Berkutat di dapur untuk membuat berbagai macam kue sudah menjadi rutinitasku sehari-hari. Masih teringat masa-masa di awal kami merintis usaha ini. Betapa sulitnya membangun kepercayaan pelanggan pada toko kami yang masih dibilang pemula di dunia pastry. Ada masa dimana semua kue dan roti tak ada satu pun yang laku terjual. Sedih? Pasti. Perlahan, aku dan rekan-rekanku mulai bangkit dan menata strategi penjualan. Segala cara ditempuh untuk meningkatkan penjualan. Promo jual murah sampai menawarkan dari rumah ke rumah dengan harga yang murah meriah. Sekarang, seakan jerih payah kami semua terbayarkan. Tak pernah ada waktu untuk bersantai setiap harinya. Semua kue dan roti selalu laku terjual. Memang harus kuakui ini semua tak lepas dari peran serta kedua orangtuaku. Ada saja cara keduanya untuk membantu toko kami mendulang rejeki. Papa dan Mama selalu mempromosikan bisnisku pada kolega-kolega mereka. Alhasil, tak jarang kue dan roti dari toko kami selalu dipesan untuk menjadi suguhan di acara-acara penting.
Dapur sibuk dengan panggangan di sana dan di sini. Semua orang punya tugasnya masing-masing. Tak ada pesanan khusus untuk hari ini. Jadi, sepanjang hari ini kami hanya akan fokus dengan memenuhi stok kue dan roti yang dipajang di showcase. Selalu ada tawa dan canda di sepanjang pengerjaan kue dan roti di dapur. Ini selalu kami lakukan untuk mengurangi tekanan kerja yang sangat besar.
“Mala, lo dicariin sama head bakernya Sugar Castle,” ucap Sarah. Mala yang sedang berdiri sembari memeriksa adonan yang ada di mixing bowl di depannya segera menoleh dan mengernyitkan dahi.
“Apaan sih, lo. Nggak usah ngaco, deh,” sahutnya.
“Nggak ngaco lah. Gue kenal sama head baker di sana. Kita nggak sengaja ketemu pas gue lagi ke supplier waktu itu. Dia titip salam buat lo. Lo sering ke Sugar Castle, ya?” tanya Sarah. Mala mengangguk. “Ngapain?”
“Studi banding, lah. Roti mereka tuh enak-enak. Gue ke sana sekalian nyari inspirasi untuk ngembangin resep.”
“Lo pernah ketemu sama head bakernya?” tanyaku. Mala kembali mengangguk.
“Pernah. Itu juga nggak sengaja. Gue nggak tau kalo dia head baker di sana.”
“Kok bisa gitu?” celetuk Sarah.
“Pas selesai pesen nggak sengaja gue sama dia senggolan. Makanan gue jatoh. Terus, dia inisiatif gantiin makanan gue, deh. Gue sama sekali nggak tau kalo dia kerja di sana. Karena penampilan dia ya kaya biasa aja. Nggak pake seragam atau apron. Kan kalo di sana semuanya pake seragam. Nah, dia nggak. Gue pikir kan dia sama kayak gue, sama-sama pengunjung. Eh, nggak taunya setelah ngobrol-ngobrol dia bilang kalo dia kerja di situ. Kok dia bisa tau kalo lo dari toko kita, Mbak?”
“Gue sama dia tuh sering banget ketemu setiap kali nyetok barang ke supplier. Terakhir ketemu ya kemaren. Dia titip salam buat lo. Katanya, udah lama lo nggak main ke Sugar Castle.”
“Namanya Dikta, kan?” ucap Mala yang dianggukki oleh Sarah. “Dia bilang apa agi, Mbak?”
“Nggak bilang apa-apa, sih. tapi, dia sempet ngomong kalo mau mampir ke sini kapan-kapan.”
“Gas dong, Mal,” godaku.
“Apanya yang digas? Lo pikir gue bajaj,” seloroh Mala. Aku dan Sarah kompak terkekeh.
“Mana tau jodoh, kan.”
“Ngobrol terus. Gosong tuh nanti yang di oven,” sahut Mala.
Aku, Mala dan Sarah kembali fokus dengan semua bahan-bahan kue dan roti yang ada di atas meja. Aku mulai membuat adonan untuk pai buah, Sarah mulai mengocok putih telur dan gula menjadi meringue untuk membuat chiffon cake sementara Mala sudah bersiap untuk membuat beberapa Melon Bread. Tak akan pernah ada jeda di dapur barang sedetik pun saat membuat stok kue dan roti. Setiap satu kue selesai, maka adonan selanjutnya akan menyusul. Dan begitulah seterusnya sampai stok hari itu terpenuhi.
“Mbak Ayya, ada yang nyari lo di depan. Katanya mau ketemu sama lo,” ucap Dito yang memunculkan kepalanya dari jendela penghubung bagian utama toko dengan dapur.
“Siapa, Dit?” tanyaku. Dito mengendikkan kedua bahunya. “Suruh tunggu sebentar. Gue mau cuci tangan dulu, ya.”
“Siap, Mbak,” sahutnya sambil menutup kembali jendela penghubung.
“Siapa, Ya?” tanya Sarah. Aku menggeleng. “Mau pesen kue, mungkin.”
“Bisa jadi, sih. Gue ke depan dulu, deh.”
Sebelum ke depan, kucuci bersih kedua tanganku dan melepas apron yang melilit di pinggang. Kuintip siapa yang datang melakui lubang kecil yang ada di pintu dapur. Aku tak bisa menjangkau ke seuluruh ruangan. Segera kubuka pintu dan berjalan keluar dapur menuju ke toko. Kuhampiri Dito yang tengah berjaga di balik mesin cash register. Dito menunjuk ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk di dekat jendela dengan dagunya.
“Dia mau ngapain?” tanyaku.
“Mau pesen kue, katanya. Mau ketemu lo langsung untuk sampein detail warna dan desain kue. Mau dibuatin minum apa, Mbak?” ucap Dito.
“Buatin teh manis anget aja dua cangkir ya, Dit. Nanti, tolong langsung lo anter aja ke sana. Sekalian tolong panggil Sarah biar dia bisa nemenin gue diskusi sama orang itu,” ucapku. Dito mengangguk.
Sesampainya di tempat dimana lelaki itu tengah duduk sambil memainkan tablet yang ada di depannya, aku segera menyapanya dengan ramah. Dia yang menyadari kehadiranku seketika langsung menutup casing tabletnya dan menaruh di dalam tas yang ada di atas meja.
“Maaf karena sudah membuat Bapak menunggu lama,” ucapku dengan nada sopan. Laki-laki itu menggeleng dan tersenyum ke arahku. Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bekerja dengan posisi yang sangat mapan. Setelan jas licin yang membalut tubuhnya menandakan dia punya posisi yang bagus di tempatnya bekerja.
“Oh, nggak apa-apa, Bu. Kebetulan saya belum lama menunggu Ibu.”
Mendengarnya memanggilku dengan sapaan “Ibu” menghadirkan sedikit rasa risih. “Maaf, Pak. Panggil saya Ayya aja. Jangan panggil Ibu.”
“Baik, Mbak Ayya. Pertama-tama, pekernalkan nama saya Andhika.” Diulurkannya tangan kanannya. Aku segera menyambut uluran tangannya. “Saya ke sini karena perintah atasan saya.”
“Ada yang bisa saya bantu, Pak Andhika?” tanyaku. Lelaki itu pun mengangguk. “Mari, silahkan duduk.”
“Jadi, saya ke sini karena ada keperluan dengan Mbak Ayya. Atasan saya meminta saya untuk memesan kue ulang tahun khusus untuk kekasih beliau,” jawabnya.
“Boleh saya tau desain kue yang dimau, Pak?” tanyaku. Dia mengangguk.
“Kue dasar rasa vanila dengan selai mawar di setiap lapisannya. Tiga tingkat. Tolong ganti spray simple syrup dengan madu asli. Untuk warna krimnya ungu disertai detail ukiran emas,” jabarnya. Aku yang mendengarkan seluruh penjabarannya hanya bisa menanggapinya dengan tampan heran. “Maaf karena sudah terlalu merepotkan ya, Mbak Ayya.”
“Bukan begitu, Pak Andhika. Prinsip kami, kepuasan konsumen adalah kepuasan kami.”
Dito datang membawa tiga cangkir teh manis hangat dengan Sarah yang berjalan mengekor di belakangnya.
“Ada apa, Ya?” bisik Sarah. Aku segera meminta Sarah untuk duduk di sebelahku.
“Pak, silahkan diminum dulu tehnya,” ucapku. “Sarah, ini Pak Andhika. Pak Andhika ke sini karena diminta atasannya untuk pesen kue di kita.”
“Kue untuk apa?” sahut Sarah.
“Ulang tahun,” jawabku.
“Boleh saya tau detailnya, Pak?” tanya Sarah. Dan lagi. Andhika kembali menjabarkan apa-apa saja yang dijelaskannya padaku beberapa menit yang lalu. Setelah mendengar penjabaran dari Andhika, kulihat Sarah yang langsung menelan ludahnya dengan kasar. “Untuk kapan ya, Pak?”
“Acaranya tanggal 10 bulan depan, Mbak,” jawab Andhika. Aku dan Sarah kompak mengangguk-anggukkan kepala.
“Pagi, siang, sore atau malam?” tanya Sarah lagi.
“Kebetulan acaranya digelar bersamaan dengan makan malam bersama,” jawab Andhika.
“Sebelumnya, atasan Pak Andhika atau Pak Andhikanya sendiri sudah pernah mencicipi kue-kue dari toko kami?” tanyaku. Andhika menggeleng. “Baik. Karena kue yang dipesan keliatannya akan lumayan rumit. Kami nggak mau membuat kesalahan. Untuk detail rasa, kami akan mengirimkan sample kue untuk atasan Pak Andhika. Sebagai penentu kualitas rasa. Bisa tolong Pak Andhika tuliskan alamat kemana saya bisa kirimkan sample kuenya?”
Bukannya menuliskan alamat, Andhika memberikanku selembar kartu nama bertuliskan namanya dan alamat tempatnya bekerja. Aku dibuat sedikit terkejut karena ternyata dia bekerja di sebuah perusahaan yang menaungi puluhan cabang supermarket dan ratusan minimarket yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini.
“Mbak Ayya bisa kirimkan sample kue ke alamat itu. Tolong tulis saja nama saya sebagai nama penerimanya. Nantinya, kue itu akan langsung diantar ke kantor saya. Dan selanjutnya saya sendiri yang akan mengantar ke ruangan atasan saya.” Aku mengangguk. “Kalau begitu, saya izin pamit karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan.”
“Baik, Pak Andhika. Terima kasih karena sudah menyempatkan datang dan mempercayai toko kami, ya.” Aku dan Sarah bergantian menjabat tangan Andhika sebelum dia pergi dari tokoku.
Sebelum Andhika pergi, dering ponselnya yang lumayan kencang membuatnya urung untuk melangkah.
“Maaf, Mbak. Ringtone handphone saya memang harus begini kalau saya sedang di luar kantor. Sekedar berjaga-jaga kalau atasan menghubungi saya sewaktu-waktu.” Aku dan Sarah menanggapinya hanya dengan senyuman datar. Kulihat Andhika yang melirik ke layar ponselnya yang tengah berdering. Dia mengangguk pelan dan kemudian memandang ke arahku. “Dari atasan saya. Saya izin angkat telepon sebentar ya, Mbak.”
“Silahkan, Pak,” ucapku.
Andhika segera mengangkat telepon dari seseorang yang disebutnya sebagai atasan.
“Selama siang, Pak. Iya, Pak. Saya sudah di toko kue yang Bapak maksud. Saya juga sudah ngobrol dengan pemiliknya langsung. Ini saya mau balik ke kantor.” Andhika masih saja berbincang dengan orang di sambungan telepon. “Gimana, Pak? Bapak mau ngomong langsung sama ownernya? Hah? Diloudspeaker maksud Bapak? Baik, Pak. Sebentar ya, Pak.” Andhika menaruh ponselnya di atas meja. “Atasan saya mau ngomong langsung sama Mbak Ayya.”
“Oh. Baik, Pak,” sahutku.
Tiba-tiba kudengar sayup-sayup suara dari seberang sana. Suara seseorang yang baru pertama kali kudengar.
“Selamat siang.”
“Selamat siang, Pak.”
“Perkenalkan saya Athaya. Saya mengutus asisten saya untuk memesan kue di toko Mbak.”
“Oh. Iya, Pak. Kebetulan saya juga sudah ngobrol dengan Pak Andhika.”
“Apa detail pemesanan kue ulang tahun sudah disampaikan oleh asisten saya?”
Aku refleks mengangguk. “Sudah, Pak. Dari base cake, selai di setiap layer, semprotan madu asli di setiap layer, jumlah tingkatan kue dan juga warna krimnya dan detail ukiran. Semua sudah disampaikan Pak Andhika tanpa terkecuali.”
“Jadi begini, Mbak. Kebetulan pacar saya baru saja merevisi pesanan detail kue,” ucapnya. Aku, Sarah dan juga Andhika refleks saling mengusap d**a masing-masing.
“Ganti?” gumam Andhika. “Gila.”
“Maksud Bapak gimana, ya?” sahutku.
“Jadi, dia minta saya untuk rubah detail kuenya. Untuk rasa masih tetap. Yang berubah selai di setiap layer, warna krim dan detail hiasan.” Kulihat Sarah langsung menghela napas dengan kesal. “Saya minta maaf ya, Mbak.”
“Nggak apa-apa, Pak. Kuenya pun belum dibuat. Jadi, revisinya mau bagaimana ya, Pak?” Segera kuinstruksikan Sarah untuk mencatat semuanya di atas kertas. “Tolong yang detail ya, Pak. Soalnya mau dicatat sama rekan saya.”
“Baik, Mbak. Untuk selainya tolong diganti jadi selai apel dan jeruk, dioles secara bergantian di setiap layer. Warna krimnya dirubah ke warna pink. Dan untuk detail hiasannya tolong dibuatkan replika wajah pacar saya dengan gaun yang menjuntai. Bisa Mbak taruh di tingkat paling atas dan menjadikan dua tingkatan ke bawah sebagai media agar gaunnya terlihat mengembang. Bisa, Mbak?”
Aku melihat ke arah Sarah untuk meminta pertimbangannya. Sarah mengangguk. Itu tandanya dia setuju untuk menerima pesanan ini.
“Bisa, Pak. Semua detail yang Bapak sebutkan sudah dicatat rekan saya. Warna gaun dan krimnya dirubah ke warna pink ya, Pak. Bapak mau warna pink yang hot atau baby?”
“Mungkin baby pink akan terlihat lebih baik ya, Mbak.”
“Noted, Pak. Semua sudah dicatat. Untuk sample kue akan segera kami kirimkan ke kantor Bapak. Sample kue yang kami kirimkan nanti akan jadi patokan rasa.”
“Baik, Mbak. Terima kasih banyak sebelumnya ya, Mbak. Apakah saya perlu untuk transfer biayanya sekarang?”
“Bapak bisa bayar dulu uang mukanya separuhnya. Tapi, nggak perlu sekarang.”
“Oh, begitu. Nanti biar asisten saya yang urus masalah pembayarannya.”
“Baik, Pak. Nanti akan saya komunikasikan dengan Pak Andhika perihal biayanya.”
“Terima kasih banyak untuk bantuannya ya, Mbak.”
“Sama-sama, Bapak... .”
“Athaya. Athaya, Mbak.”
“Sama-sama, Bapak Athaya.”
Panggilan pun terputus. Andhika mengambil ponselnya yang ada di atas meja dan memasukkannya ke dalam kantong jasnya. Kulihat ekspresi kelelahan tampak di wajahnya. Mungkin dia merasa sedikit kesal karena akhirnya atasannya merubah pesanan kue ulang tahun yang akan dipesan.
“Tolong maafin atasan saya ya, Mbak.” Aku dan Sarah mengangguk. “Bukan atasan saya sih yang salah. Tapi, pacarnya. Tolong maafin ya, Mbak. Pacarnya memang banyak banget kemauannya, dan harus selalu diturutin. Saya bingung sebenernya atasan saya itu gimana. Kenapa bisa bucin banget sama pacarnya. Duh, saya malah jadi curhat. Padahal, kita baru aja ketemu.”
“Nggak apa-apa, Pak,” ucapku.
“Eh, anu,” sahut Andhika terbata. “Kalo bisa jangan panggil saya Bapak, ya.”
“Terus, maunya dipanggil apa, Pak Andhika?” sahut Sarah.
“Panggil nama aja. Kayaknya jarak umur kita nggak jauh,” ucapnya.
“Duh, saya nggak enak kalo disuruh panggil nama,” sahutku.
“Nggak apa-apa, Mbak. Biar lebih leluasa.”
“Yaudah. Kalo gitu saya panggil Mas Andhika, gimana?” tawarku. Andhika langsung mengangguk.
“It’s much better than before, Mbak. Terima kasih, ya. Saya jadi nggak ngerasa tua banget ketimbang sebelumnya.” Aku dan Sarah langsung terkekeh.
“Mas Andhika, kalo boleh tau siapa sih pacar atasannya? Kok kayaknya ribet banget, ya?” celetuk Sarah. Aku segera menyenggol lengannya karena merasa hal itu terlalu bersifat pribadi untuk ditanyakan.
Andhika hanya tersenyum dan mengeuarkan kembali ponsel yang sebelumnya sudah dimasukkannya ke dalam saku jasnya. Kulihat dia mengetikkan sesuatu di kolom pencarian Google. Tak lama, dia menunjukkan apa yang didapatnya padaku dan juga Sarah.
“Loh, jadi ini pacar atasannya Mas?” tanya Sarah. Andhika mengangguk. “Berarti cowoknya yang punya supermarket banyak itu?”
“Iya, Mbak,” jawab Andhika.
“Bukannya mereka udah lama putus, ya?” sahut Sarah lagi. Kembali kusenggol lengannya. “Apaan sih, Ya. Gue kepo banget. Sorry banget ya, Mas. Saya kepo soalnya.”
“Nggak apa-apa kok, Mbak. Memang benar kalau atasan saya dan pacarnya sudah putus. Tapi, status mereka sekarang ya kembali pacaran. Tanpa sepengetahuan keluarga dan ... publik.”
“Oh, backstreet,” gumam Sarah.
“Iya, Mbak. Mereka memang backstreet. Dan saya ikut andil membohongi kedua orangtua Pak Athaya tentang hubungan mereka.”
“Orang kaya kalo pacaran serem juga ya, Ya. lo gitu juga kan dulu,” sahut Sarah. Segera kusentil tangannya.
“Apaan sih, lo.”
“Jadi, nanti kami harus buat miniatur Natasha di atas kuenya, Mas?” tanya Sarah. Andhika mengangguk. “Okay. Tolong nanti dikirim aja via email atau WA toko foto mana yang mau dijadiin acuan model untuk miniatur di atas kue, ya. kalo perlu sama model gaunnya juga. Bagian atasnya aja. Kalo bagian bawah kan biasanya ngikutin bentuk spuit krimnya aja. Mungkin bagian paling bawah bakal kita kasih ruffle aja ya, Mas.”
“Tolong diatur aja giman abaiknya, Mbak. Mbak berdua pasti lebih paham bagusnya kue itu harus dibuat bagaimana. Pak Athaya juga sudah menyerahkan semuanya ke Mbak Ayya tadi,” ucap Andhika. “Kalu begitu, saya pamit untuk kembali ke kantor.”
Sepeninggal Andhika, aku dan Sarah segera kembali masuk ke dapur. Di sana, kulihat Mala yang dibuat cukup kuwalahan karena harus menjaga bebarapa oven yang terus menyala. Raut kelegaan muncul di wajahnya ketika melihat aku dan Sarah berjalan ke arahnya.
“Lama banget, sih. Gue hampir meninggal kecapekan nungguin oven. Gila aja semuanya gue yang megang.”
“Sorry. Ada yang pesen kue barusan untuk acara ulang tahun. Agak ribet, makanya butuh waktu lama,” ucapku.
“Sebenernya udah selesai dari tadi, Mal,” sahut Sarah.
“Terus? Lo berdua malah asik ngobrol, gitu?” ucap Mala.
“Nggak gitu, Mal. Tadi, tiba-tiba kuenya direvisi. Jadi, yang pesen kue itu bos dari laki-laki yang Dito bilang mau ketemu sama gue. Dia pesen kue untuk acara ulang tahun pacarnya bulan depan. Nah, gue kan udah ngobrol sama asistennya. Udah deal lah pokoknya. Pas asistennya mau balik ke kantor, tiba-tiba bosnya telepon katanya kuenya mau direvisi. Yaudah. Mau nggak mau kudu diskusi lagi dong,” ucapku.
“Lo tau nggak kuenya dipesen untuk siapa, Mal?” ucap Sarah. Mala menggeleng.
“Buat siapa emangnya sampe seribet itu sampe direvisi segala,” sahut Mala.
“Untuk Natasha,” jawab Sarah.
“Hah? Natasha mana?”
“Natasha mana lagi sih, Mal? Natasha model yang badannya tipis bener itu.”
Mala langsung membelalakkan kedua matanya ketika mendengar ucapa Sarah. “Natasha yang itu, Mbak?”
“Iya,” ucapku. “Lumayan ribet permintaannya, Mal.”
“Keliatan, sih. Hidupnya dia aja ribet. Itu yang mesenin kue ulang tahun cowok abrunya dia, Mbak?” tanya Mala. Aku menggeleng. “Maksud lo gimana?”
“Cowoknya yng lama.”
“Yang dulu pernah pacaran sama dia?” Aku mengangguk. “Lah, bukannya udah putus?”
“Balikkan lagi, Mal. Balikkan,” sahut Sarah.
“Heran gue. Apa cakepnya si Natasha itu, ya. Perasaan gue cewek di dunia ini ada jutaan. Kenapa itu laki malah balikkan sama Natasha?”
“Cinta, Mal. Cinta. Kalo udah cinta susah, Mal. Tai kucing rasa cokelat,” candaku.
“Bener kata lo sih, Ya. Dari obrolan tadi, gue juga ngerasa cowoknya cinta banget sama si Natasha. Apa kemauannya diturutin. Sampe pesen kue ulang tahun juga dia yang mesenin. Enak banget kan si Natasha. Bener-bener terima beres aja. Jelas betah lah dia ditreatment kayak begitu sama cowoknya.”
“Udah, ah. Jangan ngomongin orang terus. Nggak enak kalo sampe kedengeran sama orang lain. Kalo mau ghibah nanti aja, setelah semuanya selesai.”
“Secandu itu ya ghibah,” celetuk Mala. Aku dan Sarah sontak terkekeh.
Aldo kembali membuka jendela penghubung toko dengan dapur. Tampak kepala dengan raut wajah kepayahan.
“Kenapa lagi, Do?” tanyaku.
“Mbak, bantuin gue di depan. Banyak banget pembelinya. Nggak kepegang gue. Ada yang dine-in juga soalnya. Tolong, ya. gue butuh satu orang untuk bantu gue di sini,” ucapnya. Aku mengangguk. “Buruan.”
“Bawel banget si Aldo,” gerutuku. “Sar, tolong bantu Mala di sini. Gue mau ke depan. Kasian Aldo sendirian di depan.”
“Iya. Lo tenang aja.”