EMPAT : Modern Blind Date

1696
Seni untuk tidak melakukan apa-apa. Mungkin itu akan jadi judul buku yang akan aku tulis setelah seminggu berada di sini dan hanya melakukan pekerjaan domestik yang tidak terlalu banyak. Kamar mandi sudah aku bersihkan sampai mengkilat, semua bumbu dapur yang aku beli dari Asian Mart sudah ku taruh di wadah-wadah kaca kecil yang dua hari lalu aku beli dari Pavilion on George yang hanya tinggal berjalan sedikit. Kulkas dua besar yang sudah Rendi beli pun kini penuh dengan bahan makanan. Aku bahkan sudah mahir menyiapkan bahan-bahan makanan dengan bantuan berbagai video dari Google. Dari bagaimana menyimpan cabe supaya awet berbulan-bulan, menyimpan wortel dan berbagai sayuran agar tidak cepat busuk, sampai mengecek telur yang tidak busuk berbekal tes sederhana yang dulu pernah dicoba di sekolah dulu. Rasanya aku sudah bisa membuat akun Youtube untuk preparing bahan masakan seperti banyaknya akun yang aku temui. “Kamu pesen furnitur apa emang?” tanya Rendi yang baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya berbalut handuk dengan rambut yang setengah basah. “Coffee table sama rak buku dua. Trus aku mau cari tanaman indoor buat apartemen yang terasa kosong ini.” kataku sambil mengangkat kedua tanganku dramatis. “Oke…” Rendi berdiri sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang seakan sedang menilai perkataanku. “Aku tadinya mau beli rak buku yang gede banget kayak di rumah, tapi gimana caranya itu rak bisa sampai atas sini? Jadi aku sengaja beli yang well maintain, yang bisa dirakit sendiri. Rak IKEA.” Rendi mengangguk beberapa kali dan menuju kamar untuk mengenakan pakaian. Aku memeluk bantalan sofa sambil memilih tontonan malam ini. Shadow and Bone sudah ku tonton semua episodenya, begitu juga dengan Why Woman Kill yang aku tonton di Prime Video sss. Aku cukup terbahak dengan cerita perselingkuhan dan Ginnifer Goodwin yang polos namun witty. Dan kini aku sedang bingung ingin menonton apa lagi sementara Rendi sudah datang dan duduk disebelahku dengan wangi sabun dan shampo yang segar. “Ren…” panggilku tanpa melepaskan pandangan dari televisi yang masih aku otak-atik. “Hmm?” “Apa aku bikin channel Youtube aja ya, kayak banyaknya orang Indonesia di luar negeri sana. Atau video prep bahan makanan.” Rendi tertawa dan mencium dahiku dengan merangkul badanku dari samping. “Nggak usah aneh-aneh, deh, Hon. Emang yang kayak gitu ada yang nonton?” “Banyak, dan kalau sampai ada ads dan bisa di monetize, bisa dapet uang.” “Apa kamu se-desperate itu buat cari uang? Maksudku, kamu bisa cari uang dengan cara yang lain. Jangan salah paham maksud aku ya.” “Aku pengen punya kegiatan yang bisa dibilang kerja dan menghasilkan uang. Nggak yang cuma di rumah aja, aku kangen kerja.” Kataku yang sudah sedikit frustasi. “Hmm… kamu mau sementara ngurus bisnis sayur aku sampai kamu dapet kerjaan yang cocok sama kamu? Kebetulan aku lagi agak sibuk di kantor jadi agak susah pegang kerjaan di Lembang.” Aku memandang wajah Rendi, “kamu ngomong gini karena aku lagi nganggur ya? Biar aku nggak ngoceh panjang terus?” Rendi menjawil hidungku gemas karena aku terus menerus mengatakan hal-hal yang malas didengar oleh Rendi. “Gimana sih, mau dikasih kerjaan gitu ngomongnya ke calon bos.” “Oh, sekarang jadi calon bos nih? Gajinya harus gede ya, soalnya selain kerja urus sayuran aku kerja di rumah juga nih. Belum nanti harus bikin anak juga.” Rendi makin terbahak mendengar perkataanku. “Gampang, yang penting kamu ada kegiatan biar nggak bosen dan bisa beli furnitur yang kamu mau. Asal jangan sampai buat apartemen kepenuhan aja.” “Aku kalo belanja yang murah-murah kok, nggak ada kan kamu nemu aku bolak balik beli designer brand. Itu udah zaman jahiliyah aja, sekarang harus banyak nabung. Hidup di sini mahal.” “Oke, nabung. Terus sekarang kita mau nonton apa nih? Kamu dari tadi milihnya lama banget.” Protes Rendi yang sudah memelukku dari belakang. “Shadow and Bone.” Jawabku. “Bukannya kamu udah nonton?” tanya Rendi bingung. “Aku pengen liat Ben Barnes lagi. Ganteng banget dia di sana. Nggak usah jealous, dia emang ganteng, meski agak mellow nggak jelas.” Kataku. “Gantengan aku sih, bedanya aku nggak terkenal aja.” Aku menatap wajah Rendi lama sambil menyipitkan mata seolah menilai. “Masih gantengan mas Ben Barnes sih kayaknya, kamu menang udah halal aja sama aku.” Rendi yang gemas pun mengacak-acak rambutku dan balas ku pukul karena sudah membuat rambutku berantakan.               ***   “Coba deh elo pikir, masa gue harus dateng ke semua acara arisan nyokap demi menaikan engagement gue di mata orang-orang yang sasak rambutnya udah kayak sarang tawon? Ih! Dipikir gue bener-bener nggak bisa cari laki kali! Adek gue aja sampe mikir gue nih sebenernya demen cowok apa nggak gara-gara trauma. Sampah banget, kan!” kata Mila yang sewot di depan layar komputer via Skype. Bukannya simpati dengan keadaan Mila, aku malah menganggap apa yang dikatakannya itu sangat lucu sampai aku tertawa. “Makanya lo tuh tunjukin dong kalo lo itu masih suka sama cowok. Ya jalan sama siapa kek gitu, masa lo sama sekali nggak punya kenalan cowok! Apa mau gue suruh Rendi buat cari best candidate buat temen jalan biar lo nggak dipasarin di depan ibu-ibu pejabat begitu?” “Hello! Itu sih sama aja tapi versi yang lebih milenial!” protesnya. “Tapi kan paling nggak gue nggak maksa elo buat dateng ke tempat dan nemuin orang-orang yang elo nggak suka. Satu dua date nggak masalah, kan? Kalo nggak cocok ya lo bisa mundur.” Kataku sambil memotong bahan makanan untuk makan malam. Ya, aku membawa laptopku ke pantry dan meletakkannya di sana sementara aku bolak balik mengambil bahan makanan, memotong-motong, sambil mengobrol dengan Mila. Rasanya aku sudah seperti ibu-ibu saja kalau begini. “Trus kalo itu lakinya freak gimana? Elo sih Enak bilang kalo nggak cocok ya bubar jalan, lah gue ini nanti yang kena terror kalo lakinya nggak bener!” ujar Mila. “Ya, kan makanya gue suruh Rendi buat seleksi dulu. Nggak mungkin lah gue asal kasih kenal elo sama yang nggak jelas, tenang aja. Nanti gue bilang Rendi dulu. Trus si cabe-cabean gimana? Makin lengket sama Daniella?”  “Lagi ribut! Tau deh tuh kenapa. Si Candra lagi suka sensi banget sekarang gara-gara mau resign. Tio masih betah banget di kantor padahal kemarin dia ditawarin di Mine and Steel yang perusahaan Tambang itu, tapi dia tolak itu offer. Hih! Yang kesel malah gue, ini gue rasa tekanan darah gue naik deh.” Racau Mila dengan wajahyang frustasi dari seberang sana. “Jangan stess lah, Mils. Udah deh mending sekarang lo ikutin nasehat gue dari pada lo jadi senewen nggak jelas. Apa lo mau ikutan acara blind date masal? Dulu kata Candra ada kan yang acaranya pake kriteria pekerjaan sama minimal gaji?” akua gak memiringkan kepala sedikit, mencoba untuk mengingat-ingat cerita Candra dulu tentang temannya yang ikut acara itu dan berujung mendapatkan seorang arsitek influencer tampan yang biasa berseliweran di media sosial mana pun dan jadi perbincangan banyak orang. “Please, NO! Gue nggak semerana itu sampai harus ikutan acara nggak jelas. Gue cuma mau supaya nggak usah harus kayak sapi yang manut aja dibawa ke mana-mana sama nyokap gue dan ketemu orang-orang yang kerjaanya cuma saingan harta aja. Capek gue ketemu orang begitu melulu.” Aku hanya bisa menggeleng bingung menanggapi keluhan Mila ini. “Ya udah deh, ya. Mending lo ikut saran gue aja. Satu dua date nggak akan bikin lo jadi keliatan desperate kok, anggap aja memperlebar perkenalan sama orang-orang. Nanti gue suruh Rendi buat seleksi yang high quality biar lo nggak merasa awkward dan jadi lost interest trus nggak nyambung kalo ngobrol. Paling ngga dengan lo tujukin kalo lo ada jalan sama cowok, teori adek lo itu bisa terpatahkan kalo lo masih suka sama laki, tapi soal nyokap lo, ya bisa lah lo lobi-lobi bilang lagi deket sama siapa. Lo inget kan gue pernah janji kalo gue bakalan bantuin lo buat menentang rules di keluarga besar lo? Jadi lo percaya aja sekarang sama gue.” Mila mendesah pasrah. Aku tahu, sebenarnya Mila ingin, namun di satu sisi ia ragu dan gengsi karena dengan menerima ideku itu, ia bisa secara tidak langsung setuju dengan acara mak comblang seperti apa yang sedang dilakukan oleh Ibunya. Bedanya, aku tidak memaksa ia harus bertemu dengan orang-orang yang tidak disukainya, dan car aini bisa lebih mudah diterima karena niatan awal hanya untuk berkenalan, no pressure. Aku mengambil biskuit dari toples dan duduk di bangku pantry setelah selesai dengan urusan dapur. “Gue parah deh kalo gitu. Gue ikutin aja cara lo, tapi ingat ya! Bilangin ke Rendi jangan sampe kenalin gue sama orang yang nggak jelas dan punya kecenderuangan bucin sama orang yang baru dikenal trus nanti jadi stalker begitu gue putusin nggak mau jalan bareng lagi.” Kata Mila mengancam dengan pandangan serius. “Iyaaaa! Lo santai aja, masa iya gue biarin lo jalan sama yang serem begitu.” Suara kunci otomatis berbunyi, aku tahu Rendi baru saja pulang kerja dan memandang ke pintu masuk. “Rendi udah balik?” tanya Mila yang ku rasa juga mendengar kunci otomatis apartemenku yang terbuka. “Iya, lo mau ngobrol sama Rendi biar bisa kasih langsung kriteria cowok yang mau lo ajak jalan? Biar ini project bisa jalan cepet dan nggak perlu pusing lagi ngekorin nyokap lo ke arisan-arisannya.” Mila menggeleng cepat, “nggak deh. Ya udah, kita ngobrol nanti lagi, ya. Gue nggak mau ganggu pengantin baru.” Katanya sambil tertawa menggodaku. “Lucu lo! Ya udah semoga lo nggak ada dibawa arisan lagi.” Kataku yang mencoba mencairkan suasana juga. “Iya! Ya udah, bye, Babe!” Aku melambai, dan sambungan kami putus. Rendi terlihat sudah masuk dengan jas yang sudah ia lepas dan ia tenteng. Ia berjalan ke arahku dan menaruh jas itu di meja pantry. Seperti biasa, ia mengecup bibirku sekilas. “Kamu abis ngobrol sama siapa?” tanyanya yang melihat layar laptopku masih menampilkan aplikasi Skype. “Mila. Ren, kamu nanti ada kerjaan tambahan.” Kataku yang menuangkan air putih untuk Rendi. “Kerjaan apa?” tanyanya bingung ketika menyambut pemberianku. “Nanti aku jelasin.” Kataku yang tersenyum bersemangat. -Continue-
신규 회원 꿀혜택 드림
스캔하여 APP 다운로드하기
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    작가
  • chap_list목록
  • like선호작