bc

Jodoh untuk Miranda

book_age18+
212
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
family
goodgirl
independent
drama
twisted
sweet
bxg
city
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Sebelum lanjut baca, mohon untuk tap love ya, Dear.

Miranda menolak mentah-mentah ajakan Merry untuk menjual kesuciannya kepada seorang pria kaya. Gadis itu lebih memilih untuk bekerja keras sebagai koki dan penyanyi kafe demi membantu biaya pengobatan ibunya yang terkena penyakit kanker.

Dalam kesulitan yang dihadapinya, Miranda bertemu dengan dua pria yang berhati mulia bak malaikat penolong. Kedua pria itulah yang tanpa pamrih membantu Miranda dan keluarganya.

Kedua pria tersebut pun sama-sama menaruh hati kepada Miranda. Lantas, pria manakah yang dipilih Miranda untuk menjadi jodohnya?

Apakah Reynard yang diam-diam menjadi donatur untuk membiayai pengobatan Ibu Miranda?

Ataukah Donny yang pada akhirnya membuat Miranda menjadi seorang penyanyi terkenal?

chap-preview
Free preview
Kabar Buruk
Seorang gadis berjalan dengan langkah gontai di lorong sebuah rumah sakit. Kepalanya menunduk menatap lantai keramik berwarna putih. Siang ini cuaca mendung, semendung hatinya. Angin bertiup sedikit kencang, rambut ikal sepinggang gadis itu melambai-lambai. Tangannya menyilang di depan dadanya. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Langkah gadis itu terhenti di depan sebuah ruang rumah sakit kelas 3, bernomor 344. Ia menarik napas dalam-dalam, satu tangannya memegang gagang pintu, tetapi tidak membukanya. ‘Bagaimana aku harus menjelaskan ini pada mama?’ batinnya. Beberapa detik berlalu, ia masih berdiri tegak di depan pintu. Ceklek Seseorang membuka pintu dari dalam. Gadis itu tersadar dari lamunannya. Ia menarik tangan dari gagang pintu. “Kak Miranda,” tegur seorang remaja perempuan yang tadi membuka pintu. “Ehh, Nita, mau ke mana?” tanya Miranda. “Mau ke kantin sebentar, Kak. Kakak mau nitip ngga?” tanya Nita. “Mmmm ... boleh. Nitip kopi satu, ya. Dingin-dingin gini enak minum yang hangat-hangat,” jawab Miranda. “Rotinya ngga sekalian, Kak? Buat celup-celup,” ucap Nita. “Roti masih ada di dalam. Nanti kita makan sama-sama.” Nita mengangguk mendengar jawaban Miranda. Ia melenggang meninggalkan Miranda menuju kantin yang ada di lantai dasar. Miranda masuk ke kamar rawat. Ada lima bed di sana dan semua terisi penuh. Miranda menyapa para pasien satu per satu. Langkahnya terhenti di bed paling ujung, tepat di pinggir jendela. Miranda menarik kursi dan duduk tepat di samping pasien. “Miranda, apa kata dokter, Nak?” tanya si pasien. “Bagus, Ma,” jawab Miranda pendek. “Benar, Nak? Tidak ada yang kamu sembunyikan dari Mama?” tanya mama Miranda. “Mmmm ... tidak, Ma,” jawab Miranda lagi. “Mama berharap apa yang kamu katakan itu benar.” Miranda terdiam mendengar apa yang dikatakan mamanya. Sebenarnya ada yang sedang Miranda sembunyikan saat ini. Mamanya baru saja melakukan operasi pengangkatan benjolan di payudaranya. Dari hasil pengamatan dokter, benjolan tersebut adalah sejenis kanker, tetapi masih harus diperiksa di laboratorium untuk hasil yang pastinya. “Sudah, Mama jangan berpikiran yang aneh-aneh. Yang penting sekarang Mama harus lekas pulih.” Miranda mengupas apel yang ada di atas meja. Ia memotong apel itu menjadi potongan-potongan kecil. “Makan buahnya dulu, Ma.” Miranda menyuapi mamanya. Dua minggu berlalu. Miranda dan mamanya kembali datang ke rumah sakit. Mereka ada janji kontrol dengan seorang dokter bedah onkologi. Dalam hati, Miranda agak khawatir, perkataan dokter dua minggu lalu kembali terngiang di benaknya. ‘Menurut pengamatan saya dan juga hasil USG, jaringan tersebut bisa jadi adalah tumor ganas. Namun, kita berdoa saja, supaya dugaan saya ini salah.’ Miranda dan mamanya menunggu di poli onkologi. Mereka mengantre di dekat ruangan praktik dokter Deni, Sp.B(K)Onk. Miranda menyerahkan sebuah amplop hasil patologi anatomi yang baru ia ambil dari laboratorium kepada perawat yang bertugas. “Bu Tina,” panggil seorang perawat. Miranda menggandeng mamanya menuju pintu ruang praktik dokter tersebut. “Mama yang tenang, ya, Ma,” ucap Miranda sambil mengelus lengan mamanya. “Mama takut, Mir.” “Berdoa aja,” bisik Miranda. Miranda menarik kursi dan meminta mamanya untuk duduk. Setelah itu, ia menarik kursi untuk dirinya sendiri lalu ikut duduk di sebelah mamanya. Dokter Deni membuka amplop hasil patologi anatomi. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. “Mmmm ... hasilnya gimana, Dok?” tanya Miranda. “Dari hasil laporan PA, diketahui bahwa Bu Tina mengidap kanker payudara.” Dokter menyebutkan hasil pemeriksaan dengan berat hati. Sudah tak terhitung entah berapa kali ia menyampaikan hal yang sama kepada pasiennya. “A-a-apa, Dok? Saya kena kanker?” tanya Bu Tina. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya sesaat setelah dokter menganggukkan kepala. “Gi-gimana ini, Miranda. Kita harus bagaimana,” ucap Bu Tina. Bulir bening mulai jatuh dari matanya. Miranda mengusap punggung mamanya. “Untuk hasil yang lebih akurat diperlukan satu tes lagi. Namanya tes imunohistokimia atau IHK. Dari hasil tes tersebut saya baru bisa menentukan pengobatan yang tepat untuk Bu Tina.” “Baik, Dok.” Miranda mengangguk. Ia terus mencoba menenangkan mamanya. Dokter kemudian memberikan beberapa saran untuk kesehatan Bu Tina. Miranda dan mamanya meninggalkan ruangan praktik dokter Deni. Bu Tina masih terguncang mendengar kabar yang disampaikan oleh dokter. Sesampainya di rumah, Bu Tina mengumpulkan ketiga anaknya di ruang tamu. “Tadi Mama dan Miranda sudah ketemu dokter. Menurut dokter, Mama terkena kanker p******a. Mama harap kalian terus mendoakan kesehatan Mama.” Bu Tina dan ketiga anaknya saling berpelukan. Suara isak tangis memenuhi ruang tamu. Miranda adalah keluarga dengan perekonomian sederhana. Uang kontrak rumah bisa terpenuhi dan kebutuhan sehari-hari tercukupi saja sudah bagus. Miranda, sebagai anak tertua, memutar otak memikirkan bagaimana nanti membayar biaya pengobatan mamanya. Uang tabungan pun sudah terkuras untuk biaya operasi mamanya. Sarah, adik bungsu Miranda yang masih menempuh dunia pendidikan juga membutuhkan biaya untuk sekolah. “Sudah, Ma. Mama ngga usah nangis lagi. Nanti kondisi Mama menurun,” ucap Miranda yang kemudian diikuti oleh kedua adiknya. Bu Tina menyeka air matanya, “Ya. Semoga kita bisa melewati keadaan ini.” Setelah hari itu, Miranda kembali bekerja. Ia dan Mario, adik lelakinya, sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak setahun belakangan ini. Bu Tina, mama Miranda, sudah sering mengeluh sakit di payudaranya dan karena itu ia berhenti bekerja sebagai seorang koki. Mirandalah yang menggantikannya menjadi koki di restoran Gracia. Sebelumnya, Miranda sempat mau kuliah, tetapi tidak ada biaya. Dua minggu setelah menerima laporan hasil PA, Miranda dan mamanya kembali datang menemui dokter Deni, untuk menerima hasil pemeriksaan imunohistokimia (IHK). “Jadi, bagaimana hasil pemeriksaannya, Dok?” tanya Miranda kepada dokter Deni. “Mmmm ... dari hasil yang saya terima, diketahui Bu Tina mengidap kanker p******a dengan tipe HER 2+,” jawab dokter Deni. “Maksudnya apa, ya, Dok? Selanjutnya, apa jenis pengobatannya, Dok? ” tanya Miranda lagi. “Jangan khawatir. Penanganan yang pertama tentunya melakukan mastektomi atau pengangkatan payudaranya. Setelah itu Bu Tina harus menjalani kemo supaya kankernya tidak mengalami metastase ataupun penyebaran ke bagian tubuh yang lain.” “Tapi sa-saya tidak mau di-kemo, Dok,” tolak Bu Tina pelan. “Akan lebih berbahaya jika tidak di-kemo, Bu. Kemungkinan terjadinya penyebaran lebih tinggi.” “Saya … saya tidak mau, Dok. Nanti badan saya habis, rambut saya jadi botak. Tidak ada obat yang lain, Dok? Semacam ramuan mungkin?” Bu Tina terus menolak. “Mama, ikutin saja saran dokter, Ma. Itu pasti yang terbaik. Mama yakin aja bisa sembuh, ya,” ucap Miranda menenangkan ibunya. “Benar, Bu Tina. Salah satu efek kemo memang membuat rambut rontok, tetapi ‘kan bisa tumbuh lagi. Jadi Ibu tidak usah khawatir." “Saya tidak usah berobat, Dok. Biar saya mati saja. Saya tidak punya uang, Dok. Saya mati saja.” Bu Tina menangis. “Bu Tina, sekarang ini sudah mudah untuk membuka donasi. Miranda, nanti tolong kamu buat pengumpulan donasi dari media sosial, itu sangat membantu. Sudah ada pasien saya yang bisa berobat dengan dana yang didapatkan dari donasi. Nanti kamu buat, ya. Kalau kamu tidak paham kamu bisa tanya-tanya saya, barangkali saya bisa membantu. Kamu juga bisa cari-cari informasi mengenai yayasan peduli kanker. Biasanya, yayasan-yayasan seperti itu bisa menggalang dana untuk membantu pasien yang kurang mampu,” papar dokter Deni panjang lebar. “Ehh … i-iya, Dok. Saya paham,” jawab Miranda gugup. Sebenarnya ia tak begitu menangkap apa yang dikatakan dokter Deni. Benaknya masih sibuk berhitung tentang berapa ratus juta yang ia butuhkan untuk pengobatan mamanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook