Andrew bersorak senang dalam hati. Hampir sembilan hari dia tidak melihat sosok tersebut. Parahnya dorongan besar di dalam hatinya makin bergejolak. Ia kewalahan dan akhirnya tidak tahan lagi. Baiklah, sedikit skenario ia harap bisa membantu. “Tuan, mobil sudah siap.” Andrew memutar poros. Ia mematikan komputer dan menyandang jasnya. Nolan dengan sigap kemudian membantu membawa tas laptop keluar. Ia sampai di kediaman beberapa belas menit kemudian. Senyum yang tidak luntur membuat asistennya bergidik ngeri. Sejak kapan tuannya sebahagia ini? “Hanya demam biasa kok, Bu.” Samar-samar ia mendengar suara Sagara dari ruang keluarga. Hatinya meletup-letup akan suara yang kemudian mengudara. “Meskipun begitu kamu tetap harus banyak beristirahat, Saga. Main game-nya nanti saja. Ini, tadi kebetulan saya sedang memasak hot pot.” Dalam beberapa langkah ia melihat perempuan cantik itu duduk sempurna di sofa. Sagara yang mengetahui kedatangannya langsung melempar sorot kesal. Hoho ia paham sekali arti sorot tersebut. Tapi mau bagaimana lagi, ini kesempatannya untuk membawa Arlin lebih dekat yakni menggunakan anak-anaknya. “Dengar itu kata Bu Arlin. Jangan main game dulu.” Ia sengaja mengambil duduk di sebelah Arlin. Aroma vanila yang menguar dari tubuh Arlin menghasilkan kenyamanan tersendiri bagi kerunyaman hatinya sebelum ini. Mata Andrew turun pada rantang di meja kopi. “Maaf, saya jadi merepotkan anda.” “Tidak apa-apa. Saya juga perlu memeriksa langsung Sagara.” “Bu Arlin baik sekali. Cocok benar menjadi istri saya.” Arlin berkedip beberapa kali. Menyadari ia akan diterjang pertanyaan membuat Andrew menghela halus. “Kalau saja saya punya waktu lebih pasti saya akan datang langsung ke sekolah. Tapi mau bagaimana lagi. Jadwal saya terlalu padat.” Arlin tersenyum tipis. “Saya mengerti, Pak. Dengan status anda sebagai presdir GEA memanglah tidak mudah membagi waktu untuk hal lain di luar kerja.” Hati Andrew menghangat. Kelembutan dan kalimat pengertian Arlin menyerap baik ke hatinya. Sedikit tersentuh karena baru kali ini ia mendengar perhatian tulus seorang perempuan tanpa memiliki embel-embel permintaan sebagai imbalan. “Papa.” Bagus. Sudut bibir Andrew tertarik dalam melihat putra kecilnya berlari ke arahnya. Kaki mungil tersebut pelan-pelan berhenti, memandang dalam kepada Arlin. “Sini sayang.” Andrew membentangkan tangan. Adam memang bergerak padanya, tapi mata anak itu tetap pada Arlin. Keimutan yang dihasilkan menghasilkan senyum di bibir Arlin. “Hai.” Adam mendongak untuk melihat ayahnya. Ia ingin tahu siapa perempuan cantik tersebut. Kenapa dia datang? Menyapa ramah pula. Andrew merendahkan bibir ke telinga Adam. "Itu mama baru Adam," bisiknya. Beberapa kalimat tersebut langsung membangkitkan binar gembira di mata Adam. Tanpa berpikir panjang dia melompat ke pangkuan Arlin dan membentangkan tangan untuk memeluk erat. Arlin cukup terkejut akan perlakuan si bocah imut. Tapi ia kalah oleh kegemesan Adam. Ia memandangnya dengan dua kelereng jernih. Kepolosan dan kemurnian. Bagaimana bisa dia menang dari ini? “Tuan, Adam tidak mau minum susuu,” keluh Bi Ina. Di sebelahnya seorang maid membawa nampan berisikan segelas susuu. “Ndak mau. Gak enak.” Kepala mungil di pelukannya bergoyang-goyang beberapa kali. Desah berat Andrew mengambil atensi Arlin. “Anak-anak kenapa ribet sekali. Padahal kemarin dia hantu minum susu.” “Mama, itu apa?” Arlin tersambar petir mendengarnya. Mama? Telinganya tidak salah dengar kan? Atau jangan-jangan dia malah tengah melantur. “Adam,” tegur Saga merasa tidak enak hati. Sudut matanya menjadi canggung untuk bertemu Arlin. Perempuan itu masih muda. Tentulah dia lebih memilih pria segar lain daripada ayahnya yang telah menyandang status duda. “Mama.” Adam menggoyang-goyangkan lengan Arlin, mengembalikan kesadaran pemiliknya bahwa ini adalah kenyataan. Andrew menunggu dalam diam, takut-takut Arlin meledak akan panggilan putranya. “Ini hot pot pedas untuk Kak Sagara.” Arlin membuka rantang. Jemari lembutnya yang bekerja menjadi tontonan indah Andrew. Hatinya di dalam sana lega tak terkira kemudian mengetahui bahwa tidak ada riak emosi sedikit pun di wajah Arlin akan panggilan Adam. “Udah, Adam sana kembali ke kamar,” kata Saga semakin risih. Bisa bahaya dia jika wali kelasnya ini naik darah. “Ndak mau.” Ia mengeratkan lagi pelukannya di lengan Arlin. “Adam mau makan.” Arlin mengirim pertanyaan lewat mata kepada Andrew. “Dia memang sedikit sulit makan. Malah terbiasa baginya makan jam segini karena menunggu saya pulang. Bi, siapkan makanan Adam. Susunya buang saja, ganti dengan jus buah.” “Baik, Tuan.” “Ndak enak.” Adam menggeleng kuat membayangkan makanan buatan orang dapur. “Adam mau itu.” Ia menunjuk lagi rantang hot pot yang telah Sagara rebut. “Enak aja. Ini punya kakak.” Sagara mendekapnya. Salahkan rasa hot pot itu yang begitu lezat. Tubuhnya yang dalam keadaan demam juga tertarik untuk menikmati kehangatan kuahnya lebih lagi. Adam meraung-raung. Andrew mencoba menenangkan tapi itu tidak kunjung membantu. Aih, sifat manjanya mendominasi malam ini. “Tunggu sebentar ya, aunty akan memasakkan hot pot untuk Adam.” Saat dia mengalihkan pandangan kepada Andrew, pria itu masih dikuasai keterkejutan. Arlin sangat cantik, mungkin juga mulai tertarik karena kini tersadar seberapa luar biasanya dia. Tapi, tidak perlu berpura-pura sampai bisa memasak kan? Setidaknya begitulah pemikiran Andrew sebelum menyaksikan sendiri bagaimana lihainya Arlin menyiapkan hot pot di dapur. Sagara menggeser bibirnya ke telinga sang ayah. “Kalau tipe begini aku setuju. Gih cepat bawa ke KUA, Pa.” “Sabar, Ga. Menikah itu tidak semudah yang otak kecil kamu bayangkan.” “Halah banyak alasan.” Saga juga tidak percaya dewi kecantikan SMA-nya ternyata ahli di dapur. Harusnya dia takut minyak atau bahan-bahan lain mengotori kecantikannya. Tapi pada kenyataan tidak sama sekali. Benar-benar sesuatu. Hot pot tersaji di meja beberapa menit setelahnya. Para maid terkagum, baru kali ini tuan membawa perempuan ke rumah dan hebatnya memiliki talenta nyonya masa depan. Cantik, sopan dan pandai memasak. Pantas saja tuannya kepincut. Andrew tidak melepas senyumnya melihat Arlin yang menyibukkan diri mengisi mangkuk Adam, dia dan Sagara. Setelah usai ia dengan perhatian meniup-meniup hot pot sebelum disuapkan kepada Adam. Sungguh calon ibu yang baik. “Pa,” suara Suga tercekat. Perempuan yang menyuapi Adam menjadi fokus utamanya. “Mrs.Arlin?” Meski guru SMA, tapi dia juga mengenalnya. Bagaimana tidak? Kecantikan perempuan itu sudah menyeberang hingga ke SMP-nya. Guru maupun murid sering membicarakan nama tersebut. “Suga, adik saya,” ujar Saga memperkenalkan. “Yo curut, sini makan.” Suga masih tenggelam dalam kebingungan mendalam ketika bergabung. Apalagi bibir papanya terus tersenyum. “Calon ibu?” bisik Suga. Andrew mengangguk. “Eh?” Suga mengerutkan dahi. Sejak kapan papanya memutuskan ini? Bukankah ia telah berkata ingin mendedikasikan diri sebagai duda selama sisa hidupnya? *** “Terima kasih untuk hari ini. Saya benar-benar telah merepotkan anda.” “Tidak apa-apa.” Bayangan wajah imut Adam masih terpatri jelas di benaknya. Ia tersenyum kecil mengingat itu. “Mungkin ini terlalu cepat.” Andrew sudah tidak tahan. Dia tidak mau menanggung perasaan super luar biasa ini sendirian. Dia mau Arlin juga tahu. Kalau bisa langsung menerimanya malah. “Jujur saja, saya jatuh cinta kepada Ibu Arlin.” Jantung Arlin seakan berhenti berdetak akan kalimat Andrew. Jatuh cinta? Apa dia serius dengan kata-katanya? Tidak mungkin. Dia pasti hanya tertarik dengan rupa ini saja. Bukan tanpa alasan dia mengatakannya. Karena memang banyak pria yang menyukainya hanya karena alasan rupa saja. Dimana ketulusan yang dapat membuatnya bertahan? Tidak ada. Itu sebabnya ia menolak. Enggan hanya dinikmati rupanya, lalu saat dia mulai berubah pria itu akan pergi mencari yang lebih indah. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perasaan anda.” Dari panggilannya saja Andrew sudah mengerti seberapa jarak yang terbentang antara dia dan Arlin. Ingin hatinya berteriak mempertanyakan alasan Arlin begitu hangat kepada dia dan anaknya malam ini? Tidakkah itu berati dia menyukainya juga? Menyadari pertanyaan itu akan menggagalkan jalannya ke depan membuat Andrew tersenyum tipis, menekan sakit hatinya ke dasar jurang terdalam. “Tidak masalah. Dalam kasus ini memang saya yang menyukai kamu.” Mungkin bukan hari ini, tapi nanti. Suatu hari dia akan datang ke pelukanku dan menyerahkan hidupnya. “Soal Sagara.” Andrew melanjutkan kalimat. Ia yakin Arlin tidak akan memulai karena perasaan canggung. “Sebenarnya dia tidak seburuk ulahnya di sekolah.” Arlin mengangguk setuju. “Anda benar. Setelah berinteraksi langsung seperti tadi membuat saya sadar bahwa dia sebenarnya hanya ingin merasakan kehidupan. Hanya saja dia sepertinya memilih jalan yang salah. Berbuat onar tampaknya menjadi satu-satunya yang ia percayai sebagai pewarna kehidupan. Dan setelah melihat lebih dalam, dia juga terlihat...” “Kekurangan kasih sayang.” Andrew melanjutkan kalimat canggung Arlin. Dia takut menyindir Andrew. Tapi bagi Andrew hal tersebut memanglah kenyataan bukan aib. “Itu pemicu sikapnya saat ini. Saya berusaha memberi lebih, tapi rasanya tetap tidak akan pernah sama dengan kasih seorang ibu. Jadi tidak heran bagi saya menyaksikan kelakuannya.” “Apa hobinya?” tanya Arlin. “Jika kita mendorongnya pada hal tersebut kemungkinan ia akan berkesempatan mengganti pewarna hidupnya.” “Hobi ya?” Andrew terdiam, menatap lalu lintas di depannya sembari berpikir. “Ketika ia berusia tujuh tahun dia suka melukis. Kalau sekarang, dia terlihat senang menjelajah dan memotret alam.” Arlin kemudian memberikan gagasannya dan Andrew menyambut antusias. Hatinya pula semakin yakin bahwa Arlin pantas menjadi ibu dari anak-anaknya. Kedepannya dia harus kerja keras. Mungkin harus berwajah tembok malah. Tidak mengapa. Andrew telah yakin akan perasaannya. Dia jatuh cinta kepada Alrin di pertemuan pertama. Lalu setelah beberapa hari ia merasakan gejala lanjutan dari perasaan tersebut. Saat malam ini menyaksikan perhatian dan kelembutan Alrin akhirnya dinding yang coba ia pasang setelah keruntuhan pertama kalah. Ia menyukai Arlin. Ingin bersamanya dalam ikatan keluarga. “Alrin..” Pintu hampir ia dorong saat suara berat itu memanggil. “Iya?” Manik yang ditatapnya menunjukkan keteduhan mendalam. Ada janji kenyamanan dan kasih di dalam sana jika dia mau berteduh. Tidak-tidak. Arlin tetap pada pendiriannya. Dia tidak menginginkan ataupun menyukai Andrew. “Selamat, mulai hari ini kamu memegang hati saya.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.4K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook