bc

Menikah Muda itu (tak) Indah

book_age18+
568
FOLLOW
3.7K
READ
love-triangle
playboy
arrogant
goodgirl
drama
sweet
bxg
lies
affair
surrender
like
intro-logo
Blurb

ADA ADEGAN DEWASA, HARAP BIJAK.

Di umur yang masih terbilang muda, Ayu dan Bima sudah berani memutuskan untuk menikah, berharap bisa membangun keluarga bahagia yang mereka impikan. 

Namun, mereka berdua masih terlalu naif, mengabaikan semua semua kemungkinan yang terjadi di masa depan, terlalu dini. Mereka benar-benar pemula.

Rumah tangga perlahan mulai goyah, hingga akhirnya menjadi tak tersisa. Ayu yang paling menderita. Harapan yang ia bangun, tak menghantarkannya pada kebahagian.

Lalu ketika ia dipertemukan dengan Arka, laki matang dengan mulut pedasnya, mengatakan bahwa ia mencintai Ayu.

Apa yang harus Ayu lakukan? Bertahan bersama Bima atau malah memulai semua dari awal?

Cover by Me.

Picture from Pexels.

Font from Canva

chap-preview
Free preview
Part 1
Menikah muda. Sebagain orang menganggap hal ini sebagai penghambat jalan menuju cita-cita mereka. Tapi, sebagian orang menganggap bahwa ini adalah cara untuk memulai kehidupan dengan bahagia. Ada yang percaya, ada yang tidak. Kali ini lupakan tentang mereka yang menganggap bahwa nikah muda itu hanya memutus harapan. Toh, jika ingin dipaksakan untuk sama, itu tidak akan mungkin.   Perbedaan membuat suatu hal menjadi satu. Seperti Ayu dan Bima yang menganggap bahwa ikatan mereka harus segera di sahkan secara hukum dan agama.   “Ini semua tema pernikahan yang lagi hits, sayang. Kamu boleh pilih yang mana kamu mau.” Bara, remaja sembilan tahun itu tersenyum manis, rambutnya yang tertata acak-acakan, pakaian yang modis membuatnya terlihat seperti badboy incaran wanita muda.   Ayu, gadis se-ayu namanya itu tersenyum lembut. Tangan perlahan membuka lembaran hardcover berisi tema pernikahan, semuanya bagus hingga membuatnya berdecak kagum. Namun, di di halaman ke lima, ia menutupnya, mengembalikannya kepada Bima. Tanpa melihat ke bagian akhir, Ayu tahu bahwa isinya sangat bagus dan... mahal.   “Kenapa sayang? Enggak ada yang kamu suka? Apa kamu mau pernikahan kayak putri-putri dongeng itu? Siapa itu yang bisa bikin es serut? Sasha? Saha?”   Ayu tergelak yang membuatnya terlihat manis, gigi gingsulnya terlihat. Gadis itu kemudian menggeleng. “Elsa, Bima.”   “Ohhh... jadi mau yang kayak gitu?”   Ayu menggeleng lagi. “Aku mau yang biasa aja. Ada kamu, keluarga aku, keluarga kamu, teman-teman kita,” jelas gadis itu pelan. “Udah cukup,” angguknya.   Bara berdecak tak setuju, ia tak suka dengan ide Ayu. Pernikahan ini nanti akan dihadiri oleh keluarga dari Ayah dan Ibunya lalu teman-temannya dari TK hingga SMA. Remaja itu tidak mau jika tidak bisa membuat mereka terkesan.   “Enggak bisa begitu sayang.” Bima menjawil dagu Ayu gemas. “Iya, mungkin keluarga sama teman-temen kamu udah cukup sama yang sederhana. Tapi keluarga aku? Papa aku orang terpandang di daerah sini, Mama aku pernah jadi model. Teman-teman aku orang hebat, sayang. Apa kamu mau nanti aku malu?”   Ayu sebenarnya tidak setuju dengan pernikahan yang mewah, bagi gadis itu pernikahan sederhana saja sudah cukup. Toh, mereka sama-sama sah di mata hukum dan negara. Jika memang memiliki uang lebih, lebih baik disimpan untuk kehidupan setelah pernikahan.    Mereka berdua sama-sama masih sangat muda, Ayu baru berusia genap 19 tahun bulan kemarin sedangkan Bima sudah lebih dulu tiga bulan yang lalu. Mereka benar-benar pemula.    Ayu hanya berfikir uang pernikahan itu bisa digunakan untuk keperluan mereka nanti.   “Kamu mau kan sayang? Pernikahan itu hanya sekali dalam seumur hidup lho,” bujuk  Bara lagi. Ayu mengangguk, sekaligus mengaminkan bahwa pernikahan mereka hanya akan terjadi sekali untuk selamanya.   “Terima kasih Ayu sayang.”   “Jadi kamu pilih sekarang ya?” Ayu kembali membuka katalog berisi kumpulan tema pernikahan, pilihanya jatuh pada pernikahan yang dibalut dengan warnah putih yang sangat indah.   “Aku suka yang ini? Kalo kamu, Bi?” tanya Ayu.   Bima mengangguk sambil tersenyum lebar, ia tiba-tiba mendekatkan dirinya ke arah Ayu untuk mencium gadis itu namun segera dihalang oleh tangan kekasihnya. “Pelit banget, sih. Calon isteri juga,” sahut Bima manyun.   Ayu terkekeh, ia mengusap rambut pria itu dengan tangannya. “Sabar, sebentar lagi, Bima.”   “Iya, sih, sia-sia dong selama ini aku nahan untuk ngarungin kamu,” pria itu tergelak hebat membuat pengunjung taman, dimana mereka berada sekarang melihat ke arah pasangan muda itu. Sedangkan Ayu memasang wajah cemberutnya membuat Bima semakin tertawa dan gemas.   “Terima kasih Ayu.”   Ayu merubah ekspresi wajahnya kembali tersenyum ketika medengar kalimat bernada sendu itu, ia mengangguk sebagai balasannya.   Bima menatap Ayu dengan pandangan penuh cinta. Ia menemukan gadis ini layaknya menemukan harapan untuk hidupnya bahwa tidak selamanya ia akan seperti ini. Kesepian, sendiri, sedih dan lainnya.      Bima Narendra adalah remaja yang harus merasakan perpisahan pada kedua orang tuanya. Saat itu ia berusia dua belas tahun, angka itu tak hanya berarti umurnya semakin bertambah tapi juga hubungan orang tuanya yang ia anggap dulu akan terus bertambah seiring dengan umurnya.   Tapi, ia salah. Beberapa hari setelah mendapatkan motorcross sebagai hadiah ulang tahunya ke dua belas, besoknya ia mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya bercerai. Resmi hari itu bahwa keduanya bukan lagi suami dan isteri.   Itu artinya, senyum dan keakraban mereka saat hari ulang tahunya yang diselenggarakan di cafe mewah itu hanya kebohongan belaka.    Ibunya  langsung menikah dua hari setelahnya, namun entah kabar baik atau buruk,  wanita itu sudah hamil lima bulan dan ia akan segera memiliki adik tiri. Hah, sejauh hubungan ibunya dengan pria itu bahkan saat masih menikah dengan Ayahnya?   Sedangkan Ayahnya yang seorang pebisnis terkenal dan terpandang, memang sangat jarang pulang ke rumah. Namun, ia tidak memusingkannya karena setiap pria itu pulang, pasti akan membawakan mainan yang sangat banyak.   Tapi, ada yang berbeda untuk kali ini, ia yang tinggal di rumah Ayahnya bersama para pelayan, dibuat terkejut ketika pria itu pulang. Bukan membawa hadiah yang besar tapi membawa adik yang sudah besar. Umurnya lima tahun saat itu. Ternyata itu anaknya dengan sekretarisnya di kantor yang saat ini menjadi ibu tirinya.   Mulai saat itu, Bima berusaha mencari arti sebuah keluarga, di keluarga baru Ibunya atau Ayahnya. Tapi, ia sama sekali tak menemukannya. Ia tidak bisa bahagia.    Ia tumbuh menjadi anak laki-laki yang tak peduli sekitar dan acuh, menghabiskan uang, berteman dengan orang-orang kaya seperti dirinya yang tak mendapatkan kasih sayang, hal itu ia lakukan sampai ia bertemu dengan Ayu.   Seorang gadis dari anak pemilik kantin di sekolahnya. Ayu yang saat itu melayaninya, penuh dengan senyuman. Sebenarnya, pada semua pelanggan ibunya. Namun, Bima menganggapnya itu hanya untuknya.   Dia mencoba mendekati gadis manis itu walau awalnya dianggap hanya untuk senang-senang. Tapi, karena tak pantang menyerah. Mereka akhirnya resmi berpacaran, hingga menginjak satu tahun dan Bima sudah lulus. Lelaki itu mengajak Ayu untuk menikah.   Jika dia tidak bisa mendapatkan arti sebuah kelurga, maka Bima akan membuatnya sendiri.   Dan, saat ini, mereka tengah mempersiapkan pernikahan mereka yang tinggal menghitung hari lagi. Semuanya akan dikerjakan oleh Wedding Organizer sehingga mereka tidak perlu repot-repot, tinggal pilih ini dan itu, maka semuanya selesai.   Namun, ada saja yang masih membuat Ayu ragu. Bukan cinta dari Bima namun restu dari orang tua Bima. Pasalnya, hingga saat ini, kekasihnya itu belum juga mengajaknya untuk berkunjung ke kedua orang tuanya.   “Ada apa, hem?” tanya Bima yang mengerti saat melihat sorot mata kekasihnya yang nampak sedang memikirkan sesuatu.   “Mikirin sesuatu kok enggak bagi-bagi,” ujar Bima pura-pura cemberut dan membuat Ayu mau tak mau terkekeh.   Pria itu selalu bisa membuat Ayu tertawa dengan leluconnya, hal itu juga yang membuat Ayu bisa jatuh cinta dan mencintai pria itu hingga sekarang. Ayu merasa hidupnya lebih bewarna semenjak kehadiran lelaki itu dalam hidupnya.   “Sampai sekarang, aku juga belum ketemu sama kedua orang tua kamu,” cerita Ayu ketika melihat Bima menatapnya dengan pandangan ‘ayo cerita’   Bima menggengam tangan kekasihnya, hanya sebatas itu sentuhan tubuh yang diperbolehkan Ayu sebelum mereka sah. “Maafin aku, Papa sama Mama terlalu sibuk. Tapi, aku usahin minggu ini, untuk kamu biar enggak risau lagi.”   “Terima kasih, Bima,” ujar Ayu membalas genggam tangan kekasihnya.   “Sama-sama calon isteriku yang cantik...”   ———   Gadis sembilan tahun itu menghembuskan nafasnya, menyalurkan rasa gugupnya yang sejak pagi tadi datang. Tempatnya saat Bima memberikannya kabar lewat sebuah aplikasi pesan yang mengatakan bahwa lelaki itu akan menjemputnya untuk menemui kedua orang tuanya, malam ini.   Hati Ayu tentu saja berdebar-debar, akhirnya walau terlambat ia akan segera bertemu dengan orang tua Bima yang sebentar lagi akan menjadi orang tuanya juga. Tahu kedua orang tua kekasihnya itu adalah kelas atas, Ayu merasa perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin.   Gadis itu tak henti-henti menatap pantulan dirinya di depan cermin kusam yang ada di kamarnya, rambut yang panjangnya sedikit bewarna coklat ia kuncir. Sebuah gaun biru muda sebatas lutut yang dibelikan oleh Bima menjadi pemeran utama dalam penampilannya kali ini, kaki putihnya dibalut flatshoes bewarna hitam yang ia beli lebaran tahun kemarin.   Gadis itu memegang pipinya menghadap ke cermin, kata orang wajahnya selalu terlihat sendu dengan mata bulat yang sedikit lebar. Tapi, Bima bilang bahwa itu yang membuatnya menjadi cantik.   “Widih, cantik banget. Bagi duit dong, Mbak Ayu?” Pras, adik laki-laki Ayu tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya dengan keringat yang becucuran. Warna kulit adiknya semakin menggelap, untung saja tertolong dengan wajah manisnya.   “Huss! Kamu ini, Pras. Datang-datang minta uang, sana kamu mandi, bau kamu asem! Dari mana aja kamu?” Pras menyengir ketika mendapat omelan dari Siti yang ikut berdiri di depan pintu.   “Habis main bola lah, Buk.”   “Sudah kamu mandi sana, jangan lupa ember yang besar diisi!”   “Iya... iya.”   Sumber air di rumah itu hanya sebuah sumur tua yang memiliki air jernih, sudah menjadi tugas Pras untuk mengisi ember-ember saat sore hari untuk keperluan ibu dan kakaknya mencuci atau mandi.   “Nanti beliin martabak ya, kak? Minta aja sama Kak Bima, pasti dibeliin!”   “Huss! Kamu ini enggak baik minta-minta sama orang!”   “Udalah, mandi aja, Ibuk marah terus,” ujar Pras dengan bibir manyun keluar dari kamar kakaknya sedangkan Siti yang tadi di depan pintu, masuk ke dalam dan tersenyum lebar menatap anaknya yang nampak begitu cantik.   “Buk, Ayu udah cantik belum?” tanya gadis itu nampak cemas.    “Cantik, anak ibu selau cantik,” puji Siti sambil duduk di ranjang anaknya.   “Makasih Buk...”    “Sebenarnya aku mau ngajak Ibu sama Pras, sekalian silatuhrami sama orang tuanya Bima tapi....”   “Kok ibu juga ikut? Enggak papa kamu aja, Yu. Ibu sama Pras tunggu kabar baiknya aja di rumah,” ujar Siti sambil mengusap lengan anaknya yang nampak merasa ragu.   “Ini duit, tolong beliin martabak titipan adikmu itu,” kata Siti mengeluarkan uang dari sakunya, namun buru-buru Ayu menggeleng. “Pake duit Ayu aja, Bu. Ibuk mau beli apa? Lagi pengen sesuatu?”   “Enggak usah, Ibu kepengan martabak aja.”   Tin! Tin!   “Tuh, Bima kayaknya udah sampai,” kata Siti membuat Ayu mengambil tasnya.   Gadis itu segera melangkah keluar rumah dan menghampiri Bima yang berada di luar pagar. Pria itu datang dengan motor besar kesayangannya.   “Bim, enggak mau salim sama Ibu dulu?”   “Enggak usalah, ini aja Papa sama Mama aku bilangnya cuman punya waktu sebentar.”   “Ayo, buruan naik, Yu!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook