Ini hari pertama Rendi kembali ke kantor. Aku bangun lebih pagi sebelum shalat Subuh untuk memasakkan sarapan dan membuatkan bekal untuk suamiku. Oke, aku memang terdengar sangat cringe, tapi ku rasa itu tidak masalah. Dulu, aku selalu memasakan sarapan di tanggal ganjil, namun kini aku bisa membuatkan sarapan setiap hari untuk Rendi. Belakangan aku tahu kalau makanan yang paling disukai Rendi itu nasi goreng. Nasi goreng ayam, sosis, sayur, seafood, semua jenis nasi goreng ia suka. Tapi untuk sarapan, nasi goreng is a big no. Aku tidak mau tenggorokannya jadi bermasalah karena makan makanan berminyak di pagi hari.
Aku mengeluarkan roti bagel yang kami beli kemarin, dan memotongnya jadi dua kemudian ku masukkan ke toaster. Toaster itu juga baru dibeli kemarin setelah Rendi memaksa untuk membeli mesin yang agaknya tidak terlalu ku perlukan karena kami sudah ada oven dan microwave. Aku juga membuat salad dan orek telur dengan keju. Setelah semua siap, baru aku memasak bekal untuk makan siang berupa bakwan jagung, capcay, dan ikan balado. Tadinya rencanaku ingin membuat ayam bakar, tapi ternyata kecap manisnya tidak ada. Aku jadi harus mengurungkan niat dan pergi ke Asian store untuk mencari kecap manis.
Inilah sulitnya tinggal di negara orang. Beberapa bahan makanan kadang tidak tersedia di supermarket besar sekalipun, dan andaikan ada harganya jauh lebih mahal karena menyesuaikan dnegan ongkos kirim dan biaya hidup di sini.
Sepertinya aku harus menerima tawaran Mama yang ingin mengirimi beberapa bahan makanan dari Indonesia. Mila pun sampai bertanya, apakah prospek membuka minimarket asia atau Asian store di sana sangat menguntungkan? Kalau menguntungkan, ia ingin membuka satu di sini.
Ketika aku tinggal menggoreng ikan untuk bekal makan siang, Rendi terbangun. Ia pun segera menyalakan humidifier dan membuat kopi. Tugas kami tanpa sadar seperti itu. Dengan muka bantal, ia duduk di depan pantry sambil megamatiku yang sedang memasak setelah kopinya selesai dibuat. Jelas saja, dengan coffee maker, membuat kopi hanya seperti mencuci pakaian di mesin cuci, tinggal masukan bahan yang diperlukan dan pencet, lalu voila! Kopi panas sudah tersedia.
“Sarapan apa?” tanya Rendi yang masih asik memandangku dari kursi pantry.
“Bagel, salad, sama orek telur keju.” Kataku yang menaruh mangkuk salad dan piring berisi bagel di piring pada meja pantry.
Rendi tersenyum lebar, “makan siangnya?”
“Aku buatin balado ikan, capcay, sama perkedel jagung. Kamu bisa kasih temen kamu buat cobain perkedelnya, nanti aku bawain banyak. Jangan lupa juga dibawa oleh-olehnya ya, udah aku masukin ke tote bag yang biru di atas meja depan TV.”
“Oke. Makasih, ya.” Katanya yang sedang mengolesi bagel dengan butter.
“Iya. Nanti kayaknya aku mau jalan ke Fish Market di Pyrmont sekalian belanja lagi. Banyak yang belum kebeli soalnya, makan malam nanti kamu mau ikan bakar kalau aku nemu kecap manis?” tanyaku yang kini duduk di sebelah Rendi setelah menuang kopi dan berniat untuk sarapan bersama.
“Boleh. Kalo kamu nggak capek.”
“Nggak lah, kerjaanku di Jakarta aja lebih capek dari ini. Pagi aku masih bisa bantuin Mama buat sarapan kadang-kadang, pergi ngantor satu jam trus kerja, keliling meeting, ketemu klien. Masih jauh lebih capek.”
“Asal kamu seneng dan jadi betah. Aku nggak masalah, awas aja malemnya minta pijitin. Di Raja Amat aku udah bisa jadi tukang pijat pakai tarif tiap malem kamu minta pijitin soalnya keram itu kaki.”
Aku tertawa dan memukul pelan lengan Rendi sambil bersandar kemudian.
“Kan pegel habis berenang seharian. Aku tuh masih kangen banget sama pantai di sana, deh.”
“Nanti kalau weekend kita ke pelabuhan ya. Kamu nggak bisa berenang di sana sih, kecuali kamu mau mengigil dan diliatin orang. Tapi paling nggak kan bisa liat air banyak.”
“Kalo air banyak juga aku liat dari jendela kamar juga bisa itu keliatan pelabuhan.”
“Ya tapi kan kamu belum pernah liat langsung. Dinner malem-malem di Pelabuhan sambil liat lampu-lampu di jembatan. Nanti deh ya, aku bawa jalan-jalan.”
Aku hanya bisa tertawa karena nada suara Rendi yang berlebihan.
“Ya udah kamu makanlah itu habisin. Abis itu shalat trus mandi. Aku mau lanjutin masak, itu ikannya belum aku goreng.”
“Sini dulu, lah. Masak sebentar nanti juga bisa. Temenin aku sarapan.”
“Ya ampun, aku cuma di depan sana loh.” Aku menunjuk dapur kecil milik kami yang luasnya jauh dari dapur di apartemen Rendi di Jakarta dulu.
“Kita buat aturan. Sarapan dan makan malam--makan siang kalau pas libur, harus bareng-bareng di meja makan dan jangan sibuk sama urusan yang lain. Quality time yang mungkin akan jarang kita nikmatin apa lagi kalau kamu udah kerja nanti.” Rendi menatapku serius dengan manik matanya yang berwarna cokelat muda.
“Oke.” Aku kembali duduk nyaman di sebelah Rendi karena paham maksudnya.
“Kamu mau mampir ke kantorku nggak?” tanyanya yang kembali menggoda dan bercanda.
“Ngapain? Kayak kecil, dulu gitu kan ke kantor Ayah buat main sampai bosen, diajak ngobrol sama temen-temennya, trus dikasih cokelat sama permen.”
Rendi tertawa, “kamu mau temenku kasih cokelat sama permen biar kamu betah seharian?”
“Lucu! Udah buruan makannya, aku aja udah abis. Kita shalat dulu trus kamu mandi aku lanjutin masak biar nanti bisa dibawa ke kantor. Biar temen kamu sadar kalau kamu itu udah nikah dan punya istri yang bisa makan jadi bisa urus suaminya biar nggak makan di luar bahkan sampai lupa makan karena keasikan kerja.”
“Kamu makan kan cuma setengah bagel, nggak pake orek telur cuma sama salad sedikit aja. Jelas lebih cepat abisnya. Kamu makan yang banyakan sedikit, gitu.” Katanya.
Aku menumpuk piring kosong tempat makanan yang sudah habis.
“Badan kamu sama aku tuh beda, ya. Nanti juga kamu sebelum berangkat pasti ambil roti lagi, nanti aku bawain camilan buat kamu akan di kantor.”
“Biar temen-temenku sadar kalau aku udah nikah, gitu? Kamu nggak mau aku dilirik sama karyawan lain yang mash single?”
“Geer! Biar kamu itu nggak lesu kebanyakan kerja. Udah ah, kelamaan kalau sarapan sambil ngobrol ngalor-ngidul ke mana-mana. Udah buruan shalat dulu deh. Keburu terang ini.” Aku berdiri dan menuju kamar mandi untuk wudhu. Sementara Rendi masih tertawa sambil menghabiskan semangkuk salad yang dari tadi belum disentuhnya.
***
Aku sedang berada di coffee shop yang dekat dengan Fish Market di Pyrmont setelah berbelanja. Untuk bisa ke sini, aku harus berkjalan kaki ke Town Hall Station dan naik kendaraan umum menuju Harris Station, kemudian aku hanya berjalan sedikit dan sampailah ke Fish Market yang dipenuhi oleh toko-toko, kedai kopi, restoran dan tentu saja pasar ikan. Hanya memakan wakt sekitar dua puluh menit, dan mungkin akan lebih cepat kalau aku naik sepeda ke sini. Benar kata Rendi, sepertinya aku harus mempertimbangkan untuk membeli sepeda alih-alih mobil karena kami sepertinya belum perlu.
Dan setelah setelah lama mencari, akhirnya menemukan kecap manis untuk ikan bakar yang nanti malam akan aku masak untuk makan malam bersama dengan Rendi. Hari ini cuaca cerah, meski udara sangat dingin di suhu sembilan belas derajat celcius. Aku memakai jaket panjang yang tebal sebelum keluar tadi, dan juga baju hangat tebal yang membuat badanku jadi merasa tidak terlalu dingin. Beginilah nasib orang yang tidak pernah tinggal di negara empat musim, yang kalau musim dingin sangat kedinginan, dan musim panas humidity tinggi juga membuat tidak nyaman. Paling tidak, mulai dari sekarang aku diharuskan untuk beradaptasi dengan lebih baik lagi.
Ah, kepalaku mulai pening. Setiap hari aku me-refresh e-mail dan berharap kalau ada balasan dari perusahaan tempatku menyebar CV. Namun tetap saja nihil. Beberapa membalas e-mail dengan surat penolakan yang selalu diawali dengan unfortunately, dan aku sudah tahu akan bagaimana isinya berlanjut. Lama tidak menjadi orang yang belum memiliki pekerjaan membuatku agak cemas. Ternyata, niat untuk bisa mendapatkan pekerjaan sebelum menikah itu hanyalah berupa angan-angan saja yang ku pikir bisa terealisasi dengan baik.
Aku menghembuskan napas kencang-kencang dan memandang pemandangan di luar. Aku bisa melihat Pelabuhan dari sini, dengan banyak burung camar yang terbang di atas laut dan terkadang menukik ketika melihat ada sasaran empuk yang sekiranya bisa ia jangkau. Aku tersneyum, inilah pemandangan yang tempo hari ingin Rendi perlihatkan padaku. Namun nyatanya, aku sudah melihatnya sendiri di sini.
Ku sesap kembali Latte pesananku. Rasanya lumayan enak, dan aku juga ditemani oleh sepotong brownies yang tinggal setengah. Rendi tadi mengirimiku foto kotak makannya yang sudah habis, dan itu membuatku jadi senang dan membuat mood-ku jadi jauh lebih baik.
Wifey - Temen kamu iri nggak?
Balasku yang sudah jeda setengah jam karena pikiranku yang sedang bertualang ke mana-mana. Aku tidak mengharapkan Rendi cepat membalas pesanku karena ia sudah tak lagi online.
Aku menyandarkan tubuh ke kursi kayu seperti yang lain, dan menangkupkan kedua tangan ke mug yang masih hangat sambil kembali memandang ke luar jendela. Sepulangku dari sini, aku langusung membersihkan ikan dan merendam ikan dengan bumbu sebelum malamnya di bakar agar ikannya lebih enak lagi dengan bumbu yang sudah meresap. Dan sambil menunggu, mungkin aku akan membereskan beberapa barang yang masih berada di dalam kardus dan setelanya aku bisa browsing beberapa furnitur untuk apartemen. Aku belum memiliki rak untuk semua buku yang aku kirimkan ke sini, dan sepertinya aku akan mencari tempat untuk membeli tanaman indoor untuk apartemen yang masih sangat terlihat kosong.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus aku lakukan. Belum lagi semua paket kiriman yang datang dari teman-temanku dan Rendi masih menumpuk di atas meja yang dekat dengan pintu masuk ke flat milik kami.
Hubby- Mereka iri lol
Aku membaca pesan balasan dari Rendi dan tersenyum.
-Continue-