TSURAYYA -1-
“Sar, buru deh lo bikin stok untuk frosting. Gue masih harus ngebake beberapa loyang kue lagi. Lo bikin aja dulu, kasih warnanya nanti aja.” Aku masih sibuk meratakan adonan di beberapa loyang bundar berdiameter 28 cm dan mengetuknya beberapa kali untuk menghindari adanya air bubble yang muncul. Kulihat Sarah yang nampaknya cukup lelah sehabis menyiapkan jellyjam yang biasa kami gunakan untuk bahan campuran isian dengan buttercream di setiap lapisan kue yang akan ditumpuk nantinya.
“Gue boleh istirahat dulu ya sebentar. Capek banget, deh. Asli. Nggak bohong,” ucapnya. Dia memang jelas sangat lelah. Pagi-pagi sekali, dia sudah harus mengolah berkilo-kilo strawberry, jeruk, apel dan blueberry segar untuk dibuat selai. Ditambah, proses pembuatan selai memakan waktu yang sangat lama untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Menjadi anak bungsu di keluargaku tak lantas membuatku bahagia. Papa yang awalnya sangat menginginkan aku menjadi seorang dokter terpaksa menyerah ketika aku menolak keinginannya. Aduh, anaknya Papa ini kurang pinter untuk jadi dokter. Kan serem kalo sampe nanti malpraktek di meja operasi. Katanya, seorang perempuan setidaknya harus punya karir yang bagus untuk bisa mendapatkan suami yang bisa menyeimbanginya. Aku tidak setuju dengan anggapan itu. Bagiku, seorang suami bisa dibilang sukses kalau dia bisa membimbing dan mendidik istrinya dengan baik. Tak berhasil jadi dokter, aku memilih untuk kuliah di jurusan Sastra. Mungkin terdengar sedikit konyol. Tapi, aku memang suka dengan bahasa. Aku suka membuat sebait-dua bait kata yang indah. Bisa disebut puisi kah? Bisa, dong.
Setelah lulus perguruan tinggi, aku bagai kehilangan arah. Papa sempat menawariku untuk melanjutkan studi di luar negri, tapi kutolak. Otakku sudah cukup mengepul dengan semua yang berhubungan dengan pendidikan. Pilihan lain yang diajukan Papa adalah aku diharuskan membantu Papa dan kakak laki-lakiku mengurus perusahaan. Hell no! Itu bukan passionku, by the way. Kusampaikan keinginanku untuk membangun bisnis sendiri yang benar-benar sesuai dengan passionku. Ide untuk membangun bisnis ini sempat ditentang orangtuaku, terutama Papa. Tapi, akhirnya Papa menyerah dan membantuku untuk membuka bisnis dengan memberikan suntikan dana yang kuanggap hutang yang harus kucicil tiap bulannya.
Bersyukurlah aku dengan semua kesibukan yang ada di toko kue ini. Bisnis ini memang belum begitu besar, bahkan masih masuk kategori merintis. Tapi, pelanggan kami tersebar di seluruh kota dan kota tetangga terdekat. Awalnya, ide bisnis ini bermula dari aku dan Sarah yang mempunyai hobi yang sama. Kami kerap pergi bersama berkunjung ke toko kue untuk mencicipi kue-kue andalan yang dijual di sana. Ide itu muncul begitu saja. Dan, setelah kurang lebih 3 tahun berkecimpung di bisnis ini membuat nama kami dikenal di kalangan pecinta makanan yang identik dengan rasa manis ini. Berkat kesuksekan yang kuraih, aku bisa membuktikan pada Papa kalau aku bisa menjadi seorang wanita yang mandiri, meskipun tak berkarir cemerlang. Tapi aku famous lho, Pa.
“Mal, kalo lo udah kelar sama roti tolong bantuin Sarah, ya. Dia kewalahan banget. Lo masih lama?” tanyaku. Mala, salah satu pegawai di toko kueku yang bertanggung jawab di bagian roti tengah duduk di hadapan oven yang masih memanggang last batch untuk hari ini.
“Nggak kok, Mbak. Kelar manggang croissant ini, gue udah nggak ada gawean,” sahutnya.
Aku mengangguk sambil berjalan dengan membawa 2 loyang kue yang siap dipanggang di kedua tanganku. Aku berjalan menuju oven yang ada di sebelahnya. “Tolong bantuin, ya. Soalnya abis ini gue masih harus bikin beberapa figure dari fondant. Customer kita yang ini mau kasih kue untuk ulang tahun anaknya yang kelima tahun. Anaknya suka banget sama karakter tokoh kartun Monster Inc. Kebayang kan gimana ribetnya. Secara monster-monster di sana agak rumit.”
“Bantuin gue ya, Mal. Pinggang gua sebenernya udah mau copot gara-gara ngaduk selai dari pagi. Tapi, demi cuan kudu kuat. Iya nggak, Ya?” ucap Sarah yang kulihat sudah bersiap untuk bangkit dari duduknya. Sesekali dia meregangkan otot-ototnya dengan gerakan-gerakan peregangan sederhana yang dipelajarinya dari Youtube.
Selama membuka bisnis ini, aku belajar banyak sekali hal yang tadinya sama sekali tak kukuasai. Awalnya, aku hanya bisa membuat kue enak yang layak makan tanpa embel-embel hiasan di sana sini. Perlahan, aku mulai mengikuti kursus menghias kue yang diadakan para bakers terkenal. Bisnis kue berkembang layaknya fashion. Setiap saat, ada saja trend baru yang berkembang di dunia perkuean. Bahkan, aku dan Sarah pernah mengambil kelas khusus menghias kue di Korea Selatan. Teknik menghias kue dengan buttercream yang dibuat sedemikian rupa hingga terlihat bak rangkaian bunga berhasil menarik minat para pecinta kue. Aku yang tadinya sama sekali tidak bisa berkreasi dengan fondant pun dipaksa untuk menjadi kreatif. Jangankan membuat patung dari fondant. Lilin mainan waktu SD saja hanya berakhir menjadi sampah tanpa bentuk di tempat sampah.
“Hari ini, kita lembur?” tanya Mala. Aku mengangguk. Kupandangi loyang-loyang berisikan adonan kue yang sudah masuk ke dalam oven.
“Gue sih lembur. Tapi, terserah kalo lo mau nggak lembur. Gue masih harus ngehias 3 kue lagi. dan semuanya diambil besok, woy! Jadi, mau nggak mau gue harus lembur dan nginep di sini. Lo bisa temenin gue, Sar?” tanyaku. Kulihat Sarah yang sudah mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat buttercream di meja.
“Bisa. Tenang aja. Gue temenin. Nanti, gue balik dulu sebentar untuk ambil baju ganti. Gue bikin buttercream dulu, ya.” Sarah menuang beberapa bungkus unsalted butter ke dalam mixing bowl. “Mal, sembari lo nungguin oven, tolong bikin simple syrup ya. Perbandingannya 1:1 jangan lupa.”
“Oke.” Mala mengacungkan jempolnya, lalu dia berjalan mengambil sebuah kuaali besar yang memang biasanya selalu dipakai untuk merebus cairan gula di rak peralatan. “Jangan mulai dulu, Mbak. Santai aja, ya.”
Selagi menunggu kue-kue yang dipanggang matang, aku menyibukkan diri dengan mencari gambar-gambar karakter Monster Inc di internet. Sedikit mumet karena ternyata memang...segitu ribetnya. Huh! Perkembangan karakter kartun masa sekarang memang bertambah pesat dibandingkan di masaku dulu. Dan, perkembangan yang pesat itu justru menambah tantangan bagiku mengukir di atas fondant.
Membuat karakter dari fondant memang menghabiskan waktu yang sangat lama. Semua detail rumit harus dibuat senyata mungkin. Astaga, punggung dan pinggangku sakit. Bahkan, mataku juga terasa sangat pedih.
“Mal, tolong kuenya diangkat. Langsung taroh aja di cooling rack, ya. Duh, pinggang gue serasa mau copot. Pegel banget.” Kupijit-pijit pinggangku dengan telapak tangan sekenanya. Kupukul-pukul pelan bahuku dengan tangan yang terkepal. Beberapa kali kuputar perlahan leherku yang hampir jatuh ke atas meja. Lelaaaah.
“Ya, istirahat aja dulu. Nanti gue cover, lo. Buttercream udah beres, kok.” Sarah yang sedang memindahkan buttercream yang sudah siap pakai ke wadah seketika langsung menatap ke arahku. “Nanti, kalo lo udah segeran boleh balik lagi ke sini.”
Dengan izin dari mereka, aku naik ke lantai atas. Di sini, ada dua buah ruangan. Satu ruangan biasa digunakan sebagai kantor dimana kami biasa menerima customer yang akan memesan kue, sedangkan satu ruangan lagi berisi satu kasur busa berukuran 200x200 cm. Jika pesanan sedang banyak-banyaknya, biasanya kami memutuskan untuk menginap dan tidur di ruangan ini.
Di atas kasur, kubalur tubuhku dengan krim hangat anti pegal yang memang selalu kusediakan di sini. Dengan harapan bisa mengurangi rasa pegal yang tengah kurasakan. Teringat ada beberapa lembar hot patch yang ada di laci nakas. Segera kutarik lembar perekat hot patch dan menempelkannya di pinggang dan ceruk leherku. Perjuangan masih panjang. Semalaman ini, aku harus menyelesaikan 4 pesanan kue khusus yang akan diambil esok hari. Aku masih beruntung karena keempatnya tidak akan diambil secara bersamaan. Bisa mati berdiri kalau-kalau itu terjadi. Meskipun semua dikerjakan berdua dengan Sarah, tetap saja semua terasa begitu berat. Keempat kue yang dipesan customer mempunyai detail yang sangat rumit dan...rasa base kue yang berbeda-beda.
Rasanya sudah lama waktu yang kuhabiskan seharian ini di toko. Bahkan, aku sampai lupa belum sempat mengisi perut. Segera kurogoh saku apron dan mengeluarkan ponselku. Sebuah icon pesan antar restoran cepat saji menjadi pilihanku untuk saat ini. Tak ada waktu lagi untuk memasak makan siang yang cukup untuk 4 perut orang dewasa. Setelah memesan beberapa loyang pizza ukuran medium dan beberapa porsi pasta, seporsi garlic bread dan beberapa minuman, aku segera mengabarkan Dito yang kebetulan sedang berjaga di toko untuk mengambil pesanan.
[Rayya : Dit, gue pesen pizza buat kita makan siang. Nanti tolong diambil, ya. Langsung makan aja sama yang lainnya. Gue mau rebahan dulu sebentar.]
[Dito : Siap, Mbak. Makan besar nih kita.]
[Rayya : Depan aman kan, Dit?]
[Dito : Aman, Mbak.]
Satu jam sudah kuhabiskan untuk berbaring dan melemaskan otot-otot yang kaku karena hampir setengah hari ini dihabiskan berkutat dengan fondant. Aku segera turun dan bergabung dengan yang lainnya. Kulihat mereka sedang menikmati makanan yang tadi kupesan.
“Ya, makan dulu. Nanti kita lanjut lagi,” ucap Sarah sambil memegang seiris pizza dengan beberapa iris parika merah dan hijau sebagai toppingnya.
“Sisain gue, ya.” Aku segera duduk di atas kursi bulat yang biasanya memang selalu kupakai selama bekerja di dapur.
“Lo nggak makan dulu, Mbak?” tanya Mala. Aku mengangguk lalu kemudian kembali memandangi kue-kue yang sudah berjejer di atas cooling rack. “Mending makan dulu. Kuenya juga udah pada dingin, kok.”
Mendengar ucapan Mala, aku langsung mengambil sepotong pizza dengan topping daging asap dan irisan sosis sapi di atasnya. Kuminta Dito untuk melemparkan sebungkus saos sambal kemasan ke arahku.
“Mbak, jangan banyak makan pedes terus,” ucap Dito.
“Kalo nggak pedes tuh nggak enak, Dit,” jawabku.
“Tapi, kalo perut lo lagi bermasalah kita semua yang kena imbasnya. Seruangan bakalan penuh bau kentut lo.”
“Kentut ya bau lah, Dit. Mana ada kentut wangi,” sahutku. Segera kugigit potongan pizza yang ada di tanganku. Kunikmati gigitan demi gigitan pizza yang masuk ke mulutku. “Selesai makan gue mau langsung, ya. Kalian kalo mau istirahat nggak apa-apa.”
“Iya. Gue sama Mala mau rebahan sebentar,” ucap Sarah. “Dit, nanti anter gue balik sebentar ambil baju ganti, ya.”
Kutatap 2 kue yang ada dihadapanku. Kutarik napas dalam-dalam dan segera menghembuskannya perlahan. It’s gonna be a long day anyway. Segera kuambil cake leveler untuk membagi satu kue menjadi 2 lapis sama tebal. Aku suka alat ini. Sangat membantu mengingat aku orang yang tak pernah bisa presisi jika melakukannya secara manual. Jangankan kue, bikin alis aja suka beda kanan sama kiri.
Kue yang akan kugarap kali ini masuk kategori rumit. Beruntung segala perintilan karakter fondant sudah selesai kubuat. Aku hanya tinggal memberikan isian buttercream yang dicampur dengan strawberry jelly jam di tiap lapisannya. Kue ini memang untuk anak umur 5 tahun. Tapi, karena orangtuanya langsung yang memesan tak heran begitu banyak detail yang diinginkan. Base cake rasa vanilla yang harus berasal dari ekstrak vanilla bean pilihan, baiklah. Strawberry jelly jam yang dibuat dari strawberry segar Korea yang sedang ramai diperbincangkan, baik. Dan, buttercream yang terbuat dari unsalted butter merk tertentu yang sumpah demi apapun agak susah mencarinya karena jarang dijual di toko-toko bahan kue karena harganya yang termasuk mahal untuk ukuran mentega tanpa garam.
Pada saat menghias kue, sebisa mungkin kukerahkan semua fokusku pada tumpukan lapis demi lapis kue yang ada di lazy susan turntable. Kue dengan segala macam dekorasi berbau Monster Inc menjadi yang paling pertama kugarap. Aku benar-benar harus membuatnya sebaik mungkin. Bukannya apa, customerku ini termasuk pelanggan setia yang sering memesan kue di tokoku. Dan, dari dia juga aku banyak mendapatkan customer baru yang tentunya banyak menyumbang untuk membuat pundi-pundiku semakin mengembang.
OoO
Satu jam kuhabiskan untuk menghias kue ulang tahun bertemakan Monster Inc ini. Lega rasanya. Segera kuminta Dito untuk memasukkan kue ke dalam chiller. Dan lagi. kuregangkan otot-otot yang terasa sangat kaku setelah menghias kue.
“Pada sholat dulu, deh,” ucapku. Jam dinding yang ditempel di tembok dapur tepat menunjuk angka 4. Aku segera masuk ke kamar mandi yang ada di dapur untuk mengambil wudhu dan segera mengerjakan sholat Ashar bersama dengan yang lainnya.
Selesai sholat, Sarah pamit pulang untuk mengambil baju ganti dengan diantar Dito. Kuminta Mala untuk standby di depan, sementara aku melanjutkan pekerjaanku yang lainnya. Kucicil membuat dekorasi bunga-bunga dari buttercream sembari menunggu Sarah kembali. Tiga kue sisa yang belum dihias mengambil tema floral. Berbagai macam bunga-bunga dari buttercream sudah selesai kubuat dan segera kumasukkan ke lemari pendingin untuk menjaga kualitasnya.
“Sar, bunga-bunganya udah gue buat. Gue simpen di kulkas. Gue mau bikin adonan untuk base cakenya dulu, ya.” Sarah segera memakai apron yang disangkutkan di balik pintu menuju dapur. Mala yang kembali ke dapur langsung kutodong dengan sebuah shifter yang ada di tanganku. “Mal, bantuin ngayak tepung, ya. Resepnya kayak biasa. Yang ini lo ayak barengan baking powder. Yang itu lo ayak sama cokelat bubuk. Gue mau ngelelehin mentega dulu.”
Berloyang-loyang kue akhirnya selesai dipanggang. Harum dari kue yang baru matang seketika menguar ke seluruh dapur. Wangi vanilla dan cokelat bercampur menjadi satu berpade dengan wangi mentega yang kaya akan s**u. Butuh waktu lama untuk mematangkan kue-kue itu. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kami terpaksa bekerja dengan tempo cepat. Setelah membagi pekerjaan, baik aku dan Sarah mulai sibuk dengan bagiannya masing-masing. Aku bertugas menghias satu kue bertingkat 3 dengan base cake rasa vanilla dan filling selai jeli jeruk dan sedikit sensasi parutan kulit jeruk untuk menambah cita rasa segar. Sarah menghandle 2 kue tanpa tingkat.
Mataku sungguh terasa sangat sepat. Berkali-kali aku juga memukul-mukul ceruk leherku yang terasa sangat kaku. Kakiku juga mulai pegal karena terlalu lama duduk. Rebahan. Hanya itu yang ada di otakku untuk saat ini. Di sela-sela mengambil udara segar, aku pergi ke depan. Toko sudah tutup. Karena hecticnya pesanan hari ini, kami memutuskan untuk menutup toko esok hari. Kami butuh istirahat yang sangat cukup untuk bisa kembali membuka toko.
“Sar, menurut lo kurang apa?” tanyaku. Kutunjukkan hasil coatingku padanya. Sarah meneliti ke seluruh sisi kue yang sedang kuhias ditaruhnya telapak tangannya di dagu. “Kurang apaan?”
“Perfect, kok. Udah bagus,” jawabnya. Aku menghembuskan napas lega. Aku dan Sarah memang partner yang cocok di segala macam hal. Saat bekerja seperti sekarang, aku selalu minta pendapatnya. Karena bagaimanapun juga, usaha ini dijalankan bersama.
“Asik. Tinggal nempelin bunga-bunganya. Ada catetan khusus nggak untuk kue ini, Sar?” tanyaku. Sarah hanya menanggapinya dengan menggeleng. Fokusnya masih tertuang ke kue yang sedang dihiasnya. “Cake toppernya lo taroh dimana, Sar?”
“Ada di chiller. Semua gue taroh di sana.”
Aku segera berjalan menunju lemari pendingin. Ada tiga buah cake topper yang ditaruh Sarah di bagian chiller. “Lo pikir ini kue pake segala lo simpen di chiller.”
“Gue takut leleh,” kekehnya.
“Happy Enggagement,” gumamku.
“Udah, Ya. Nggak usah kebawa perasaaan. Udah berapa ratus cake yang lo buat untuk acara pertunangan? Harus strong, ya. Lupain mantan lo yang sama sekali nggak guna itu,” sahut Sarah dengan sebuah pipping bag berisikan buttercream di tangannya. “Pallette knife ada yang bersih nggak? Gue mau bikin motif abstrak.”
“Pake punya gue, nih.” Kusodorkan pallete knife yang ada di hadapanku. “Bersih, kok. Nggak gue pake.”
Akhirnya, semua pekerjaan benar-benar selesai tepat jam 3 pagi. Aku dan Sarah segera naik ke kamar setelah membersihkan diri dari krim-krim mentega yang mungkin mengenai pakaian kami. Di kamar, Mala sudah tidur dengan damainya. Bisa-bisanya dia tidur dengan headset yang menempel di kedua lubang telinganya. Karena tak ingin sesuatu buruk terjadi padanya, segera kulepas headset dan kuketakan di atas nakas.
“Kebiasaan banget si Mala kalo tidur kuping disumpel headset,” ucap Sarah. “Dia nggak pernah nonton berita apa ya kalo banyak yang meninggal pas tidur gegara kuping disumpel pake headset.”
“Mana sempet die nonton berita, Sar. Kebanyakan maen tepung di dapur. Terus lanjut marathon drakor. Gue sih jamin kalo berita nggak ada di list dia. Yang ada di list dia tuh Vincenzo, Penthouse sama Kingdom.”
OoO
Kuserahkan masalah pengiriman kue pada Dito. Semua pekerjaan untuk hari ini selesai. Betapa bahagianya aku akrena bisa segera kembali ke rumah. Akhir pekan adalah saat dimana seluruh anggota keluargaku berkumpul di rumah. Biasanya, hanya ada Mama dan beberapa sisten rumah tangga kami. Tapi, hari ini Papa dan Mas Gibran yang biasanya sibuk di kantor bisa ikut berkumpul dengan kami.
“Assalamualaikum,” ucapku. Kulihat Papa dan Mama yang sedang duduk bersantai sambil menonton TV di ruang tengah rumah kami.
“Waalaikumsalam,” jawab keduanya serempak.
“Mau mandi dulu atau makan dulu, Ya?” tanya Mama. “Tadi, Mama sama Mbok Inah udah masak enak untuk kamu.”
Mataku seketika berbinar mendengar kata enak. “Ayya udah mandi di toko, Ma. Mama masak apa?”
“Ayo tebak,” sahut Mama. Mamaku memang senang sekali bercanda. Dia bukan hanya seorang ibu untukku. Tapi, Mama juga sering menjelma menjadi seorang sahabat kapanpun aku butuh teman untuk berbagi. Mama juga yang paling mengerti apa mauku.
“Mama masak gudeg, ya?” Aku berusaha menebak. Mama langsung mengangguk. “Ih, asik banget. Mama bikin sambel terasi sama sambel goreng kreceknya juga, kan?”
“Pastinya, dong. Kita makan dulu, yuk!” Mama langsung menggiringku dan Papa ke meja makan.
“Mas Gibran mana, Ma? Kok nggak keliatan?” tanyaku.
“Masmu tidur udah kayak orang mati, Ya. Kebanyakan main game sampe Subuh. Dibangunin untuk Subuhan aja lewat,” sahut Papa. “Gimana mau ada cewek yang suka sama dia kalo kayak begini caranya.”
“Pa, jangan salah. Mas Gibran tuh yang suka banyak banget. Ayya yang jadi korbannya. Papa sama Mama nggak tau kan kalo Mas Gibran suka minta Ayya pura-pura jadi pacarnya? Pasti nggak tau. Nah, kalo akhirnya itu cewek-cewek tau kalo Ayya adeknya Mas Gibran, langsung deh. Satu-satu berebut deketin Ayya. Nanya ini-itu. Toko Ayya bisa penuh sama cewek-cewek yang ngantri mau kenalan sama Mas Gibran. Papa sama Mama nggak tau gimana mempesonanya Mas Gibran di mata mereka,” jelasku.
Apa yang kukatakan barusan memang benar. Kakakku memang punya pesona tersendiri di mata para kaum hawa yang tergila-gila akan sosoknya. Tapi, memang dasar Mas Gibran. Dia tidak menanggapi ataupun menolak. Diam adalah emas, katanya. Dan tentunya, membiarkanku menjadi korbannya. Seringkali tokoku penuh karena banyak perempuan yang tertarik pada Mas Gibran dan berharap aku bisa mempermulus langkah mereka. Mereka datang dengan membawa begitu banyak barang-barang yang ditujukan untuk Mas Gibran. Walaupun tak jarang, kehadiran mereka membuat aku dan yang lainnya bahagia bukan main. Kue-kue yang ada di toko ludes dibeli. Setidaknya, karena mereka jam tutup toko kami menjadi lebih awal. Sering-sering aja, ya.
“Ayya, laki-laki itu masih gangguin kamu nggak?” tanya Papa. Gerakan sendok yang ada di tanganku seketika terhenti. “Sengaja Papa mulai kendorin penjagaan kamu. Papa mau tau apa dia bikin ulah lagi? Empat tahun dia ganggu hidup kamu. Apa dia nggak ada kerjaan?”
“Laki-laki itu?” kilahku. “Maksud Papa Jendra?”
“Siapa lagi? Nggak ada laki-laki lain yang kurang ajar sama kamu kan, Ya? Kamu harus bilang sama Papa kalo ada laki-laki yang sejenis sama dia.”
“Pa, tenang aja. Hidup Ayya udah tenang, kok. Mungkin karena dia tau banyak orang Papa yang jagain Ayya, makanya dia nggak berani gangguin Ayya lagi. Ayya janji sama Papa. Ayya bakalan langsung ngadu ke Papa kalo dia ataupun laki-laki lain kurang ajar sama Ayya. Biar Papa nggak terus-terusan khawatir sama Ayya,” ucapku.
“Yaudah. Makannya dilanjut dulu, ya,” ucap Mama. “Ayya lagi deket sama seseorang nggak?”
Aku hampir saja tersedak mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Mama. “Ma, nggak salah kasih pertanyaan, kan?”
“Nggak, kok. Mama nanya serius. Ayya lagi deket sama seseorang nggak sekarang-sekarang ini?” tanya Mama lagi. seketika aku malah tertawa. “Kok kamu malah ketawa?”
“Ma, Ayya nggak mikirin kayak gitu dulu. Yang ada di pikiran Ayya sekarang itu harga telur, mentega, gula pasir sama apapun itu yang ada hubungannya sama bisnis Ayya. Ayya nggak sempet deh kalo disuruh mikirin kaya gitu.”
“Kamu udah 28 tahun lho, Sayang. Kamu nggak trauma karena Jendra, kan?” Aku menjawab pertanyaan Mama dengan gelengan.
“Buang-buang waktu kalo Ayya inget-inget soal dia, Ma. Mendingan Ayya pake otak Ayya untuk ngembangin bisnis. Ketauan, kan. Malah menghasilkan uang.”
“Mama takut kamu nggak mau ngejalin hubungan lagi karena inget pengkhianatannya Jendra.”
“Nggak kok, Ma. Emang belum waktunya aja. Nanti, kalo udah tiba waktunya juga dateng sendiri.”
Sungguh aku berharap laki-laki kurang ajar itu tak akan pernah menampakkan dirinya lagi di hadapanku. cukup dengan luka yang ditorehkannya beberapa tahun lalu. Perbuatannya membuatku merasa jijik bukan main. Aku bahkan tak memerlukan waktu lama untuk bangkit dari keterpurukan itu. Pengalaman kegagalan cinta justru menempaku menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya. Terima kasih, masa lalu.