BAB 8 - Kerusakan Yang Sangat Fatal

1030
“Ibu ... kenapa menangis?” Diana hanya diam sambil menatap sendu putri kesayangannya itu. Ia mengusap lembut, kemudian memberi kecupan sayang tepat dikening. Lalu,  bayangan Diana hilang ditelan cahaya putih menyilaukan mata Jelita. “Sshhh ...” Jelita membuka mata perlahan sambil meringis kesakitan. Ia merasakan kepala bagai dijepit kuat dengan besi, bagian belakangnya berdenyut-denyut mengirim nyeri setiap kedutannya. Samar-samar ia mulai bisa melihat, awalnya buram namun tak lama kemudian semakin jelas menggambarkan langit-langit kamar yang sudah tak asing lagi baginya. Ia ingin bangkit, namun seluruh bagian tubuhnya seperti remuk seperti habis jatuh dari ketinggian. Lalu, saat hendak mengeluarkan suara, tenggorokannya begitu kering dan perih seperti terbakar. Hal itu reflek membuatnya merintih lirih untuk meminta air. Saat mencoba membuka mulut, tak ada suara apapun keluar dari bibirnya, lalu ia kembali mencoba. “Air ...” “Oh ya Tuhan ... Nona Jelita, Anda sudah sadar!” Seru Linda sambil bangkit dari duduk dan bergegas menghampiri Jelita. Selama Jelita berada diruangan ini, dialah yang ditugaskan untuk merawat luka dan menunggui hingga gadis itu siuman. Ia lalu membantu Jelita untuk duduk dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu tidak kembali kesakitan meskipun setiap gerakan yang ia lakukan membuatnya mendesis menahan sakit. Linda memposisikan Jelita untuk bersandar di ujung tempat tidur yang diberi bantal supaya menjadi sandaran empuk dan nyaman, lalu mengambil satu botol air mineral beserta sedotan. Perlahan ia membantu Jelita untuk meraih sedotan tersebut, seteguk demi seteguk air putih itu memberikan kesegaran yang luar biasa bagi Jelita. Seketika, kering ditenggorokannya sedikit membaik. Kembali ia membuka mata dan mengerdip pelan, lalu ia menoleh ke arah Linda yang sudah kembali duduk di dekatnya sambil memegang telapak tangan sebelah kiri gadis itu. Wanita paruh baya itupun memandangi sang gadis muda, lalu digelengkannya kepala dengan masih menyisakan pertanyaan tak terjawab. Linda sendiri tak percaya dengan apa yang terjadi sebelum ini. Jelita mengambil napas lalu perlahan menghembuskannya kembali. “Aku ingin pulang ... aku kangen Ibu dan adikku ...” Kini suara Jelita sudah sedikit lebih jelas, walaupn masih serak dan menyisakan perih di tenggorokan.  Namun apa yang dikatakan sang gadis hanya membuat Linda menatap iba. Andai saja ia punya kuasa, tanpa Jelita memohon_pun ia akan melakukannya. Linda tak mampu memberikan jawaban apa-apa, hanya genggaman tangan yang semakin erat untuk memberikan dukungan pada Jelita agar tetap kuat. Kemudian ia bangkit dan mengambil sebuah wadah stainless yang berisi air hangat dan wash lap. Ia meminta izin kepada Jelita untuk membersihkan wajahnya supaya merasa lebih segar. Jelita hanya diam saja tak memberi tanggapan apapun, ia begitu menikmati setiap sapuan aIr hangat diwajahnya meskipun harus sambil menahan denyutan di kepala bagian belakang.   Linda kembali duduk di dekat Jelita setelah selesai membersihkan wajah gadis itu sambil membawakan kudapan untuknya. Jelita sudah mulai sepenuhnya sadar dan ia menangguk saja ketika Linda menawarinya untuk makan. Tiba-tiba, Jelita seperti dikejutkan sesuatu yang melintas di kepalanya. Sepotong peristiwa yang muncul berkelebat begitu cepat membuatnya memejamkan mata. “Nona Jelita, Anda tidak apa-apa?” Sesaat Linda terlihat panik ketika melihat Jelita bersikap seperti itu. Ia merasa kasihan juga sedih dengan apa yang menimpa Jelita, namun dalam hati ada satu hal yang membuatnya penasaran dan ingin menanyakan hal tersebut kepada gadis itu. Jelita kembali membuka mata dengan tatapan bingung, Linda yang menangkap hal itupun lantas bertanya, “Nona, apa yang Anda rasakan?” “Aku ... aku hanya ingin pulang, Bi.” “Maaf saya tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, situasinya memang sedang tidak baik. Tuan Jhonas marah besar. Semua asisten kena batunya bahkan sudah tiga hari ini ia mengamuk dan mabuk.” Penjelasan Linda membuat Jelita mengernyit heran. ‘Oh, laki-laki b*****h itu!’ umpat Jelita dalam hati. “Sudah belasan tahun saya disini dan baru kali ini  melihat Tuan Jhonas semurka itu,” sambung Linda lagi dengan tatapan ngeri. “Memangnya ... apa yang membuat laki-laki itu murka, Bi?” Mendengar pertanyaan itu, Linda menatap ke arah Jelita penuh dengan rasa tidak percaya. Seharusnya, Jelitalah yang wajib menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hingga membuat situasi disini menjadi kacau balau. “Nona ... sama sekali tidak ingat?” Linda kembali memastikan kepada Jelita, mungkin gadis itu belum bisa sepenuhnya dapat mengingat karena luka dibagian kepala belakang yang dialami. “Jika aku tahu apa yang terjadi, untuk apa menanyakan kepadamu, Bi?” Linda menelan ludah sambil kedua tangannya memegang erat-erat nampan yang berisi makanan. “Selama saya bekerja disini, untuk pertama kalinya saya melihat Tuan Jhonas murka, sangat-sangat murka. Itu karena ... Tuan Danu yang selama ini menjadi kepercayaannya kritis akibat luka parah dan harus dirawat secara intensif.” Sudut bibir Jelita terangkat sedikit, mendengar hal itu entah mengapa malah membuatnya senang. Tak akan hilang diingatan Jelita seseorang yang bernama Danu karena seringai yang sangat menjijikkan baginya. “Orang macam dia memang seharusnya mendapat ganjaran setimpal. Seringainnya benar-benar membuatku jijik, Bi.” Linda kembali terdiam, ia sempat menduga bahwa kini Jelita telah sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun dugaannya terpatahkan ketika Jelita kembali menanyakan sebab apa yang membuat Danu harus dirawat. Linda kembali mencoba dengan menceritakan kondisi 2 bodyguard Danu yang sama-sama kritis bahkan seorang diantaranya mengalami koma dan dinyatakan gegar otak berat. Mungkin bila laki-laki itu masih diberi kesempatan hidup, ia akan catat selamanya. “Nona Jelita ... sama sekali tidak tahu?” Linda kembali mengulang perkataannya yang membuat Jelita memutar bola mata merasa jengah. “Aku pikir itu memang layak mereka dapatkan sebagai balasan Tuhan atas sikap mereka yang kejam seperti itu, Bi.” “Dan perantara balasan Tuhan yang Nona maksud adalah dari Nona Jelita sendiri.” “Maksud Bibi?” “Saya pribadi juga tidak mengerti mengapa Anda sama sekali tidak bisa mengingat moment itu. Tuan Danu dan dua bodyguard-nya dihajar habis-habisan oleh Anda, Nona. Mungkin, kalau saja Tuan Danu tidak memukulkan vas ke kepala Anda menjelang tak sadarnya, Tuan Jhonas ... Tuan Jhonas akan bernasib sama.” Linda mengambil napas panjang lalu kembali melanjutkan ceritanya, sementara Jelita menatap tak percaya mendengar apa yang Linda katakan. “Sekali lagi, selama saya mengabdi disini—untuk pertama kalinya Tuan Danu yang merupakan orang kepercayaan Tuan Jhonas sekaligus orang yang paling ditakuti karena kekuatan dan kecerdikannya yang tak tertandingi, harus tumbang dalam keadaan yang sangat parah.” Jelita menutup bibirnya  yang terbuka karena tak percaya dengan apa yang Linda katakan. Ia nampak shock juga ngeri membayangkan kondisi ketiga orang itu yang diceritakan oleh Linda. Damage-nya tidak hanya pada fisik saja akan tetapi pada psikis Jhonas yang menjadi murka dan tak setenang biasanya.   Jelita mengusap wajahnya sambil memejamkan mata, kembali denyutan nyeri pada bagian kepala belakang ia rasakan. Dan bersamaan dengan itu, potongan-potongan gambar kejadian yang terlintas di kepalanya perlahan membentuk sebuah rangkaian ingatan. Dengan jelas Jelita bisa melihat apa yang ia lakukan kepada tiga orang itu. ***
신규 회원 꿀혜택 드림
스캔하여 APP 다운로드하기
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    작가
  • chap_list목록
  • like선호작