bc

Dia untuk Aku

book_age18+
1.0K
FOLLOW
5.6K
READ
alpha
family
goodgirl
powerful
dare to love and hate
drama
bxg
another world
lonely
wife
like
intro-logo
Blurb

Mohon maaf jika ada perkataan dan perbuatan yang tidak diinginkan. Mohon bijak dalam membaca.

Awalnya, Lupita ingin Fardi menikah dengan adik tirinya 'Leni' karena suatu alasan atas keputusasaannya menghadapi penyakit yang dideritanya. Namun, ketika ia sudah kembali dari pengobatannya di luar Negeri, ia menyesal karena sudah membiarkan orang lain masuk kedalam rumah tangganya. Selama dua tahun ia menjalani pengobatan dan selama itu pula ia meninggalkan anaknya yang bernama Alex, beserta suami yang ia cintai bersama madunya.

Saat ketika Rayhan datang dan Lupita hendak menikah dengannya. Namun takdir pun berkata lain.

"Dia untukku dan bukan untukmu. Mereka milikku."

Gambar : Pixabay, @panajiotis--3969866.

Font : Anaktoria, Libre Baskerville.

Cover : Rohimah.

chap-preview
Free preview
Dua tahun lalu
Perjalanan dari Singapura ke Indonesia tidak memakan banyak waktu. Rasa rindu sudah tidak bisa tertahan lagi. Sebuah roda koper menggelinding saat turun dari pesawat. Menghirup kembali udara di Tanah Air kebanggaan, itu sangat membuatku bahagia. Akhirnya setelah dua tahun lamanya aku melawan penyakit, aku bisa kembali seperti biasanya. Syukurlah. Selama dua tahun Mas Fardi tidak menengokku ke sana. Dalam pikiranku hanya terlintas, "Mungkin dia sedang sibuk". Rasanya sangat rindu sekali, terutama kepada anakku yang selama dua tahun aku tinggalkan bersama mereka 'Mas Fardi dan Leni'. Leni ialah istri kedua suamiku. Mungkin itu agak menyesakkan mendengarnya kalau akulah yang mengizinkan mereka untuk menikah dan menitipkan Alex anakku kepada mereka saat aku menjalani pengobatan ku di luar Negeri. Namun, hal itu sama sekali tidak masalah buatku karena, Leni ialah adik tiri ku dan aku percaya sepenuhnya kalau Leni akan selalu memegang janjinya sebelum aku memutuskan mereka untuk menikah. Langkahku terhenti saat melihat Alex sudah bisa berlari kesana kemari. Seingat ku, aku meninggalkan Alex sejak ia masih belajar untuk berjalan. Dengan cepat aku menghampirinya dengan tangan yang aku bentangkan keduanya. "Alex," teriakku dengan penuh kebahagiaan. Aku ingin memeluk Alex dan menggendongnya serta mencium ke seluruh wajahnya yang menggemaskan. Tapi sepertinya Alex sangat takut terhadapku. "Ada apa sayang? Ini mama, Nak. Mama sangat rindu Alex." Alex menjauh mundur memeluk Leni saat Leni melihat keberadaan ku saat ini. Bukankah seharusnya Alex merindukanku juga? Tapi kenapa Alex malah memeluk orang lain daripada ibunya sendiri? Hatiku sesak ketika Alex begitu. "Mbak ... kapan Mbak pulang?" tanya Leni membuatku merasa aneh dengan pertanyaan itu. "Loh, bukankah mbak sudah mengabari mu dari kemarin?" "Kapan? Aku tidak menerima pesan ataupun panggilan telpon." Itu membuatku semakin heran. Padahal, sebelum aku pulang, aku sudah mengirim dia pesan. Bahkan selama di sana aku juga selalu mengirim pesan dan memberitahu keadaanku saat pengobatan berjalan. Tiba-tiba saja Mas Fardi keluar dari rumah, menghampiri tapi tidak menyambut ku. Dia hanya berdiri di samping Leni yang sudah menggendong Alex. "Untuk apa lagi kamu datang kemari? Bukankah di sana kamu sudah menemukan kebahagiaanmu?" ucap Mas Fardi sinis. Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan suamiku terhadap aku istri sah dan istri pertamanya. Dengan mudah dia mengatakan itu terhadapku. Bukankah dia tahu sendiri aku di sana seperti apa dan bagaimana. Apakah pesanku selama ini tidak tersampaikan? Atau ... ah, itu sangat membuatku tidak paham. "Apa maksud kamu mengatakan hal semacam itu? Sungguh, aku hanya menjalani pengobatan di sana, tidak ada niatku untuk mencari kebahagiaan selain dirimu, Mas." "Pembohong tetaplah pembohong. Bahkan kamu tidak ingat sama sekali terhadap anakmu sendiri, anak kita Lupita. Di luar sana kamu malah asik bersetubuh dengan pria lain. Apa itu yang dinamakan pengobatan?" "Mas, tolong percaya kepadaku. Kenapa kamu bisa mengatakan semua itu?" pandanganku beralih kepada Alex yang berada di dekapan Leni. "Alex sayang, mama rindu kamu, Nak. Kemarilah, mama ingin sekali memelukmu." Tanganku ditepis oleh Mas Fardi begitu saja, sampai aku tersentak ke samping kiri dan hampir saja terjatuh. "Jangan sentuh anakku, dia anakku tapi bukan anakmu walaupun itu darah daging mu sendiri. Pergilah, aku tidak mau melihatmu lagi Lupita." "Mama, takut!" rengek Alex yang ketakutan membelakangi ku memeluk erat Leni. "Lihatlah, bahkan anakmu sendiri tidak mengenali ibunya yang jahat sepertimu." "Mas tolong, percaya padaku, aku tidak melakukan apapun di sana. Aku hanya menjalani pengobatan yang kamu inginkan. Bukankah kamu sendiri yang membawaku ke luar Negeri demi kesembuhan ku?" air mata sudah membanjiri wajahku. Perkataanku seakan gemetar, masih tak percaya akan tuduhan itu. "Awalnya memang aku menginginkan kamu untuk sembuh, Lupita. Tapi kamu sudah mengecewakan kepercayaan ku. Aku tahu kalau kamu pura-pura sakit dan berhubungan dengan pria lain di belakangku. Apa itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa kamu merusak semua kepercayaan ku selama ini?" "Mas ... tolong dengarkan perkataanku, aku...." "Mas, bisakah kamu membawa Alex sebentar? Aku mau bicara sama Mbak Lupita," pinta Leni yang langsung didengar oleh suamiku. "Len, tolong jelaskan. Kenapa Mas Fardi menilai aku seburuk itu?" tanyaku penasaran. "Apa Mbak sadar dengan apa yang Mbak lakukan selama di sana?" "Sungguh Leni, Mbak tidak melakukan apapun selama di sana. Apalagi dengan tuduhan Mas Fardi, itu sangat menyakitkan." "Ingat ya Mbak, aku sangat mencintai Mas Fardi, dan aku tidak akan pernah melepaskannya untuk kembali dengan Mbak. Mbak pikir sendiri saja deh. Lagipula aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang jadi, Mbak jangan mengganggu kami untuk saat ini." "Satu hal lagi." Leni kembali berbalik setelah ia melangkah untuk meninggalkanku. "Mas Fardi sudah menyiapkan surat cerai untuk Mbak. Tunggulah, mungkin sebentar lagi Mas Fardi akan memberikannya," ucap Leni melanjutkan langkahnya kembali. Lebih terkejut lagi ketika aku mendengar apa yang dikatakan Leni kepadaku. Seolah dia ingin merebut semua kebahagiaanku dengan Mas Fardi dan juga Alex. Apalagi dengan tuduhan itu. Bagaimana dengan perasaanku? Sakit. Sangat sakit. Bahkan jika hujan petir pun seakan petir itu menyambar diriku. Air mata sudah tidak bisa tertahan lagi, wajah pun basah karenanya. Ada apa sebenarnya dan bagaimana suamiku menilai ku seperti itu? Apa semua ulah Leni? Tidak. Itu tidak mungkin. Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali saat membayangkan bahwa semua adalah perbuatan adik tiri ku. *** Satu tahun setelah aku melahirkan Alex, tubuhku seakan lemah tak berdaya. Tulang punggung seperti akan patah. Kepalaku juga sudah mulai kehilangan kesadaran. Aku mencoba untuk menahan itu semua sebab aku harus mengurus Alex dan memberinya asupan ASI yang cukup. Tapi tidak setelah aku mengetahui penyakit ku yang mematikan. Aku takut akan menularkannya kepada Alex anakku sendiri. "Biarkan aku saja yang mengambil Alex," tawar Leni membantuku bangkit dari posisiku yang tidur di atas kasur. Sudah hampir satu tahun aku merasakan tubuh seperti ini. Aku tersiksa dengan penyakit yang ku derita selama ini. Dokter Rey yang merupakan sahabat Mas Fardi mendiagnosa kalau penyakit ku sudah di stadium akhir. Merasakan kanker darah itu sangat menyakitkan. Bagaimana mungkin diumur ku yang masih 25 tahun mempunyai penyakit seberat itu? Entahlah, mungkin ini cobaan atau takdir untukku. Meski begitu, aku sangat bersyukur bahwa masih ada orang yang peduli dan mau mengurusku serta anak suamiku dengan tulus. Dialah Leni adik tiri ku. Sudah lama bahkan saat aku hamil pun dia sering ke rumah untuk membantu semua yang aku butuhkan termasuk kebutuhan Mas Fardi juga. Setelah mereka tahu akan penyakit ku, mereka seperti merasa iba dan tidak membenciku lagi. Mereka ialah Rani dan Aya, ibu tiri ku dan adik tiri ku yang lain. Ibu kandungku sudah meninggal sejak aku duduk di bangku SMA. Sedangkan ayahku menyusulnya tidak lama setelah aku menikah. Pernikahanku dengan Mas Fardi sudah hampir tiga tahun dan baru dikaruniai anak di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke tiga. Aku dan Mas Fardi hanya berbeda lima tahun, usia Mas Fardi lebih tua dariku. Ketika aku sudah duduk di tepi ranjang dengan bantal yang Leni ganjal ke punggungku, lalu Leni menggendong Alex dan menghampiriku lagi. Ada rasa lega melihat Alex tidak rewel dan mau main bersamanya setiap hari. "Mbak istirahat saja, biar aku yang mengajak Alex main di luar supaya tidak mengganggu Mbak," kata Leni lembut. "Baiklah, terimakasih kamu sudah peduli dengan keadaan mbak juga Alex," ucapku sedikit tidak enak. "Jangan dipikirkan. Aku kan adik Mbak, bagaimana mungkin aku membiarkan Mbak mengurus semua sendirian. Apalagi dengan keadaan Mbak seperti ini!" Leni mengusap tanganku pelan. "Cepatlah sembuh, agar semua bisa melihat Mbak ceria seperti biasanya," sambung Leni. "Amin, terimakasih Leni, kau memang adik tiri ku yang terbaik." Aku tersenyum, kembali berbaring dengan kepala yang sangat berat. Leni membawa Alex keluar setelah melihatku menutup mata untuk meredakan sakit di seluruh tubuhku. Tak lama, aku mendengar suara Mas Fardi dari arah luar. Sepertinya dia sudah pulang dari kantor. Aku mendengar suamiku menyapa Alex dan sepertinya ia menggendong Alex terlebih dahulu. Itulah kebiasaannya setiap hari. Suara sepasang sepatu yang dihentakkan ke atas lantai itu mulai mendekatiku. Aku kembali membuka mata melihat siapa yang datang. Seseorang duduk disisi tubuhku, mengusap lembut rambutku yang hampir botak karena panasnya ketika pengobatan. "Bagaimana rasanya sekarang? Apa sudah lebih baik?" tanya seseorang itu yang tak lain suamiku sendiri. "Seperti biasa, tubuhku masih lemah dan semua terasa sangat sakit," jawabku menggenggam tangan suamiku. "Tolong dengarkan aku sekali saja. Mau ya mas membawamu ke luar Negeri untuk pengobatan kamu sesuai dengan apa yang Rey katakan?" ucapnya dengan penuh harapan. "Sudahlah Mas, jangan dipikirkan. Aku yakin kalau penyakit ku ini tidak mungkin bisa disembuhkan." "Jangan berkata seperti itu, mas tidak ingin kehilanganmu. Apa kamu tidak mau melihat Alex sekolah, dewasa hingga menikah nanti?" tanyanya kembali membuat aku bingung akan pengobatan itu. Bukannya tidak mau, hanya saja itu sangat menyakitkan. Bahkan seluruh tubuhku terasa panas terutama di bagian kepala. Rasanya sakit sekali. Tapi setelah dipikir lagi, aku tidak mau mati diusia mudaku dan tidak bisa melihat Alex tumbuh dewasa nantinya, seperti apa yang dikatakan Mas Fardi itu sangat benar. Aku berpikir sejenak, membayangkan apa yang akan terjadi nantinya. Tapi kembali lagi, ini semua demi diriku sendiri dan demi suami juga anakku. Aku akan bertahan sekuat diriku menjalaninya. Semoga ada keajaiban atas diriku dengan kesembuhan ku di sana. "Bagaimana?" Mas Fardi kembali mengejutkanku setelah aku melamun sesaat. Memang, dialah yang paling tahu kalau aku sedang memikirkan sesuatu. "Baiklah, aku ikuti keinginan Mas, tapi bagaimana dengan Alex dan kamu selama aku berada di sana?" tanyaku sedikit membingungkan lagi. "Ada Papi dan Mami di sini, aku akan tinggal bersama mereka selama kamu berada di sana, bagaimana?" "Tapi mereka sudah tua Mas, aku tidak mau menyusahkan kedua orang tuamu nantinya. Bukan waktu sebentar aku di sana bukan?" "Hmmm, kamu tenang saja, mas akan membawa Leni dan membayarnya untuk menjadi pengasuh Alex," katanya membuat aku kembali berpikir. "Pikirkan kesembuhan mu sayang, mas janji akan sering menengok mu ke sana. Jangan khawatir, fokuslah dulu dengan kesembuhan mu." Mas Fardi berdiri melepas genggamanku dan membiarkan aku berpikir akan keputusan yang akan aku ambil. Mas Fardi mengganti pakaiannya untuk segera keluar mengambil Alex dari Leni. Itu juga kebiasaannya setiap hari. Menggantikan Leni ketika pulang dari kantor. "Mas, bisakah memanggil Leni dan menyuruhnya kemari?" pintaku kepada Mas Fardi saat dirinya selesai mengganti pakaian. "Baiklah, mas akan panggil Leni sekarang juga." Mas Fardi berlalu pergi untuk memanggil Leni di luar. Aku melihat jelas kalau Mas Fardi memang sangatlah dingin terhadap Leni. Hanya seperlunya saja jika menyapa ataupun berbicara kepadanya. Leni membiarkan Alex bermain dengan ayahnya, dia langsung menemui ku setelah mendapat perintah dari Mas Fardi. "Ada apa Mbak memanggilku? Apa Mbak membutuhkan sesuatu?" tanyanya berdiri di depanku. "Duduklah," aku menepuk kasur menyuruhnya untuk duduk di sampingku. "Sepertinya serius," tebaknya yang memang sangat serius. Pelan tapi pasti. Itulah maksudku yang ingin aku sampaikan kepada Leni adik tiri ku. "Bisakah kau membantuku Leni?" "Memangnya Mbak memerlukan bantuan seperti apa?" "Aku ingin kau menikah dengan Mas Fardi." Wajah Leni berubah seketika. Semu pucat pasih dengan keringat yang mulai menyerang pelipis keningnya. Sepertinya dia syok mendengar ucapan ku yang tidak masuk akal ini. Tapi itulah yang ada dalam pikiranku saat ini. Aku berpikir kalau Leni menikah dengan Mas Fardi, sepertinya dia akan menjadi istri pengganti untuk suamiku sekaligus ibu pengganti untuk anakku. Aku takut jika penyakit ini akan membunuhku walaupun aku berusaha mengobatinya. Setahuku, penyakit kanker itu ialah penyakit yang mematikan. Aku juga khawatir jika kedua orang yang aku sayangi tidak bisa aku urus lagi. Dengan itu aku memutuskan Leni untuk menikah dengan Mas Fardi. Tidak ada yang aku percaya lagi selain dia. Lagipula dia terlihat begitu tulus menjaga keluarga kecilku serta selalu ada untukku dikala aku membutuhkan pertolongannya. "M-maksud Mbak apa?" ucap Leni gelagapan, mungkin karena terkejut juga. "Ya, aku takut Len. Jika aku meninggal nanti, siapa yang akan mengurus Mas Fardi dan Alex nantinya. Aku percaya sepenuhnya kepadamu dan aku ingin kamu menikah dengan Mas Fardi." Aku menggapai tangan Leni, menggenggamnya erat seakan memohon kepadanya untuk yang terakhir kalinya. "Aku mohon, tolonglah demi mbak dan demi semuanya," ucapku sekali lagi. Leni memelukku dengan tiba-tiba. Air matanya seakan tumpah membasahi punggungku. "Tolong jangan bicara seperti itu, Mbak pasti sembuh dan akan segera sembuh." Aku melepas pelukannya menatap Leni begitu tajam. Aku pun sama seperti Leni yang banjir akan air mata, mencoba untuk tegar dan harus menerima bahwa Leni akan menggantikan posisiku sebagai seorang istri sekaligus ibu untuk anakku. "Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir mbak sama kamu," aku menghapus air mata dari wajah Leni, begitupun dengan dirinya. "Aku tidak bisa menjawab itu semua, karena Mas Fardi lah yang akan memutuskannya," jawabnya dengan tegas. "Baiklah, aku mengerti. Jika saatnya mbak berangkat ke luar Negeri, mbak ingin melihat pernikahan kalian terlebih dahulu, dengan begitu mbak akan tenang di sana sekalipun mbak meninggal nantinya." Tangisan Leni semakin keras, sampai terdengar oleh Mas Fardi saat di luar. Sepertinya ia tak rela dengan apa yang aku ucapkan. Leni kembali memelukku erat tak ingin melepaskannya. "Jangan bicara seperti itu, aku mohon. Mbak pasti sembuh," teriaknya dalam pelukanku. Aku mengusap punggung Leni, mencoba untuk menenangkannya. "Ada apa ini? Kenapa Leni menangis seperti itu? Kamu tidak apa-apa kan sayang?" tanya Mas Fardi begitu banyak yang ia tanyakan. Leni mulai bisa mengatur tangisannya. Napasnya pun sudah mulai lebih tenang berkat kedatangan Mas Fardi. "Tidak apa-apa, aku pulang dulu." Sejenak Leni melihat ke arahku dan berlalu pergi dengan masih menghapus air matanya. "Ada apa dengan Leni?" tanya Mas Fardi kembali. "Dia hanya tidak tega melihatku seperti ini," jawabku yang tidak mau Mas Fardi mengetahuinya lebih awal sebab, jika dia mengetahuinya sekarang, alamatnya akan menolak keputusanku. Nanti saja jika sudah waktunya, pikirku. *** Pagi hari, dimana hari ini terasa begitu buruk untukku. Seminggu setelah aku bicara sama Leni, ternyata keadaanku semakin buruk. Ketika aku sadar dari mimpi yang begitu panjang, saat ini aku sudah berada di Rumah Sakit. Seluruh tubuh sudah terpasang alat yang entah itu apa namanya, yang jelas, aku merasa sangat sakit. Bahkan bergerak sedikitpun sudah tidak sanggup. Hanya suara desahan yang aku keluarkan dari tenggorokanku yang panas. Aku melihat ke samping tanganku, seperti ada yang menggenggamnya. Benar saja, rupanya itu Mas Fardi yang tertidur dengan masih memegang tanganku menindihnya dengan tangan yang lain. "Mas," lirihku pelan karena tidak sanggup untuk bicara lebih keras. Tenagaku sudah habis sepertinya. Mas Fardi terbangun setelah mendengar suaraku yang begitu berat. "Sayang, kamu sudah sadar! Biarkan mas memanggil Rey untuk memeriksa keadaanmu." "Dimana Leni?" tanyaku ketika Mas Fardi bangkit dari tidurnya di atas kursi. "Untuk apa kamu menanyakan Leni?" Mas Fardi kembali memegang tanganku, "Mas ada disini untukmu, kenapa kamu terus menginginkan Leni berada di sampingmu. Apapun keperluan mu akan mas penuhi dan apapun keinginan mu akan mas lakukan." "Benarkah itu?" tanyaku memastikan. Mas Fardi mengangguk, menandakan bahwa perkataannya memang sunggu-sungguh. Semoga saja. Ini suatu kesempatan yang tidak akan mungkin terulang kedua kalinya bukan? Mumpung Mas Fardi baik hati dan ingin mengabulkan semua keinginanku, aku sengaja ingin mengatakan semuanya sekarang. Mungkin ini waktu yang tepat untukku berbicara mengenai Leni. "Aku ingin Mas menikah dengan Leni dan aku ingin menyaksikan pernikahan kalian tepat di depanku sebelum aku di berangkatkan ke Singapura untuk berobat di sana." Mas Fardi melepas genggamannya begitu saja. Senyuman itu seakan hilang ketika aku mengucapkan keinginanku yang terakhir. "Tidak". Sudah kuduga. Mas Fardi tidak akan menginginkan hal itu terjadi. Setahuku dia begitu dingin terhadap orang lain kecuali denganku. Dia begitu manis saat bersamaku dan kembali masam saat di luar. Tapi tidak juga untuk pegawai kantornya, dia begitu tegas dan berwibawa. Sifat dan sikap nya selalu berubah-ubah. Mendengar perkataan Mas Fardi yang menolak seakan dia berkata dengan nada tinggi, itu membuatku hampir kehilangan kesadaran. Penglihatan ku kembali memudar, seperti akan kembali melihat kegelapan. Gelap. Sangat gelap. Aku hanya bisa mendengar tapi tidak bisa melihat sekitar. Sepertinya aku sudah menutup mataku kembali. Aku mendengar kalau Mas Fardi memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku saat ini. Dia berteriak beberapa kali hingga aku bisa mendengar suara dokter yang menanyakan apa yang terjadi? Pelan-pelan suamiku menceritakan dari mulai aku bangun dan tertidur lagi. Dokter Rey sepertinya memihak kepadaku, ia ingin suamiku mengabulkan semua yang aku inginkan. Syukurlah. Dengan begitu aku bisa menyatukan mereka berdua walaupun hati ini sakit tapi aku lebih tenang bisa meninggalkan suami dan anakku bersama orang yang aku percayai. Sunyi dan tidak ada suara apapun yang bisa aku dengar. Ketika itu aku bisa membuka mata kembali melihat ke sekeliling ruangan yang memang masih ada Mas Fardi di sisiku. Aku sudah tidak bisa berkata apapun, hanya air mata yang menetes dan terjatuh begitu saja saat menatap suamiku yang sudah mendekat ke arahku. "Kamu mau apa, sayang?" tanya suamiku dengan nada sangat lembut. Air mataku dihapus nya dengan jari telunjuk yang ia lekukkan. "Baiklah, mas akan kabulkan permintaan mu. Besok mas akan memanggil penghulu sebelum kita berangkat ke Singapura untuk pengobatan mu. Apa kamu senang?" Aku hanya tersenyum berat membalas perkataan suamiku. Entah mengapa, suaraku tiba-tiba saja hilang, tubuhku semakin sakit dan punggung serta kepalaku terasa begitu panas. Aku bertahan, harus bertahan demi menyaksikan pernikahan mereka. Mungkin aku akan bahagia setelah ini. *** Keesokan harinya setelah aku kembali membuka mataku, aku tidak tahu apa ini pagi, siang, sore atau bahkan malam. Yang aku tahu bahwa aku sudah melihat semua orang termasuk ibu tiri ku dan kedua orang tua Mas Fardi sudah berada di sini, di ruangan ini. Mas Fardi kembali mendekat. Jas hitam, dasi serta peci itu sangat pantas untuknya. Dia terlihat lebih gagah jika memakai jas hitam kesukaanku. "Apa kita akan mulai ijab kabulnya sekarang?" tanya seseorang dengan penampilan yang sama seperti Mas Fardi. Hanya saja dia sedikit lebih tua dari usia suamiku. Mungkin itu adalah penghulu. "Sebentar, saya tanyakan dulu kepada istri saya yang pertama," kata Mas Fardi berbicara tapi pandangannya mengarah kepadaku. Aku tersenyum kembali membalas pertanyaan yang sudah aku mengerti. Sepertinya Mas Fardi pun mengerti akan jawabanku. "Baiklah, kita mulai," katanya kembali dengan yakin. Aku mendengar pintu masuk terbuka dan ternyata Leni lah yang masuk dengan pakaian putih bermanik-manik. Terlihat begitu cantik. Namun, wajahnya seakan musam. Aku mengerti. Mungkin dia belum siap menerima keadaan ini. Maafkan aku, maafkan mbak mu ini Leni. Papi dan Mami mertua terlihat pilu saat mereka menyaksikan ikrar janji yang akan dilakukan oleh putranya untuk kedua kali. Jujur, mereka sangat menyayangiku. Mungkin mereka sangat sakit ketika akhirnya aku mengizinkan putranya menikah lagi. Mereka seakan mengerti akan perasaanku. Hatiku seakan tertusuk ketika aku melihat Leni dan suamiku bersanding di samping ranjang yang aku tiduri dengan banyak alat di sekujur tubuhku. Pak Penghulu pun sudah menggapai tangan suamiku dari sisiku yang lain. Rasa lega tiba-tiba saja datang dari benakku yang paling dalam saat mendengar kata 'SAH' dari semua saksi. Aku kembali merasakan kegelapan yang teramat menakutkan. Suara sekitar pun sudah tidak bisa aku dengar dengan jelas. Hanya suara dengung melengking sangat keras. Ttiiiiiiitttt ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

Accidentally Married

read
102.7K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

Yes Daddy?

read
798.0K
bc

RAHIM KONTRAK

read
418.3K
bc

Rujuk

read
909.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook