bc

Unavoidable Marriage

book_age16+
980
FOLLOW
4.6K
READ
contract marriage
love after marriage
forced
arranged marriage
goodgirl
inspirational
drama
comedy
spiritual
assistant
like
intro-logo
Blurb

Harumi Jannah As-Syifa dan Muhammad Dzakir Nur Yusuf, harus menikah dengan lawan jenis yang tidak mereka cintai, bahkan kenal pun tidak. Membuat Harumi dan Yusuf sepakat untuk membuat janji perceraian. Di sisi lain, ada seorang perempuan yang juga menanti Yusuf sampai perceraiannya, yaitu Olivia Dresnianti.

Pernikahan adalah ibadah terpanjang dan sekali seumur hidup, ini yang diinginkan banyak orang. Tapi sanggupkah mereka mempertahankan pernikahan itu? Karena ibadah terpanjang ini juga akan menjadi ibadah dengan godaan terbesar.

Antara bertahan atau melepaskan dengan ikhlas. Antara sabar dan paksa. Antara memendam atau memaafkan. Terangkum dalam satu cerita ini.

Akhir cerita dengan air mata bahagia dan senyuman terbaik, atau akhir cerita yang penuh dengan air mata duka dan rasa kecewa, hanya Tuhan yang tau. Tugas kita, menjalaninya dengan baik, memetik hikmah dari setiap kejadian dalam menerima semua itu. Agar tidak ada yang namanya penyesalan.

Aku harap, cerita ini bisa menjadi pelajaran untuk kalian semua. Termasuk kalian, yang sedang menjalin cinta beda agama. Juga kalian, yang sedang berusaha untuk menggapai cita-cita.

chap-preview
Free preview
C1 - POV Harumi
Jika tidak suka dengan karya saya silahkan di-skip, jangan malah meninggalkan jejak (komentar) buruk, tolong hargai saya sebagai penulis, karena memikirkan cerita ini tidak semudah menutup mata saat kau sudah lelah. Terima kasih atas perhatiannya. Ps : Author Apalah arti sebuah kehidupan? Jika kamu tak bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Apalah arti sebuah nyawa? Jika diri kamu sendiri bukanlah milikmu. Apalah arti sebuah cinta? Di mana saat kamu masih dalam kandungan, kamu dilarang untuk merasakan perasaan itu pada orang lain, sebelum kamu dipertemukan di pelaminan, di depan keluarga besar. Mau rasa cinta itu timbul atau tidak, tak akan ada yang peduli. Karena takdir kamu adalah membangun rumah tangga yang tidak pernah kamu inginkan. Apa perasaan cinta itu... indah? Apa hidup sesuai keinginan sendiri itu menyenangkan? Aku sama sekali tidak pernah merasakan keduanya. Harumi Jannah As-syifa, adalah nama lengkapku, aku akrab disapa Harumi. Orangtuaku bermaksud memberikan nama yang indah ini agar mencerminkan masa depanku seperti yang mereka inginkan-- tidak, lebih tepatnya seperti yang telah mereka paksakan. Keindahan di musim semi, surga Allah, dan penyembuh. Itulah arti dari masing-masing kata nama yang cantik ini. Dan dia... laki-laki yang duduk di hadapanku saat ini, Muhammad Dzakir Nur Yusuf. Calon suamiku. Kedua orangtua dari laki-laki ini berharap dia seperti nama yang telah mereka berikan. Mulia seperti Rasulullah SAW, cerdas, cahaya yang menerangkan, dan tampan seperti Nabi Yusuf AS. Akan tetapi, apa lah arti sebuah nama? Jika kami tak pernah memintanya. Apalah arti dari harapan mereka? Jika kami hidup dalam kepura-puraan, hidup dalam topeng yang tak pernah diperlihatkan aslinya pada orang lain. Pastinya, semua itu tak ada gunanya. Tidak ada gunanya untuk diri kami masing-masing. Bukan untuk mereka yang bahkan tak pernah sekalipun mendengar pendapat kami berdua. Mereka menjodohkan kami saat masih dalam kandungan tanpa tau apa kami bisa lahir dengan selamat atau tidak. Tapi kenyataannya kami terlahir dengan selamat, dengan banyak kelimpahan yang kami dapat. Paras yang tampan dan cantik, kecerdasan yang amat tinggi, dan keluarga yang selalu memberi dorongan positif pada masa pertumbuhan kami. Tak kekurangan sedikit pun. Alhamdulillah, aku bersyukur atas hidupku. Usia kami sama, 22 tahun, aku hanya lebih kecil 3 bulan lebih 3 hari darinya. Usia yang masih sangat muda untuk menikah, menurutku. Setelah lulus dari Madrasah, dalam 3 tahun penuh aku melanjutkan kuliah D3 di Jakarta. Awalnya aku dilarang kuliah, melanjutkan pendidikan, padahal aku sudah mendapatkan beasiswa, dan aku juga murid yang berprestasi di sekolah. Tapi kedua orangtuaku melarangku untuk mengambil beasiswa itu. Alasannya? Karena seorang perempuan, setinggi apapun pendidikannya, itu tak berarti apapun. Sebab, kodrat sejati perempuan adalah di rumah, mengurus keluarganya. Aku benci fakta itu. Fakta dari orang-orang primitif yang tak pernah bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Berkat dukungan kakakku yang berusaha untuk memberi kepercayaan pada kedua orangtua kami, barulah akhirnya aku diizinkan untuk kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan swasta sampai sekarang. Walau sebenarnya cita-citaku sangatlah sederhana, yaitu ingin memiliki toko bunga. Tapi aku perlu modal, makanya aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan dulu. Sedangkan anak laki-laki yang bernama Yusuf itu sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarganya, dan sebagai anak satu-satunya dari kedua orangtuanya, Yusuf tidak bisa mengecewakan kedua orangtuanya yang telah melakukan perjodohan ini. Lebih tepatnya dia tidak mampu, karena kami sama-sama tidak bisa mengecewakan kedua orangtua kami. Apa keputusan kami ini memang benar? Walau aku bertanya-tanya seperti ini, benar atau tidaknya keputusan yang kami ambil, memang tidak akan bermakna apa-apa bagi kedua orangtua kami. Karena apa pun yang terjadi, perjodohan ini akan tetap dilakukan, apa pun masalahnya nanti, kami tetap akan menikah. Ini sudah menjadi suatu kewajiban. "Harumi... Harumi... hei! Apa yang sedang kamu lamunkan? Ayo! Calon suamimu sudah menunggu di luar," bentak seorang wanita paruh baya. Tentunya. Dia lah yang melahirkanku, mengurus aku dari kecil, memaksaku untuk menerima perjodohan ini. Ibu kandungku, malaikatku dari kecil. "Mari Kakak temani." Tangan putih dengan jari-jari yang panjang itu terulur ke arahku yang sedang duduk dengan tatapan kosong di depan cermin. Aku mendongkakkan kepala yang dari tadi terus tertunduk. Senyuman hangat dengan raut matanya yang sayu sudah lama tak aku lihat. Dia kakak perempuanku, Syakila As-Syifa, saudariku satu-satunya. Dia baru saja kembali dari kota besar, demi menghadiri acara lamaran hari ini. Aku mengangguk pelan, memaksakan senyum. Meraih tangan kakakku. Hangat. Kami bertiga langsung keluar dari kamar, menemui laki-laki yang sudah lama dijodohkan denganku. Bahkan saat kami berdua masih dalam kandungan, kami tak pernah bertemu langsung, hanya melihat foto masing-masing. Malam ini adalah pertemuan pertama kami. Aku menghela nafas berat. Apa yang akan dia katakan saat pertama kali melihatku? Tanpa perlu memikirkannya, aku tau betul, perasaan berat hatinya karena dipaksa menikah dengan perempuan yang tak pernah dia cintai, dengan perempuan yang bahkan tak pernah dia temui sama sekali. Dan bagaimana pula jika di luar sana dia sudah memiliki perempuan yang dia cintai? Aku benar-benar membenci perjodohan ini. Tapi aku tak bisa menolaknya. Aku membuka mata lebar-lebar, melihat ekspresi resah dari laki-laki dengan baju koko putih itu. Aku akui, wajahnya sangat tampan. Namun bagaimana dengan akhlaknya? Apakah setampan wajahnya? Mata kami bertemu. Dia tersenyum padaku, aku tau betul, dia tersenyum amat berat. Terpaksa. Bagaimana bisa aku tau itu? Karena aku lebih sering tersenyum seperti dia. Ayahku membuka pembicaraan, setelah ayah selesai berbicara, laki-laki tua yang sering berkunjung ke rumah ini melanjutkan pembicaraan. Laki-laki tua itu adalah orang tua laki-laki dari laki-laki yang akan menjadi suamiku ini. Apa yang mereka bicarakan aku tidak peduli. Aku memilih menutup rapat-rapat kupingku. "Nak Yusuf, bagaimana pekerjaanmu?" Ayah membuka bicara. Berbasa-basi dengan laki-laki yang dijodohkan denganku ini. Aku terpaksa membuka kuping, menerima suara agar dicerna oleh otakku, sebab kakak menyikut lenganku. Dia tau aku tidak mendengarkan pembukaan dari ayah dan calon ayah mertuaku dari tadi. "Alhamdulillah Pak, pekerjaan Yusuf berjalan dengan lancar." Laki-laki bernama Yusuf itu tersenyum. Palsu. "Aduh Nak Yusuf, tak usah memanggil saya 'Pak' panggil saja 'Ayah' biar samaan dengan Harumi. Kau kan sebentar lagi jadi menantu Ayah." Ayahku menepuk ringan bahu laki-laki itu. Mereka bersama anggota keluarga yang lain tertawa. "Harumi, sapalah calon suamimu. Kamu selalu diam dari tadi, tidak usah grogi dengan Yusuf, dia akan menjadi ayah dari anak-anakmu nanti." Ayahku menjelaskan. Menyuruhku untuk menyapa laki-laki yang tak aku kenal ini. Aku muak di sini, tapi mau tak mau aku harus menuruti perkataan ayah. "Assalamu'alaikum Mas Yusuf," sapaku sambil tersenyum tipis. Palsu. "Wa'alaikumsalam Harumi. Kamu apa kabar?" tanya laki-laki itu setelah menjawab salamku. "Alhamdulillah, aku baik... Mas Yusuf." Aku kembali tersenyum, palsu. Aku ogah melanjutkan basa-basi ini, apalagi dengan basa-basi yang sudah pasaran, seperti menayai kabar. "Hahaha. Nak Harumi, sepertinya Nak Harumi masih malu-malu sama anak Abi. Tidak usah malu begitu, Yusuf kan sebentar lagi jadi suamimu." Laki-laki tua yang bercakap di awal dengan ayah tadi menimpali. Raut matanya teduh, suaranya lembut tapi penuh dengan kharisma, jika saja aku terlahir 30 tahun lebih cepat, mungkin aku sudah jatuh hati dengan Abi, orangtua Yusuf, calon suamiku. Aku kembali tersenyum, palsu. "Hahaha Abi, Harumi hanya kehabisan kata-kata di depan Mas Yusuf." Aku terpaksa berbohong. Lagian mati kata-kata apa pula aku di depan laki-laki yang bahkan tidak aku kenal ini!? Malah di kepalaku banyak terkumpul kata-kata untuk mengusirnya segera dari rumah ini. Bukan karena aku membencinya, aku hanya tak suka berada dalam situasi ini. Mana bisa aku langsung membenci orang yang bahkan tak aku kenal? Lagian, aku tau, kami sama-sama tidak menginginkan berada di situasi ini, kami juga sama-sama menginginkan acara ini berakhir lebih cepat. "Ya sudah. Yusuf, apa kamu ada kata-kata yang ingin kamu sampaikan pada calon istrimu?" Abi, orangtua laki-laki dari calon suamiku ini bertanya pada anaknya, Yusuf. Laki-laki bernama Yusuf itu tersenyum, melirikku. Tanpa sadar aku memasang ekspresi jijik melihat senyuman palsunya, aku segera tersenyum, dia nampak kaget melihat ekspresi sekilasku tadi. Bodo amat dia akan men-capku apa setelah ini. Aku tidak peduli. Lagian, aku tidak perlu bersikap baik dan memasang topeng padanya. Suatu hari nanti kami akan tinggal seatap, dia juga akan tau betapa aku tidak menginginkan perjodohan ini. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Biar dia tau siapa aku yang sebenarnya, mana tau dia mampu membatalkan perjodohan ini, walau konsekuensinya adalah namanya terhapus dari kartu keluarganya sendiri. Dan aku tau, ini mustahil. Tak ada gunanya aku mengimpikan hal yang sia-sia. "Ada Abi." Aku menatap sekali lagi calon suamiku ini. Dia sama seperti abinya, bersuara lembut dan penuh dengan kharisma. Tapi aku bukan tipe perempuan yang mudah jatuh cinta karena fisik orang lain, beda halnya dengan abi, orangtua dari calon suamiku ini yang aku tau betul bagaimana sifat abi, karena tiap hari minggu abi selalu datang ke rumah, bercakap-cakap dengan ayah. Abi juga baik padaku. "Saya Muhammad Dzakir Nur Yusuf, dengan bismillah kedatangan saya bersama keluarga saya hari ini adalah untuk melamar kamu, menjadikanmu istri saya, ibu dari anak-anak kita kelak, Harumi. Saya dan kamu sama-sama tau, kita telah dijodohkan dari lahir. Jadi, sebagai tradisi turun-temurun di keluarga kita, acara lamaran tetaplah diperlukan. Harumi, maukah kamu menerima lamaran saya?" "Harumi, saya tau akhlak saya tidaklah semulai Nabi Muhammad SAW. Saya tidak pula setabah Nabi Ayyub AS, atau setakwa Nabi Ibrahim AS, apalagi setampan Nabi Yusuf AS. Tidak. Saya hanya seorang laki-laki akhir zaman yang In syaa allah akan mencintaimu dengan sepenuh hati saya, karena Allah SWT. Saya hanyalah seorang karyawan swasta biasa saja yang In syaa allah akan amanah menjadi calon ayah dari anak-anak kita kelak. Saya tidak bisa menjanjikan harta yang melimpah untukmu, tapi saya bisa menjanjikan kesetiaan, kedamaian, dan kehangatan di dalam rumah tangga kita nanti. Pernikahan adalah ibadah terlama manusia, saya tak ingin gagal dalam melaksanakan ibadah ini, saya mengimpikan rumah tangga yang tak hanya didasari oleh cinta, tapi juga ridho Allah dan restu orangtua. Jadi, Harumi... maukah kamu menerima lamaran saya?" Aku tergugu mendengar kalimat indah dari laki-laki bernama Yusuf ini, si calon suamiku. Dia berkata seperti itu dengan senyuman yang menawan, raut matanya tadi juga teduh. Walau hanya sekilas, aku melihat dia sempat menghela nafas. Dia berkata seperti ini dengan berat. Sebenarnya seberapa lama dia menghafal kalimat ini? Aku terdiam, tanpa sengaja membayangkan dia berlatih di depan cermin hanya demi bisa menyampaikan kata-kata ini di depan umum agar kelihatan natural. Aku jadi jijik sendiri. Yah, memang tidak semua laki-laki bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan perempuan. Walau aku pernah baca di internet kalau laki-laki dominan jatuh cinta pada pandangan pertama, sedangkan perempuan jatuh cinta setelah mengenal sifat-sifat laki-laki itu. Jadi aku pernah menarik kesimpulan bahwa laki-laki hanya melihat seorang perempuan dari fisiknya saja. Dan kini aku salah. Dia, calon suamiku ini bukan laki-laki seperti itu, karena aku cukup yakin, parasku cantik, aku juga rapi dan bersih, aku tau bahwa dia pasti tau aku perempuan yang pintar, tapi sepertinya dia tidak mencintaiku. Atau mungkin, dia sudah mencintai perempuan lain tanpa sepengetahuan keluarganya? Atau bisa jadi dia sudah punya pacar makanya dia tidak jatuh cinta padaku. Atau aku saja yang terlalu percaya diri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married By Accident

read
224.2K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.0K
bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
199.9K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K
bc

True Love Agas Milly

read
197.7K
bc

Wedding Organizer

read
46.7K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook